Dies Natalis ke-10, FIB UB Rawat Keberagaman
Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Brawijaya (UB), Malang, merayakan Dies Natalis ke-10, pada Kamis 24 Oktober 2019. Dalam hari jadinya itu, FIB membawa pesan keragaman untuk masyarakat Indonesia.
Maka dari itu tema yang diusung adalah "Menyemai Bhinneka Merawat Nusantara" gelaran acara tersebut diikuti sekitar 600 peserta dari seluruh civitas akademika FIB UB.
Ketua Pelaksana, Muhammad Faturohman, mengatakan pesan dari tema tersebut adalah untuk menanamkan kembali kepada masyarakat, khususnya mahasiswa UB, bahwa Indonesia itu beragam.
"Keragaman itu adalah sebuah keniscayaan yang harus kita terima. Maka kami ingin menyemai ulang keragaman itu melihat pasca Pilpres 2018 lalu, kita terkotak-kotakan," ujarnya pada Kamis 24 Oktober 2019.
Oleh karena itu, kata Fathur, melalui Dies Natalis itu pihaknya bermaksud mengingatkan kembali bahwa masyarakat Indonesia harus bersatu dalam keragaman.
"Kita ini multi etnik, multi budaya, dengan dari keberagaman itu maka munculah nusantara. Maka dari itu tema yang kami ambil, menyemai bhinneka merawat nusantara," tuturnya.
Dalam acara Dies Natalis FIB ke-10 tersebut, terlihat seluruh civitas akademika UB, melakukan Kirab Phataka Budaya, dengan mengelilingi seluruh komplek kampus.
Para peserta pawai juga mengenakan pakaian adat dari seluruh Nusantara. Di dalam barisan juga tampak sejumlah mahasiswa asing turut serta dalam prosesi tersebut.
Salah satu mahasiswa asing, asal Amerika Serikat, Albert Mitchel, mengatakan acara pawai ini sangat seru meski ia mengeluh kelelahan.
"Saya sangat senang, ini baru pertama kali saya ikuti. Di Amerika tidak ada kegiatan seperti ini," ujar Albert yang saat itu memakai pakaian adat Jawa.
Rangkaian Dies Natalis FIB ke-10 tersebut, akan mencapai puncaknya dengan digelarnya acara jalan sehat pada 31 Oktober mendatang.
Selain itu juga diadakan penganugerahan budaya kepada para seniman yang ada di Jawa Timur. Seperti Komunitas Budaya Ki Siswo dan Sastrawan, Budi Darma.
"Kami memilih Ki Siswo karena merupakan komunitas yang sampai saat ini masih eksis mempertahankan kesenian ketoprak. Untuk Sastrawan, Budi Darma, kami pilih karena selain produktif, karya dari beliau itu indah dan memberi kebermanfaatan untuk pembaca," tutup Fathur.