Dies Etis
Rapat Kerja Nasional Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada tahun ini berlangsung tanpa dihadiri ketua umumnya. Kebetulan organisasi para alumni perguruan tinggi di Jogjakarta itu dipimpin Ganjar Pranowo, salah satu calon presiden 2024.
Ia bertarung dengan dua calon presiden lainnya. Yakni, Anies Rasyid Baswedan yang sama-sama satu almamater dengan Ganjar. Lainnya adalah Prabowo Subianto yang dikenal sebagai mantan jenderal lulusan Akademi Militer Magelang (AMM).
Pilpres 2024 ini istimewa bagi UGM yang hari ini berusia 75 tahun. Dari 6 kandidat capres dan cawapres, 4 di antaranya alumnus UGM. Selain Ganjar dan Anies yang menjadi capres, ada Mahfud MD dan A. Muhaimin Iskandar sebagai cawapres. Kecuali Mahfud yang paling senior, ketiganya hampir seangkatan ketika menjadi mahasiswa di kampus kerakyatan ini.
Karena itu, ada meme yang sempat viral yang menyebutkan Pilpres 2024 adalah pertarungan antara dua eks mahasiswa UGM melawan satu eks mahasiswa Akmil. Bahkan, ada yang menyebut bahwa Pilpres kali ini seperti pemilu Senat Mahasiswa dan BEM UGM. Sebab, di belakang Prabowo-Gibran ada eks mahasiswa UGM juga: Joko Widodo.
Ada pertanyaan, bagaimana kampus yang berdiri di atas lahan hibah Raja Yogyakarta Hamengkubuwono IX itu bisa melahirkan banyak calon pemimpin nasional? Sejauh mana peran perguruan tinggi ini dalam mencetak kader-kader bangsa yang tampil dalam kancah nasional? Apakah ini kesengajaan atau kecelakaan?
Bahwa UGM secara sengaja ingin mencetak para calon presiden pasti tidak. Karena perguruan tinggi bukan tempat menggembleng kader-kader politik. Partai politik yang semestinya menjadi tempat menempa calon pemimpin politik. Perguruan tinggi hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan ikut membentuk karakter seseorang.
Karena itu, perguruan tinggi selalu bebas dari jagat politik. Meski bukan berarti imun atau kebal dari percaturan politik. Perguruan tinggi pada dasarnya memproduksi pemikiran. Melahirkan banyak paradigma, teori dan konsep. Semua itu yang kemudian mengejawantah dalam realitas sosial melalui kebijakan lewat politisi.
Tapi tidak bisa diingkari, banyak perguruan tinggi di luar negeri yang dikenal menghasilkan banyak pemimpin politik. Misalnya, University of Oxford di Inggris. Perguruan tinggi tua ini dikenal sebagai produsen perdana menteri Inggris. Raja Yordania Abdullah juga lulusan dari sini.
Alumnus Oxford juga dikenal loyal kepada almamaternya. Banyak kontribusi yang diberikan mereka kepada perguruan tinggi yang pernah mendidiknya. Sebulan lalu, saat berkunjung ke Universitas of Oxford, saya ditunjukkan taman kampus yang dibangun Raja Abdullah.
Ada dua hal yang bisa diduga tentang perguruan tinggi gudang calon pemimpin. Mereka mempunyai aliran pemikiran yang khas dan menonjol. Juga mempunyai pemihakan yang tinggi kepada persoalan di lingkungannya. Peduli terhadap problem masyarakat. Kedua, komitmen dalam menjaga tradisi dan etik. Baik etika akademik dan kemasyarakatan.
UGM dikenal sebagai kampus yang terus berusaha konsisten dalam dua hal tersebut. Ketika ekonomi Indonesia cenderung pada arus utama liberalisme-kapitalisme, kampus ini mengenalkan konsep dan teori ekonomi Pancasila. Dengan Prof Dr Mubyarto sebagai pelopornya. Juga punya perhatian besar terhadap pembangunan desa. Bahkan, sempat mendapat julukan Kampus Ndeso.
Kepada mahasiswa diajarkan bukan hanya teori dan konsep. Tapi diwajibkan untuk memahami realitas sosial yang sesungguhnya. Sehingga sampai sekarang, para mahasiswa wajib mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata) untuk hal itu. Program yang berorientasi kepada pengabdian masyarakat sekaligus mengenalkan mahasiswa dengan dunia kenyataan.
Ketika dunia perpolitikan cenderung menunjukkan niretik, kampus ini ternyata masih memberikan contoh nyata. UGM tak serta merta kehilangan daya kritisnya –meski alumninya menjadi bagian dsri kekuasaan. Rangkaian Dies Natalis UGM yang ke-75 ini menjadi pembuktian nyata terhadap komitmen etik tersebut.
Tidak satupun dari kandidat Pilpres memperoleh panggung dalam rangkaian acaranya. Hatta Rakernas Kagama yang Ketua Umumnya Ganjar Pranowo. Mantan Gubernur Jateng itu melimpahkannya kepada sekretaris jenderal dan para wakilnya untuk mengendalikan dan memimpin agenda organisasi tahunan tersebut.
Ia hanya datang ikut dalam acara Nitilaku –semacam pawai Napak Tilas yang diselenggarakan setiap tahun. Keikutsertaannya tidak dipanggung sebagai Ketua Umum, tapi sebagai peserta dari komunitas para alumni aktivis Gelanggang Mahasiswa. Ia menyatu dengan rombongan lainnya. Menjadi peserta pawai lengkap dengan kostum baju daerah seperti alumni lainnya.
Dalam forum, rangkaian acara Rakernas dan Dies Natalis yang diikuti oleh semua pendukung capres dari UGM itu tetap berlangsung guyub. Ketika ada alumni yang secara terbuka menyesalkan gerakan Ketua BEM yang kritis terhadap Presiden RI, langsung ada yang menanggapi sebaliknya. Tapi tetap dalam suasana guyub rukun.
Intinya, semua ada kesadaran etis untuk menjaga independensi kampus. Hal itu tidak datang dari satu pihak. Tapi dari semua civitas akademika, termasuk para alumninya yang telah tersebar menjadi pendukung para kandidat. Saya termasuk yang ikut bangga dengan kampus produsen para calon pemimpin nasional ini.
Mengamati Kampus Oxford dan UGM, rupanya tradisi dan etik memang harus berjalan bersamaan. Tradisi adalah sesuatu kebiasaan baik yang dipertahankan secara terus menerus. Sedangkan etika merupakan kerangka tingkah laku yang baik yang diikuti bersama. Dua hal yang saling bersinggungan yang untuk menjaganya perlu komitmen bersama.
Tradisi akademik, tradisi guyub rukun, tradisi saling menghormati, dan tradisi untuk memberi ruang perbedaan pandangan dan pendapat. Kampus memang harusnya demikian. Menjadi penjaga bagi keberlangsungan tradisi kampus sebagai ruang pencipta kaum cendekiawan dan para pemimpin masyarakat. Juga menjadi standar etis bagi masyarakatnya. Tradisi etis yang harus dijaga.
Ketika bertekad menjadi kampus kebangsaan, ia harus memberi contoh kepada bangsa dan negara. Karena itu, kalau hari ini, UGM meresmikan komplek 6 tempat ibadah. Keenam tempat ibadah adalah Gereja Kristen, Gereja Katolik, Vihara, Klenteng, dan Pura. Tempat ibadah ini dibangun menyusul Mardliyah Islamic Center yang sudah tegak sebelumnya.
Komitmen seperti ini sudah terbangun sejak kampus ini berdiri. Ia seakan menjadi tradisi yang terus dikembangkan sesuai dengan jamannya. Penjaga sekaligus memberikan contoh faktual. Tidak hanya menjadi gudang pemikiran, tapi menjadi eksemplar atas pelaksanaannya.
Karena itu, saya suka menyebut Dies UGM tahun ini sebagai Dies Etis. Eit…jangan keliru menyebut Ndasmu Etik seperti yang sedang viral belakangan ini lho. Bisa bahaya!
*) Arif Afandi adalah Wakil Walikota Surabaya (2005-2010) yang juga Ketua Kagama Jatim.