Didera Cobaan, Rasa Syukur Itu Membuatku Bertahan
Sebut saja namanya W. W adalah seorang wanita dengan tiga orang anak. Saat ini usianya menginjak 40 Tahun. Berikut kisahnya:
Saya wanita bekerja dan memiliki tiga orang anak. Anak pertama saya seorang putri dan saat ini mulai memasuki usia remaja (SMP), dan dua adiknya adalah laki-laki yang sedang duduk di bangku sekolah dasar. Saya dengan suami berbeda usia sekitar 5 Tahun. Suami saya seorang pekerja keras. Kegiatan apapun ia lakukan dengan semangat, tanpa mengeluh. Karena suami cukup ulet dalam bekerja, Alhamdulillah, perekonomian kami pun mulai lancar.
Suatu ketika, suami saya mengeluh kesakitan. Ia merasakan sakit pada area perut, dan saat itu juga, saya mengantarnya periksa di klinik di dekat rumah. Pada waktu itu dokter menyatakan kalau suami saya sakit lambung. Setelah mendapatkan obat, kami akhirnya pulang.
Namun, beberapa hari kemudian, suami mengeluh kembali dan merasakan sakit yang luar biasa di area perutnya. Saya pun mengantarkannya ke dokter lagi. Demikian keadaan ini terus berulang, sampai ke sekian kalinya akhirnya dokter memberikan rujukan ke dokter spesialis penyakit. Meski diagnosa yang sama, diberikan dokter spesialis tersebut, yaitu gangguan lambung.
Dengan kesabaran dan menahan sakitnya, suami tetap menghabiskan obat tersebut dengan berharap keadaan lebih baik. Namun, keadaan tidaklah berubah, dan suami tetap merasakan sakit. Pada akhirnya, kami memutuskan pindah rumah sakit dengan penanganan yang lebih intens.
Seketika suami diperiksa lengkap dan dilakukan tindakan medis untuk mengetahui sakitnya. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, suami mengeluh badan lemas dan tidak mampu melanjutkan perjalanan pulang, akhirnya hari itu juga kami memutuskan untuk opname.
Keesokan harinya, dokter menyatakan hasil pemeriksaan suami saya, dan saya sangat terkejut, ketika dokter menyampaikan kalau suami saya harus menjalani operasi usus besar. Satu hal lagi yang membuat suami saya tidak terima, yaitu penyampaian dokter yang menganjurkan untuk pemasangan colostomy secara permanen setelah operasi.
Suami makin gelisah dan menjadi bimbang untuk melanjutkan tindakan operasi. Namun, setelah dilakukan pendekatan dan pemahaman, akhirnya suami mau operasi. Dengan catatan, memilih untuk tidak permanen dalam pemasangan colostomy.
Pasca operasi, suami dirawat cukup lama di rumah sakit, sekitar setengah bulan (15 hari). Dan dokter menyampaikan bahwa pada saat operasi, ada jaringan yang diambil untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan.
Ketika hasil sudah keluar, pernyataan dokter cukup mencengangkan kami berdua. Saat itu, suami divonis menderita sakit kanker rektum stadium 3. Perasaan tidak karu-karuan dialami suami, begitu juga saya sebagai istrinya. Dokter pun menyarankan untuk menjalani kemoterapi dan radioterapi.
Suami menjalani kemoterapi dan radioterapi pasca operasi. Awal menjalani kemoterapi, suami masih nampak baik. Namun memasuki terapi ke 3 dan ke 4, suami mulai kurang semangat dan tidak sanggup melanjutkan kemoterapi. Suami tak mau merasakan keluhan fisiknya pasca kemoterapi.
Perasaan sedih, marah dan tidak terima berkecamuk. Hari demi hari suami mejalaninya. Dengan keadaan fisik yang melemah dan mengalami kesakitan, suami tetap semangat. Saya sebagai istri berusaha tetap kuat di depan suami, meski perasaan saya saat itu juga tidak menentu, bimbang dan gelisah.
Dengan support sepenuhnya dan membuka cara pandang suami alhamdulillah suami mau melanjutkan proses kemoterapi. Namun pada masa-masa itu, emosi suami mudah bergejolak dan sangat sensitif. Permasalahan sepele, sudah membuatnya marah luar biasa. Begitu juga sikapnya terhadap anak-anak. Anak-anak mulai merasa tidak nyaman dengan keadaan tersebut dan merasa ayah mereka telah berubah dan tidak lagi seperti dulu.
Situasi ini tidaklah mudah bagi seorang istri, karena semua keadaan telah berubah,baik dari sisi ekonomi, psikologis maupun sosial. Tanggungjawab rumah tangga yang dulu dipikul bersama, sekarang harus dilakukan sendiri karena suami tidak lagi bekerja. Begitu juga kebutuhan perhatian dan kasih sayang untuk anak-anak. Protes dari anak-anak sering saya terima. Belum lagi, kekesalan dan kemarahan suami karena belum bisa sepenuhnya menerima sakit yang dialaminya.
Bagi istri keadaan tersebut tidaklah mudah dijalani. Hati pasti sedih dan tidak siap menerima kenyataan. Dalam kesedihan memikirkan kehidupan ekonomi keluarga dan anak-anak, masih ditambah dengan sikap suami yang cenderung marah dan menyalahkan.
Dengan permasalahan yang makin menumpuk, situasi keluarga makin tidak sehat. Dalam perenungan, saya menyadari dampak yang akan terjadi pada keluarga dan anak-anak jika keadaan terus seperti ini. Kemudian saya memutuskan untuk bangkit dalam keterpurukan dan ingin mengubah situasi.
Saya tidak ingin semuanya berlarut-larut dan berdampak pada perkembangan psikologis anak-anak saya. Saat itu juga saya memegang kendali. Saya harus dapat berpikir hal-hal baik meski dalam keadaan yang tidak baik. Mencari sisi baik yang dapat kita lakukan, adalah diawali dengan tidak menolak atau bisa menerima keadaan tersebut (mensyukuri). Dengan begitu kita akan memiliki semangat untuk dapat menjalani dengan pikiran yang baik dan optimis.
Langkah pertama saya lakukan adalah melakukan pendekatan pada suami, dan mengajak suami untuk berpikir ke depan dan positif. Berinjak dari apa yang dapat dilakukan sekarang untuk suatu hal atau keadaan yang lebih baik.
Pemahaman terhadap batasan usaha yang dilakukan manusia untuk melakukan suatu perubahan yang lebih baik dan hasil akhir adalah ketentuan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan mengajak suami berpikir batasan apa yang bisa dilakukan manusia untuk mempertahankan kehidupannya, adalah dengan berusaha, menjaga dan memelihara.
Permasalahan apapun yang datang satu persatu diselesaikan dengan berpikir positif atau sisi baiknya. Mengubah cara berpikir kita, yang awalnya “akan terjadi sesuatu” menjadi “menyelesaikan sesuatu”.
Memahami keadaan dan berusaha menerima. Keadaan sepahit apapun ketika kita menerima, maka kita akan berusaha mencari jalan keluarnya, karena masalah sesulit apapun pasti ada jalan keluarnya meski jalan keluar yang terbaik belum tentu yang kita inginkan.
Pikiran positif membuat kita tidak merasa terpuruk dan bersedih dengan permasalahan yang terjadi. Dengan mensyukuri dan melakukan hal yang bermanfaat akan membuat hati dan pikiran tenang daripada berpikir tentang apa yang akan terjadi nanti. Dan alhamdulilah, suami bangkit dan mau melanjutkan proses kemoterapi dan radioterapi sampai selesai.
Berikut sejumlah tips bersikap positif di situasi sulit:
Menyadari dan mau menerima situasi tersebut
Selalu berpandangan positif terhadap apa yang akan terjadi
Berfikir bahwa kita berusaha mencari penyelesaian atau jalan keluar bukan mencari masalah
Lakukan dan selesaikan dengan niat yang baik dan sungguh-sungguh
Rasa syukur atau mensyukuri apapun yang kita alami akan membuat kita tidak mudah menyerah dan tetap berusaha yang terbaik karena ada orang yang lebih buruk keadaannya daripada kita.
Berfikir selalu ada hikmah dari semua peristiwa agar kita lebih baik dan lebih kuat karena pengalaman membuat kematangan dan kedewasaan seseorang.
Dapat mengelola emosi dengan menerima keadaan, berpikir positif dengan rasa mensyukuri, dan semangat mencari jalan keluar membuat psikologis kita lebih sehat dan mampu bertahan melewati setiap masalah. Karena pada tubuh yang sehat, kita menjadi lebih maksimal untuk dapat berfikir positif dalam mencari jalan keluar.
Rubrik ini menerima konsultasi dari pembaca. Pengasuh bisa dihubungi lewat surat elektronik di [email protected].
Advertisement