Dicari Manajer Pengelola Alun-alun Surabaya
Oleh: Halim HD. – Networker-Organizer Kebudayaan -
Sudah hampir satu periode jabatan Wali Kota Surabaya jika kita hitung waktu sejak Alun Alun Surabaya yang terletak di Balai Pemuda, diresmikan sebagai upaya Pemkot membangun infra struktur kehidupan kesenian dan pariwisata.
Kita menyaksikan Alun Alun Surabaya yang pernah menjadi kontroversi karena mengganti nama “Balai Pemuda” yang telah menjadi sejarah sosial dan kehidupan kesenian sejak lebih lebih setengah abad yang lalu. Balai Pemuda yang memiliki bobot kesejarahan itu, dengan enaknya diubah dan diganti dengan alasan pengembangan infra struktur untuk berkesenian dalam kaitannya menunjang kehidupan pariwisata di wilayah urban.
Namun kontroversi itu kian meredup dan tak lagi terdengar, sementara kehidupan kesenian di wilayah Balai Pemuda itu tetap tak mencitrakan suatu kehidupan kesenian yang memiliki citra berkelas. Bahkan dalam berbagai acara yang banyak diberitakan, kita menyaksikan Balai Pemuda yang secara fisikal nampak megah, namun di sana sini disain tak cukup favourable sebagai sarana penunjang kesenian.
Mari kita lihat panggung di tengah-tengah yang nampak tak cukup cocok untuk panggung pertunjukan dalam aspek auditif. Dan pada segi visual terdapat kerepotan jika pengunjung memenuhi ruang bagian tengah yang juga didisain untuk sejenis taman. Sementra itu, Gedung Balai Budaya yang tak cukup produktif menyelenggarakan pertunjukan dikarenakan bukan saja disain panggung yang tak memenuhi syarat tata-panggung, juga biaya sewa yang tinggi, bahkan melebihi biaya sewa Gedung Kesenian Jakarta.
Alun Alun Surabaya juga memiliki sejenis galeri yang terletak di basement yang terasa agak mewah, walaupun tata lampu yang tak cukup memadai sebagai ruang galeri yang sangat membutuhkan tata lampu spesifik. Dan ditambah oleh dinding sekitarnya yang tak memiliki ring button untuk keperluan tata letak (display) lukisan, dan ring lighting untuk pameran seni patung atau instalasi.
Jika kita membaca kondisi Alun Alun Surabaya dengan biaya seratusan miliar lebih dalam kaitannya dengan fasiliats kehidupan kesenian, kita bertanya-tanya, kenapa pula dengan biaya yang demikian tinggi tak mampu menciptakan disain yang favourable, yang bisa dinikmati dengan jenak dan berfungsi secara maksimal. Pada sisi lainnya, kenapa pula sarana kesenian khususnya berkaitan dengan seni pertunjukan di Gedung Balai Budaya demikian mahalnya? Apakah pembangunan sarana kesenian itu tak memperhitungkan biaya program kesenian dalam konteks menciptakan citra Surabaya yang pernah menjulang dan sangat diperhitungkan sebagai salah satu kota yang pernah memiliki berbagai grup teater, tari dan musik dan senirupa sejak tahun 1960-80-90-an.
Apakah Pemkot Ketika membangun sarana itu tak menimbang jejak kesejarahan ruang kesenian Balai Pemuda yang pernah menjadi wilayah produktif dalam karya kebudayaan? Instansi Dinas Pariwisata yang diberi kekuasaan untuk mengelola nampak tak memiliki kapasitas tatakelola dalam pengembangan ruang kesenian, sebagaimana kebanyakan instansi tersebut di negeri ini. Betapa ironisnya Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia tapi sejak dua dekade terakhir ini tak mampu mengelola sarana kesenian secara maksimal.
Mari kita ambil contoh yang lain setelah Gedung Pertunjukan Balai Budaya yang gagal, kita lihat Galeri di Basement yang bukan hanya kekurangan kelengkapan fasilitas, tapi juga isian pameran yang tak cukup menciptakan apresiasi masyarakat, apalagi dari apresiasi yang diukur dari segi estetika. Galeri yang tak memiliki kurator dan penata ruang itu, terasa hanya berisi kegiatan ala kadarnya dan itupun nampak sporadis, tak memiliki kesinambungan program.
Sudah saatnya Pemkot dan Dinas Pariwisata membuka diri melakukan dialog dengan kaum seniman dan peminat kebudayaan di Surabaya berkaitan dengan kebutuhan manajerial. Aspek manajerial dalam kaitannya dengan tatakelola bukan hanya menyusun program tapi lebih itu merumuskan konsep dan memilih isi program dalam kaitannya dengan perkembangan dunia kesenian mutahir dan sekaligus juga membentuk citra bahwa program kesenian sebagai wujud komitmen Pemkot dalam pengembangan potensi dan aktualisasi karya kebudayaan.
Pada sisi lainnya, Pemkot dan Dinas Pariwisata harus lebih mengembangkan tatakelola profesional. Sebab boleh dikatakan pengelolaan kesenian oleh Dinas Pariwisata selama ini masih jauh dari aspek profesionalisme. Dengan tatakelola profesionalis, Alun Alun Surabaya bukan saja akan menangguk segi ekonomi melalui sponsorship yang bisa meringankan sewa ruang pertunjukan, dan pada sisi lainnya, arah pengembangan apresiasi serta khasanah seni budaya lebih memiliki citra.
*Halim HD, Networker-Organizer Kebudayaan