Dicap Penjilat Sampai Diancam Bunuh Oleh Kelompok Radikal
Masih ingat Ali Fauzi? Laki-laki 47 tahun ini adalah adik kandung bomber Bali, Amrozi dan Ali Gufron alias Mukhlas. Dua kakaknya sudah dieksekusi mati, 9 Nopember 2008 lalu.
Bersama Dr Azhari dan Noordin M Top, Ali Fauzi sudah saling kenal sejak 1991 di Ponpes Lukmanul Hakim, Johor Baru, Malaysia, yang diasuh Ustad Abdullah Sungkar dan Ustad Abu Bakar Ba’asyir. Juga ada Hambali, komandan militer atau taj’nih Jamaah Islamiah (JI) wilayah Malaysia-Sabah yang kini ditahan di Guantanamo, Amerika.
Ali Fauzi bersama Dr Azhari, Noordin M Top menjadi staf pengajar di Ponpes Lukmanul Hakim sejak 1991. Tahun 1994 Ali Fauzi dikirim ke kamp Abu Bakar milik Moro Islamic Liberaation Front (MILF) di Pulau Mindanao, Philipina. Di kamp itu Ali bersama ribuan mujahid dari Timur Tengah, Malaysia, Singapura, Philipina diajari pemetaan, penggunanan aneka senjata, perang gerilya, penyusupan, sampai perakitan bom dalam skala besar. Diatas 100 kg sampai satu ton. Ali lalu menjadi instruktur di kamp Hudaibiyah.
Setelah tiga tahun malang melintang di Mindanao, Ali balik ke Malaysia tahun 1997. Ali menolak jadi pengajar lagi karena sudah dididik militer. Jiwanya kini militer tulen. Setelah itu Ali minta ijin kakaknya Ali Gufron untuk pindah Kuala Lumpur, lalu ke Selangor kerja sebagai kurir surat. Ali tinggal di Banting, satu perumahan dengan Imam Samudra, Hambali dan alumni pelatihan militer Al-Qaedah, Kandahar, Afghanistan milik Osama bin Laden. Diantaranya alumni itu ada Yusuf juga warga Lamongan.
Saat Soeharto jatuh 1998, Ali Fauzi balik ke Lamongan. Saat lapor pimpinan Jama’ah Islamiah (JI) Surabaya, Ali didapuk menjadi instruktur pelatihan militer anggota JI Jatim. Mereka latihan di gunung-gunung. Tak lama pecah konflik Ambon. Ali Fauzi dan pasukannya berjihad ke Ambon. Belum tuntas di Ambon, muncul konflik Poso.
Ali dan sebagaian pasukan yang dilatihnya dibawa ke Poso. Tiga bulan sekali Ali balik ke Pulau Jawa. Di Jawa paling seminggu. Lalu balik lagi ke Poso atau Ambon membawa senjata dan bahan bom pothasium clorat rata rata 500 kg. Pasca meledak bom Bali Pertama, 12 Oktober 2002, nama Ali Fauzan masuk DPO bersama 250 ahli bom alumnus kamp pelatihan militer Kandahar, Afghanistan milik Osama bin Laden dan alumni pelatihan militer MILF Philipina.
Ali pun masuk ke Mindanao lagi lewat Sabah, Malaysia. Di kamp Ali berjumpa sobat lama Umar Patek dan Dul Matin yang sama sama kabur menghindari kejaran polisi pasca bom Bali. Dul Matin akhirnya tewas ditembak polisi di Pamulang, Tangerang.
Tahun 2005 Ali bersama 6 anggota pemberontak Abbu Sayap dan MILF tertangkap tentara Philiphina. Ali diganjar tiga tahun penjara tanpa proses peradilan.
Selama dipenjara, Ali mendapat siksaan luar biasa. Badannya remuk redam sampai muntah darah. Awal 2008 Ali dijemput Ketua Satgas Bom Polri, Irjen Pol Surya Dharma Salim. Selama proses ekstradisi Ali sudah menyiapkan mental akan mendapat siksaan lebih kejam dari polisi seperti dialami di Philipina. Ternyata ia salah duga, sebab Ali mendapat perlakuan sangat baik dari Surya Dharma dan polisi lainnya. Ali dirawat di RS berkelas di Jakarta dengan pelayanan istimewa. Sama sekali tidak ada penyiksaan.
Sebaliknya Ali diperlakukan sangat baik oleh polisi. Tak jarang Surya Dharma menyelipkan uang hingga Rp 2,5 juta ke dompet Ali Fauzi. Semua itu membuka mata dan hatinya bahwa tidak semua polisi jahat. Ada yang baik bahkan berhati malaikat.
Ali menilai ada polisi baik bukan karena pemberian uang tadi. Tapi perlakuan polisi terhadap Ali yang kelak mengubah pandangan hidupnya. Dari semula memusuhi polisi menjadi partner dalam menyadarkan pandangan mantan teroris, mantan combatan, mantan napi teroris. Ali makin yakin dalam perjalanan hidupnya banyak ketemu polisi baik.
‘’Sejak itulah saya berangan angan membantu rekan sesama mantan teroris untuk memulai hidup baru. Hidup lebih damai di Indonesia,’’ aku Ali Fauzi. Apalagi, istrinya yang juga guru ngaji di Yayasan Al Islam milik keluarganya mendukung penuh Ali mewujudkan impiannya. ‘’Kalau kaya saya tidak mau sendirian. Orang orang senasib atau mantan napi teroris juga harus dibantu agar hidup mereka sejahtera,’’ kata istri Ali Fauzi.
Namun membentuk yayasan prosesnya cukup lama. Hampir tiga tahun. Selain dana terbatas, proses mencari nama tidak gampang. Berkali kali ditolak Depkumham karena sudah ada nama sejenis. Baru setahun menemukan nama yang pas. Maka, lahirlah Yayasan Lingkar Perdamaian (YLK) yang diresmikan 29 Maret 2017 lalu bersamaan selesainya renovasi Masjid Baitul Muttaqin dan pembangunan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) untuk anak mantan napi teroris.
Semua biaya dibantu donator. Ikut hadir peresmian kala itu Ketua Badan Penanggulangan Terorisme Nasional (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius, ada mantan Wakil Menag Prof Nasaruddin Umar yang juga Imam Masjid Agung Istiqlal. Umar ikut mendampingi trio Bom Bali menjelang detik eksekusi mereka. Ikut hadir Ketua Pansus Revisi Rancangan UU Terorisme Muhammad Syafi’i.
Di balik gebyar peresmian YLP, tak banyak tahu jika Ali Fauzi dkk kerap mendapat cibiran, dicap antek polisi, penjilat sepatu polisi bahkan hendak dibunuh oleh combatan dan napi teroris dan kelompok radikal yang bersikukuh menganggap polisi dan pemerintah musuh mereka.
‘’Sampeyan turun di RM Kaliotik. Dekat situ ada kantor Zam Zam Amanah, biro travel umroh. Tunggu saja di situ. Nanti jam dua (14.00) saya kebetulan ke Lamongan. Nanti saya jemput,’’ kata Ali Fauzi melalui Whatsapp pada Rabu, akhir Februari lalu, kepada Ngopibareng.id.
Sebelumnya, penulis kontak dengan Abu Yal’ab, salah satu pengurus YLP. Kata Abu Yal’ab kalau naik angkot dari terminal Osowilangun bisa turun ke Paciran. Lalu nyambung ojek ke Tenggulun. Tapi, karena jauh ongkosnya bisa Rp 30 ribu lebih. Bisa juga turun di Sukodadi, atau Pucuk, Lamongan, lalu nyambung ojek. Tapi, Tenggulun lebih dekat dari Paciran.
Jam 13. 00 penulis sudah sampai di depan kantor Zam Zam. Itu lah biro travel umroh dan haji yang dikelola Ali Fauzi. Selain di Lamongan, cabangnya ada di Paciran dan Malang. ‘’Kalau ke Lamongan Ustad Ali Fauzi selalu mampir ke sini,’ ujar staf perempuan berhijab kantor Biro Zam Zam kepada penulis.
Zam Zam rutin memberangkatkan jamaah haji dan umroh setiap tiga bulan sekali. Kalau rombongan besar di atas 100 orang, Ustad Ali Fauzi kadang jadi pembimbingnya langsung. Kalau jamaah dibawah 100 biasanya yang jadi tour guide anak buah Ustad,’’ staf tadi.
Menjelang pukul 14.00, sebuah mobil putih sejenis carry parkir di depan kantor Zam Zam. Keluar tiga pria. Salah satunya Ali Fauzi. Perawakannya kekar. Sepintas kalau menyeringai, wajahnya lebar tampak gigi putihnya. Sepintas seyumnya mirip almarhum Amrozi.
‘’Saya tidak mengambil untung banyak dari jamaah. Yang penting bisnis lancar. Itu pun labanya untuk membiayai anak anak mantan napi teroris (napiter) dan para istri mereka yang dipercayakan kepada YLP,’’ kata Ali Fauzi.
Dua pria yang ikut mendampingi Ali Fauzi adalah pengurus YLP. Sumarno tak lain masih keponakan Ali Fauzi. Sumarno selain terlibat konflik Ambon 1999. Juga pernah dibui enam tahun karena ikut menyembunyikan senjata dan sisa sisa amunisi yang ditinggalkan Amrozi, Mukhlas dan Ali Imron di Tenggulun yang tak lain paman Sumarno sendiri. Oleh Sumarno senjata tadi disembunyikan di hutan jati Solokuro meski akhirnya terbongkar.
Pria satunya lagi Saeful atau Abid nama panggilanya di medan konflik Ambon dan Poso. Dua jari kelingking dan manis kaki kananya terpaksa diamputasi akibat tertembak di Poso.
Penulis memberikan dua buku ke Ali Fauzi untuk sekadar bacaan. Haji Nekad Lewat Jalur Darat dan Azrul Ananda Dipuja dan Dicibir
Tak lama mobil bergerak ke Desa Tenggulun. Jaraknya dari kota Lamongan lumayan jauh. Sekitar 45 sampai 50 kilometer. Dari pertigaan Pucuk, belok kanan. Selama perjalanan hanya Ali Fauzi yang banyak ngomong. Sedangkan Sumarno dan Abid lebih banyak diam. Mereka waspada, cenderung hati hati, dan sedikit curiga. Tatapan mata mereka awas. Maklum, penulis juga baru ketemu jam itu juga. Baru malamnya suasananya lebih cair. Mereka mulai terbuka saat ditanya ini itu oleh penulis.
Satu jam kemudian masuk Desa Tenggulun. Tampak berdiri megah bangunan Yayasan Al Islam milik keluarga besar Amrozi yang kini dikelola dua kakaknya paling tua: Ustad Chozin dan Ustad Jafar Sodik. ‘’Itu rumah saya,’’ kata Ustad Ali Fauzi.
Sederatan dari rumah Ali Fauzi berdiri rumah Ali Imron, Ali Gufron atau Mukhlas. Rata rata rumah anak almarhum Nurhasyim, bapak Amrozi cukup megah dibandingkan warga sekitar. Rata rata di depan rumah terparkir mobil. Maklum, keluarga Nurhasyim tergolong petani kaya di desanya. Lahanya luas. Karena itu, anak anaknya bisa dipondokan ke Ponpes terkenal luar Lamongan. Salah satunya Ponpes Al Mukmin, Ngruki, Kabupaten Sukohardjo, Jateng milik Ustad Abu Bakar Ba’asyir. Ali Gufron salah satunya.
Juga Ali Imron dan dan Ali Fauzi. ‘’Saya hanya setahun di Ngruki lalu pindah. Tidak kerasan. Tidak ada permainan sepak bolanya. Padahal, itu yang paling saya suka. Makanya, saya pindah,’’ akunya.
Tak jauh dari situ terdapat komplek Masjid Baitul Muttaqin yang megah. Keramiknya putih mengkilap. Karpet juga tebal hingga enak di muka saat sujud. Di kiri kanan ada halaman luas. Tempat wudlunya bersih dengan puluhan air pancuran. Begitu dibuka, air sumur yang dipompa dengan Sanyo mengalir kencang. Di belakang masjid ada deretan ruang Taman Pendidikan Al-Quran (TPA).
Sore itu, anak-anak mantan napi teroris (napiter) dan sebagaian kecil anak warga sekitar tampak belajar mengaji. Yang selesai ngaji, ada yang main sepak bola, main sepedaan. Mereka tampak ceria seperti umumnya anak anak. Sebagaian yang menginjak remaja mengaji di teras TPA. Anak anak yang belajar tampak serius, mereka yang sudah mengaji bersendau gurau, bermain lepas di halaman belakang masjid.
Proses belajar mengajar dimulai pukul 14.00 setelah mereka pulang sekolah. Pukul 16.0 sudah berakhir.
Para pengajar dan guru adalah para istri napi terorisme (napiter) atau mantan napiter. Umumnya mereka mengenakan jilbab hitam. Saat penulis minta ijin mengambil gambar di ruang mengaji, mereka cukup ramah dan tak keberatan. ‘’Silakan.’’ Seraya bergegas mengenakan penutup mukanya.
Di ruang lain seorang pria muda, yang pernah terlibat konflik di Poso menjadi guru ngaji. Namanya Ustad Wachid. Ada beberapa anak laki laki dan perempuan mengaji. ‘’Mereka diajari ngaji, sejarah Islam, cara salat dan wudlu yang benar dan lainnya,’’ ujar Ustad Wachid kepada penulis.
Anak anak pengajian dibagi dalam beberapa kelompok sesuai umur. Ada tingkat B ada yang tingkat A. Anak anak kelas 1 sampai 3 SD dikelompokan ke dalam tingkat B. Sedangkan diatasnya dikelompokan ke tingkat A dan seterusnya. ‘’Ini untuk memudahkan proses pembelajaran,’’ tambah Wachid.
Sedangkan kantor YLP berdiri pas di depan, samping kanan Masjid Baitul Muttaqin. Selain dilengkapi papan nama, kantor berbentuk joglo dengan bahan kayu jati seluas 6 x 8 meter cukup modern. Lantai keramik putih, dilengkapi Wi-fi. Di belakang, terpisah dari induk kantor dilengkapi kamar mandi dan dapur. Di ruangan kantor ada tiga set meja kursi. Satu untuk Ali Fauzi sebagai Direktur YLP, dua kursi untuk mantan napiter pengurus YLP.
Ada sofa. Ruangan tengah digelari karpet. Biasa dipakai rapat pengurus. Semua masalah dibahas secara musyawarah. Kalau ada tamu atau wartawan ingin menginap tinggal beber karpet. ‘’Banyak wartawan meliput di Solokuro kalau bermalam ya tidur di sini,’’ aku Ali Fauzi.
Di pojok kantor ada tumpukan telor. ‘‘Itu dagangan napi teroris yang baru bergabung YLP. Kita suport penuh mantan napiter untuk memulai hidup baru. Kerja apa saja yang penting halal,’’ papar Ali.
Kini, ada sekitar 37 mantan napi teroris (napiter), mantan combatan dibawah naungan atau bergabung YLP. Umumnya mereka merangkap jadi pengurus YLP.
Juga ada puluhan anak napiter beserta para ibunya yang dipercayakan pengawasannya ke YLP oleh bapak/suaminya yang kini menjalani hukuman di berbagai lapas di Indonesia. ‘’Ini tugas besar kami membantu mereka untuk memulai hidup baru yang lebih tenang, damai sekaligus menyiapkan masa depan anak anak lebih baik,’’ kata Ali Fauzi.
Untuk menyadarkan para combatan, napiter yang berpaham keras tidak mudah. Butuh kesabaran ekstra keras. Karena itu, Ali Fauzi memilih napiter dan mantan combatan yang dikenalnya, atau pernah menjadi anak didiknya untuk didekati. Sebagaian ada yang menerima, tapi tak sedikit yang menolak.
Bahkan mereka ada yan mencap Ali Fauzi sudah murtad, keluar dari ajaran yang mereka yakini. Itu karena Ali Fauzi kini dekat dengan polisi terutama orang orang BPTN (Badan Penanggulangan Terorisme Nasional) saling mendukung men-deradikalisasi mantan napiter.
Tak jarang Ali Fauzi dibully baik lewat medsos, telepon, Whatsapp dan lainnya. Ali Fauzi dkk dikatakan penjilat sepatu polisi, anjing polisi dan tuduhan miring lainnya yang menyesakkan dada.
Kali pertama mendapat tudingan itu tersirat rasa marah, geram ingin membalas. Tapi, Ali Fauzi sejak awal sudah sadar resikonya ‘’menyadarkan’’ napiter jelas tidak mudah dan akan mendapat tanggapan beragam. Termasuk dicurigai sebagai kaki tangan dan mata mata polisi.
Tapi, Ali Fauzi bergeming dengan semua tuduhan miring tadi. Ali Fauzi menegskan bahwa YLP tetap independen, tidak ada yang menyetir YLP. Pengurus tetap berpegang pada visi semula mereka yakni, menyadarkan napiter dan membuat kehidupan mereka dan keluarganya lebih tenang dan sejahtera. Makanya, Ali tidak mencoba membalas ejeken mereka dengan balasan serupa. Tapi, Ali hanya meluruskan bahwa tudingan mereka tidak benar.
Bahkan Ali Fauzi kerap mendapat ancaman akan dibunuh kelompok garis keras yang terusik kehadiran YLP. Mendapat ancaman itu Ali bersikap biasa meski tetap waspada. Apalagi, Ali dan pengurus YLP kerap terlibat konflik di Poso dan Ambon. Soal nyawa itu urusan Allah. ‘’Kami sedikit pun tak gentar atas maraknya ancaman itu. Kami tetap berharap suatu saat mereka sadar dan ikut membantu kami melakukan deradikalisasi mantan napiter,’’ aku Ali.
Pernah suatu kali orang orang YLP mengedus ada kelompok radikal melakukan observasi ke Desa Tenggulun, tempat tinggal Ali Fauzi sekitarnya. Tujuannya, untuk menghabisi Ali Fauzi. Mendapat ancaman langsung Ali Fauzi dkk pun siap perang. Tapi, entah mengapa kemudian mereka membatalkan niatnya menghabisi Ali Fauzi. ‘‘Mungkin mereka juga berhitung. Kalau berhadap hadapan tidak menang ya mereka pilih mundur,’’ duga Ali Fauzi
Tapi, beragam ancaman dan makian tak menyurutkan tekad Ali Fauzi dkk di YLP menyadarkan mantan napiter meninggalkan cara cara kekerasan dalam menegakan cita cita. Apalagi, sampai membawa korban orang orang yang tidak berdosa. ‘’Kita semua ingin hidup damai.’’
Kata Ali Fauzi, sebenarnya dirinya sudah lama membantu mantan napiter yang umumnya hidup susah, tak tentu arah selepas dari bui. Mereka juga susah mencari kerja karena dicap teroris.
Sementara Ali Fauzi nasibnya lebih bagus. Selain latar belakang keluarganya sedikit mampu, nama besar saudara saudaranya yang terlibat Bom Bali sedikit memberi keuntungan pada Ali Fauzi. Mereka masih diterima masyarakat sekitarnya dan banyak orang membantu dirinya.
Tapi, nasib berbeda dialami napiter lainnya. Mungkin mereka lebih berani, lebih tenar tapi hidupnya susah. Cari kerja sulit, dikucilkan lingkunganya. Anak anak mereka yang kena dampaknya.
Karena itu, Ali Fauzi merasa terpanggil membantu mereka. Apalagi, saat masih di penjara Ali Fauzi sudah bercita cita selepas penjara semampunya akan membantu para napiter yang hidup susah. Namun ada saja menuding miring. Termasuk dicap penjilat. ‘’Mereka salah sangka. Nanti lama lama juga mereka akan mengerti dan sadar bahwa kami membantu napiter keluar ketepurukan sekaligus memutus mata rantai radikalisme,’’ akunya.
Ali juga pernah bersua beberapa korban di Jakarta. Sebagaian cacat permanen. Padahal, mereka tidak tahu apa-apa. Hanya kebetulan lewat saat bom meledak. ‘’Itu membuat saya makin kuat untuk membantu pemerintah mendekaradikalisasi napiter.’’
Karena itu, meski terus diancam kelompok radikal yang tidak sependapat dengan YLP, tapi Ali Fauzi tak mengendurkan semangat membangun tapi silahtutrahmi dengan napiter.
Seperti saat pulang dari Klaten mengantar anak napiter Salman, Ali Fauzi menyempatkan menyambangi mantan napiter di kawasan Sukoharjo, dekat pabrik Batik Keris . Nama lapangannya Jack, mantan pengawal Noordin M Top teroris yang tewas ditembak.
Jack berkulit bersih, kuning. Matanya awas, apalagi terhadap mereka yang tidak dikenal. Mengenakan baju gamis. Saat ketemu Ali Fauzi dkk mereka tampak akrab. Saling peluk, tak lupa cipika cipika. Minuman, roti kabin, kacang dihidangkan si empunya rumah.
Mereka ngobrol ngalor ngidul membicarakan nasib rekan mereka sesama napiter. Baik yang sudah sadar, setengah sadar maupun yang masih memegang teguh ajaran garis keras. Saat menyebut nama rekannya, kadang mereka ada yang tidak paham. Maklum, dalam dunia napiter mereka banyak menggunakan nama samaran. Orangnya sama, nama aliasnya banyak. Jadi hafal wajah belum tentu tahu nama aslinya. ‘’Itu hal lumrah. Mereka jarang menyebut nama asli. Kami pun kadang tidak tahu nama asli rekan kami,’’ kata Sumarno.
Kata Ali Fauzi, Jack sudah sadar. Orang yang menyadarkan ternyata Ali Imron, kakaknya. Kini, Jack sehari hari jualan soto yang lokasi warungnya tak jauh dari rumahnya. (Bahari/bersambung)
Advertisement