Dicaci pun Rasulullah Tetap Bersyukur, Ini Tausiyah Kiai Azaim
KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, menyampaikan pesan-pesan penting terkait Maulid Nabi. “Al Kautsar, Limpahan Nikmat dan Dimensi Kesyukuran”, itulah tema penting dikupas Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, KHR Ahmad Azaim Ibrahimy.
Ini merupakan kelanjutan dari pesan sebelumnya:
Sebagaimana kita tahu, dengaan berkurban berarti ia telah mengeluarkan harta yang paling dicintai oleh jiwa yang biasanya ia kikir untuk mengeluarkannya.
Terdapat banyak anugerah yang diberikan Allah kepada kekasihnya, junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw. Beliau menyambut anugerah-anugerah tersebut dengan bentuk kesyukuran kepada Allah berupa pengabdian dan penghambaan.
Diriwayatkan, pada suatu ketika Rasulullah ditanya oleh para sahabat perihal kenapa beliau begitu bersemangat menunaikan ibadah salat sunnah hingga bengkak kakinya. Padahal, dosa-dosanya sudah diampuni, baik yang telah berlalu maupun yang akan datang. Nabi menjawab, “Tidakkah aku menjadi hamba yang bersyukur?”. (HR. Muslim)
Begitu pula pada saat nabi ditanya oleh para sahabat perihal puasa sunahnya pada hari senin. Beliau menjawab, “Karena pada hari itu aku dilahirkan dan Al-Quran diturunkan kepadaku”. (HR. Muslim)
Dua kisah di atas hanyalah secuil dari sekian banyak riwayat yang menceritakan totalitas pengabdian nabi kepada Rabbnya, terutama dalam ibadah mahdah. Bagi pribadi beliau perbuatan sunah adalah suatu kewajiban. Semisal salat tahajjud, witir yang tak pernah ditinggalkannya. Sementara yang makruh pun, baginya menjadi haram untuk dilakukan.
Syukur dalam dimensi sosial
Syukur nabi dalam dimensi sosial terekam jelas dan gamblang dalam jejak sejarah perjuangan beliau. Sejak awal, dakwahnya selalu mendapat rintangan dan tantangan. Intimidasi dan siksaan beliau terima.
Mulai cacian, hujatan, dilemparan kotoran dan batu hingga berlumuran darah. Bahkan beliau dan pengikutnya mengalami penderitaan yang sangat luar biasa akibat pemboikotan kaum Quraish di Syi’ib Abu Thalib baik secara ekonomi maupun sosial.
Namun Rasulullah SAW menghadapi semua cobaan dan rintangan dengan sabar dan lapang dada. Semua itu beliau lakukan hanya semata-mata ingin menyelamatkan umat manusia dari perpecahan, dari jurang kesesatan dan pedihnya siksa api neraka. Firman Allah:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk". (QS. Ali Imran: 103)
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa wujud syukur nabi dalam bentuk sosial yakni menolong yang lemah tak ada yang bisa membantah. Semangat nabi terus berdakwah menanamkan akidah untuk menyelamatkan umat manusia walau sering difitnah adalah wujud syukur kepada Allah atas segala karunia yang diberikan. Sementara janji Allah siapa yang bersyukur maka akan ditambah.
Dalam ayat lain digambarkan bahwa syukur sebagai tolok ukur, apakah kita akan menjadi hamba yang penyukur ataukah kufur. Firman Allah:
Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.QS. Al-Naml:40
*) Sumber: KHR Ahmad Azaim Ibrahimy saat memberikan sambutan pada Peringatan Maulid Nabi Muhammad 1440 H.