Dibully Mati, Sudah Biasa
Oleh: Djono W. Oesman
Beberapa detik sebelum meninggal, bocah laki kelas dua SD inisial MH, 9, nafasnya megap-megap, putus-putus. Ia menyebut nama (anak laki inisial AZ) kelas lima, pengeroyoknya. Lalu, MH menutup mata, untuk selamanya.
—--------
Drama kehidupan nyata itu terjadi di RS Hermina, Sukabumi, Jabar, Sabtu, 20 Mei 2023 pukul 08.00 WIB. Diceritakan langsung oleh kakek MH bernama Yusuf, 52, kepada pers, Minggu (21/5).
Yusuf: "Ketika ia kami tanya, siapa yang melakukan (penganiayaan), ia menyebut nama (AZ), tapi kata-katanya tidak berlanjut, karena ia sudah keburu tidak ada.”
Kejadian itu disaksikan ortu MH dan Yusuf yang selama empat hari menunggui MH di RS. Kemudian MH dimakamkan di desanya di Kecamatan Sukaraja, Sukabumi.
Usai pemakaman, keluarga MH melacak nama AZ di sekolah. Kondisi sekolah sudah libur. Dari penjaga sekolah, mereka mendapatkan empat nama dengan inisial tersebut. “Ada empat anak yang namanya sama. Kami akan minta tanggung jawab sekolah, karena kejadian penganiayaan di sekolah,” kata Yusuf.
Kronologi kejadian, menurut Yusuf begini:
Senin, 15 Mei 2023 siang, sepulang sekolah MH langsung tidur. Itu di luar kebiasaan. Biasanya ia langsung main. Setelah bangun tidur, MH mengeluh ke ortu, ia pusing, dadanya sakit. Ortu tidak bertanya, apa yang terjadi di sekolah. Ortu mengira, MH sakit flu. Disuruh banyak istirahat.
Selasa, 16 Mei 2023 pagi. Ortu mencegah MH sekolah, disuruh libur karena sakit. Tapi MH bersikeras minta sekolah. Ia mandi, sarapan, lalu berangkat sekolah.
Pulang sekolah MH tambah sakit. Muntah-muntah. Wajahnya pucat, jalannya membungkuk. Keluarga memberi obat daun-daunan direbus, karena dikira sakit flu.
Rabu, 17 Mei 2023 pagi. MH kejang-kejang, seperti anak bayi demam tinggi. Suhu tubuhnya diraba, panas. MH dibawa ortu ke RS Primaya, tak jauh dari rumah.
Dokter memeriksa sekujur tubuh MH. lantas, dokter bertanya ke ortu MH, bagaimana ceritanya anak itu bisa sampai begitu. Keluarga menjawab, menduga MH sakit biasa. Dokter mengatakan, hasil pemeriksaan luar, ada tanda penganiayaan.
Ortu kaget, lantas bertanya ke MH, siapa yang menganiaya? MH tak menjawab. Cuma diam. Merintih menahan sakit, katanya, di dada.
Lantas dokter punya cara. Ortu dan kakek MH yang mengantar, diminta dokter agar keluar dari ruang pemeriksaan. Dokter mengatakan, ia akan bertanya secara pelan-pelan ke MH. Mungkin saja MH akan berterus-terang.
Keluarga MH keluar. Tapi ngumpet di balik gorden, penasaran ingin mendengar pengakuan MH ke dokter.
Terbukti jitu. MH cerita ke dokter, ia dikeroyok empat anak di sekolah pada Senin (15/5) atau dua hari sebelumnya. Di halaman sekolah. Ia dipukul dan ditendang, kena dada dan kepala.
Dilanjut, Selasa (16/5) saat di sekolah lagi, di dekat toilet MH dikeroyok empat anak yang sama. Kali ini dihajar. MH jatuh ke tanah, kepalanya diinjak-injak empat anak itu.
Dokter meneliti lagi ke bagian-bagian tubuh yang katanya dipukul, ditendang, diinjak-injak. Akhirnya, pihak RS Primaya menyatakan, MH tidak bisa ditangani di situ. Sebab, katanya RS tersebut tidak menangani korban bullying. Dirujuk ke RS Hermina, Sukabumi, yang punya peralatan medis pendukung.
Ortu membawa MH ke RS yang dirujuk. Tiba di sana, kondisi MH antara sadar dan tidak. Kesadarannya timbul-tenggelam. Dokter bertanya ke keluarga tentang riwayat kejadian. Keluarga menceritakan cerita MH kepada dokter di RS Primaya. Lalu MH dirawat di ICU.
Hari demi hari kondisi MH kian memburuk. Pihak keluarga tidak tega menanyakan ke MH, kronologi pengeroyokan. Keluarga cuma dapat info minim dari MH, bahwa pengeroyoknya para kakak kelas, empat orang. Itu pun dikatakan MH dalam ketakutan. Tanpa menyebut nama-nama.
Sabtu, 20 Mei 2023 pukul 07.59 WIB, kondisi MH sangat buruk. Nafasnya megap-megap. Di situasi menyedihkan itu keluarga bertanya lagi, siapa ketua penganiayanya?
MH membuka mata, lalu menyebut nama (AZ). Lantas ia merem lagi. Beberapa detik kemudian MH hilang nafas, selamanya. Bocah cerdas itu meninggal.
Keluarga minta penjelasan dokter tentang penyebab kematian. Semua data diserahkan dokter kepada keluarga.
Yusuf: "Hasil periksa dokter, cucu saya mengalami luka pecah pembuluh darah, dada retak dan tulang punggung retak, luka dalam yang parah."
Kapolsek Sukaraja, Kompol Dedi Suryadi, dikonfirmasi wartawan mengatakan, kasus dugaan pengeroyokan MH belum dilaporkan pihak keluarga ke polisi. Tapi, polisi akan menyelidiki.
Bullying terus terjadi. Belum ada riset, berapa jumlah kasus bullying per hari, di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia?
Di hari yang sama ketika MH dihajar di sekolah Sukabumi, di Jakarta juga terjadi bullying terhadap anak perempuan inisial A, 10, di Dam Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Kejadian tersebar di YouTube, Selasa (14/3) malam. Atau di hari yang sama ketika MH dianiaya. A dihajar tiga remaja cewek-cowok.
Ketua RT 14 Kalibaru, Wahid, dikonfirmasi wartawan menyatakan, ia sudah mendengar kabar bullying itu, tapi belum mengetahui kronologi lengkap.
Wahid: "Jadi, kami dari pengurus RT 14 bisa dibilang soal tawuran seperti itu sudah lelah, Pak. karena terlalu sering. Kami kewalahan menangani anak-anak ini.”
Tanpa riset, pengakuan Wahid menandakan bahwa bullying sudah terlalu sering di wilayah RT tempat tinggalnya. Indonesia darurat bullying.
Prof James Lehman dalam bukunya bertajuk: “The Total Transformation Program” (2004) memaparkan gamblang, penyebab anak dan remaja jadi pelaku bullying. Siapa mereka? Bagaimana mereka dididik ortu? Terpenting, mengapa mereka bisa jadi begitu kejam?
Prof Lehman, kelahiran 1946 adalah guru besar pendidikan anak dan remaja di Purdue University, West Lafayette, Indiana, Amerika Serikat (AS). Ia sangat terkenal di sana. Ia punya masa kecil dan remaja sangat suram. Ditinggal kedua ortu saat usia 18 bulan. Diadopsi orang. Saat remaja ia keluar-masuk penjara. Lantas, ia diterapi psikologi oleh negara (AS). Itulah titik balik Lehman jadi ‘orang normal’, sampai jadi profesor.
Back-ground Lehman itu dianggap publik sana lebih penting dibanding gelar pendidikan Lehman: Philosophy of Doctor, Science Education, Purdue University (1979).
Mengapa anak dan remaja mengintimidasi teman? Jawabannya sederhana: Itu memecahkan masalah sosial mereka. Memecahkan problem pribadi mereka.
Dijabarkan, anak dan remaja lebih mudah menindas seseorang daripada menyelesaikan masalah sosial mereka. Masalah sosial mereka adalah, menyangkut problem kehidupan mereka. Tentang bergaul, kebosanan, persaingan antar anak tentang berbagai hal, terutama sekali soal pengendalian emosi dalam menghadapi ketidak-adilan hidup manusia.
Untuk mengatasi itu dibutuhkan kepribadian kuat, disebut manajemen emosi atau koping. Nah… mereka yang kesulitan mengelola emosi, mendapatkan jalan keluar dengan menindas anak lain. Umumnya, itu dilakukan berkelompok atau mengeroyok. Karena pelaku bullying tidak mampu mengelola emosi dan tidak percaya diri. Makanya mengeroyok orang lain.
Pelaku bullying di masa anak dan remaja, akan jadi pelaku Domestic Violence (Indonesia menyebutnya KDRT) setelah ia berkeluarga, kelak. Itu sudah otomatis, jika pelaku tidak disekolahkan khusus untuk itu, atau terapi psikologis.
Pelaku bullying di masa anak dan remaja, tidak pernah belajar menjadi pasangan (suami-isteri) atau orang tua yang efektif. Sebaliknya, mereka hanya pengganggu. Dan orang lain dalam keluarga itu hidup dalam ketakutan. Takut dibentak, dipanggil secara kasar, atau dipukul.
Buku Lehman menggambarkan jalan pikiran pelaku bullying, sejak anak sampai dewasa, begini: "Jika kamu melakukan apa yang saya katakan, maka akan ada kedamaian di sekitar sini. Tapi jika tidak, maka rasakan sendiri balasanku."
Jadi, seolah-olah orang lain di sekitar pelaku adalah orang yang bersalah. Karena, semua pelaku bullying selalu mengatakan, sesuatu kesalahan pada dirinya adalah bukan salahnya, melainkan menyalahkan orang lain. Selalu mencari alasan, selalu mencari kambing hitam, meskipun dalam nurasinya ia tahu, bahwa itu kesalahan dirinya.
Lehman: ”Dan, jika Anda sebagai orang tua tidak mampu mengatasi amukan diri sendiri itu sejak dini, maka anak-anak Anda bakal mengembangkan masalah perilaku yang brutal, seiring bertambahnya usia.”
Intinya (seolah-olah) perilaku KDRT itu menurun. Diturunkan dari ortu ke anak. Padahal bukan. Ortu pelaku KDRT bakal ditiru anak-anak mereka. Karena, anak dan remaja kesulitan mengelola emosi pribadi. Lebih gampang jadi pembully dibanding menyelesaikan masalah pribadi.
Intinya, membully atau menganiaya orang adalah jalan keluar bagi anak dan remaja agar keluar dari perasaan tertekan akibat berbagai problem hidup.
Pastinya, tidak semua anak dan remaja begitu. Cuma mereka yang dilahirkan dengan kepribadian kuat, atau terlatih kuat, atau dilatih khusus dalam terapi psikologi yang intensif, yang mampu mengatasi problem kehidupan.
Ngerinya, kata Prof Lehman, perilaku pembully tidak dimulai saat seseorang berusia remaja. melainkan dimulai saat anak berusia lima atau enam tahun. Bermula dari olok-olok teman. Kemudian berlanjut semakin brutal. Kelak jadi KDRT.
Indonesia tidak menyediakan terapi psikologi buat para pembully. Umumnya, terapi diberikan untuk para korban bullying. Malah terbalik. Hasilnya, pembully berkembang-biak. Dari generasi ke generasi.
*) Wartawan Senior
Advertisement