Dibanding Pria, Imun Perempuan Disebut Lebih Kuat Lawan Covid-19
Jurnal Nature menerbitkan temukan jika perempuan lebih berpotensi membangun respon kekebalan tubuh lebih kuat terhadap virus Corona, dibanding laki-laki. Temuan ini menawarkan penjelasan logis atas fenomena banyaknya pasien laki-laki yang memgalami gejala berat akibat Covid-19. Namun, penelitian ini juga memiliki sejumlah keterbatasan.
Dalam jurnal yang diterbitkan pada Rabu, 26 Agustus 2020, disebutkan jika 60 persen pasien yang meninggal akibat Covid-19 adalah laki-laki. "Yang kami temukan adalah bahwa laki-laki dan perempuan mengembangkan respon imun berbeda atas Covid-19,' kata Akiko Iwasaki, pimpinan penelitian dan profesor di Universitas Yale, Amerika Serikat. Pakar kekebalan tubuh ini melanjutkan, "Perbedaan ini bisa jadi menjelaskan kerawanan Covid-19 pada laki-laki,' katanya.
Dalam penelitian itu, mereka mengumpulkan sampel nasal, saliva, dan darah relawan yang tidak terinfeksi dan kemudian menelitinya di laboratorium Yale di Amerika Serikat. Hasilnya, mereka menemukan jika perempuan memiliki imun yang lebih kebal berkaitan dengan T limfosit, jenis sel darah putih yang bisa mengenali virus dan mengalahkannya. Temuan ini juga muncul pada relawan perempuan berusia lanjut.
Sedangkan, relawan laki-laki ditemukan memiliki sel T yang lebih lemah. Semakin tua mereka, semakin lemah respon sel jenis ini.
Selain itu, juga diketahui laki-laki memproduksi lebih banyak sitokin, protein yang bisa meradang dan membentuk bagian lain dari tubuh bekerja sebagai benteng tubuh secara alami. Namun, pada sejumlah kasus Covid-19, ditemukan adanya badai sitokin, sebuah kondisi ketika sistem imun bereaksi berlebihan dan menjadi membahayakan bagi tubuh hingga menyebabkan kematian.
Selain itu, laki-laki dengan sitokin yang banyak di awal infeksi, menunjukkan kerentanan lebih tinggi dibandingkan laki-laki dengan sitokin yang rendah.
Menurut penulis, temuan ini bisa memberikan petunjuk tentang perawatan yang tepat bagi laki-laki dan perempuan. "Untuk laki-laki seharusnya bisa meningkatkan respon sel T lewat vaksin, sedangkan vaksin pada perempuan bisa digunakan untuk mengontrol sitokinnya," kata Iwasaki.
Namun, penelitian Yale juga memiliki keterbatasan. Sampel yang diambil tergolong kecil, hanya 98 pasien. Rata-rata usia pasien juga tergolong lanjut, di usia 60 tahunan.
Eleanor Riles, profesor di Universitas Edinburgh merespon hasil penelitian bisa saja muncul akibat perbedaan usia dan indeks massa badan serta lemak tubuh. Perbedaan jenis kelamin menurutnya akan hilang jika indikator itu ikut diteliti. Ia juga mengatakan jika penelitian akan lebih baik jika seluruh relawan diteliti tanpa membedakan jenis kelamin. (Alj)