Dianggap Legalkan Perzinahan, Aliansi Cinta Negeri Tolak RUU PKS
Komunitas yang menamakan dirinya pencinta negeri, memaanfatkan car free day di kawasan Bundaran Hotel Indonesia Thamrin, sebagai media untuk aksi damai.
Dalam aksi damai selain mengumpulkan tanda tangan di atas kain berukuran 50 mx2 m, peserta aksi juga membagi-bagikan poster yang isinya menolak pengesahan RUU PKS. Alasannya UU ini melegalkan perzinahan dan memberi ruang tumbuh kembangnya lesbi, gay, bisex dan trans gender (LGBT) di Indonesia.
Aktivis "Pecinta Negeri" Indasa, mengatakan, RUU PKS, harus ditolak karena mengadopsi pemikiran liberal, orang boleh melakukan apa saja, melanggar norma agama sekalipun asal suka sama suka. "Kalau pasal yang cenderung melegalkan perzinahan atas dasar suka sama suka diloloskan, untuk apa pendidikan moral digembar-gemborkan" kata Indasa kepada ngopibareng.id di bundaran HI Minggu, 21 Juli 2019.
.
Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menargetkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) bisa disahkan DPR pada Agustus 2019.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Vennetia R Danies mengatakan pembahasan dan pengesahan RUU PKS ini sangat penting karena bila tidak ditargetkan pada Agustus mendatang, maka pembahasan akan semakin molor.
Mengingat anggota DPR untuk periode 2019-2024 akan dilantik pada Oktober 2019. Hal itu, menurutnya akan memperlambat proses pengesahan, karena anggota DPR tersebut merupakan anggota baru.
"Targetnya, Agustus sudah diratifikasi karena kalau kita menunggu Oktober, sudah lain lagi. Mulai dari bawah lagi," ujar Vennetia di kantor KPPPA.
Draft RUU PKS disampaikan kepada Presiden Joko Widodo pada april 2017. Sebulan setelahnya, Daftar Inventaris Masalah (DIM) dikeluarkan dengan perubahan menjadi 52 pasal dari yang sebelumnya terdapat 152 pasal.
Vennetia menjelaskan, salah satu urgensi pembahasan RUU PKS adalah kondisi kaum disabilitas yang rentan terhadap kekerasan seksual.
"Banyak juga laporan-laporan kaum disabilitas yang mengalami kekerasan seksual oleh orang yang bukan disabilitas. Ada relasi kuasa di situ," kata Vennetia.
Berdasarkan data dalam sistem informasi online (Simfoni) KPPA, terdapat 7.275 kasus kekerasan seksual sepanjang 2018. Dari sebagian jumlah itu, kata Vennetia, juga disebabkan oleh relasi kuasa yang tidak seimbang.
Selain itu, ia menceritakan, kekerasan seksual terhadap kaum disabilitas kerap terjadi di panti asuhan. Kejadian ini juga kerap dilakukan dengan pemaksaan penggunaan kontrasepsi agar jejak kekerasan seksual tidak diketahui.
"Jangan sangka disabilitas di tempat-tempat panti-panti asuhan tidak banyak, ada yang pakai kontrasepsi agar melindungi, kan? Dari Kementerian Kesehatan juga tahu, supaya dia (pelaku) leluasa untuk melakukan kekerasan seksual," terangnya.
Selain itu, Vennetia mengatakan pihaknya akan melakukan pertemuan dan diskusi bersama institusi yang tidak termasuk dalam panitia antar kementerian (PAK).
Hal ini, katanya akan mempercepat proses pendalaman dalam pembahasan RUU itu.
"Nah, supaya cepat, bertemu antar kementerian lembaga, institusi yang tidak masuk dalam PAK. Komnas (Perempuan) anak, LPSK dab ORI (Ombudsman RI)," jelasnya.
Pembahasan RUU PKS kerap menjadi polemik di kalangan masyarakat karena sering dianggap mendukung seks bebas dan LGBT. Hal ini ditunjukkan dengan penyampaian petisi menolak RUU itu dengan judul provokatif 'Tolak RUU Pro Zina' beberapa waktu lalu.
Dalam RUU PKS itu, mengerucutkan sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual menjadi empat jenis tindak pidana dalam bentuk Daftar Inventaris Masalah (DIM).
Keempat jenis tindak pidana itu adalah pencabulan, persetubuhan dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, eksploitasi seksual dan penyiksaan seksual. Sebelumnya, sembilan bentuk kekerasan seksual yakni seperti pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. (asm)