Dialog Kebudayaan, Gus Mus Prihatin Fenomena Cebong Kampret
KH Mustofa Bisri atau Gus Mus mengungkapkan keprihatinannya terhadap situasi sosial politik Indonesia saat ini. Prihatin dengan fenomena Cebong dan Kampret. Yang merasa seakan paling benar sendiri. Keprihatinan tersebut disampaikan Gus Mus saat berbicara dalam Dialog Kebangsaan yang digelar di Universitas Alma Ata, Yogya, Rabu 21 November.
Gus Mus menyatakan keprihatinannya tersebut lewat guyonan khasnya. Guyonan satir yang menggambarkan situasi kekinian. Menurutnya, jangan-jangan yang saat ini berbicara dan bikin ramai di dunia politik bukan lagi manusia melainkan Cebong dan Kampret tersebut. Sehingga ketika bicara Persatuan Indonesia seperti yang ada di dalam Pancasila maka yang ada adalah Persatuan Cebong sendiri, persatuan Kampret sendiri.
Spontan ucapan pengasuh Pondok Pesantren Roudhatul Thalibien Rembang ini disambut gerrr hadirin. Termasuk para pembicara lainnya, Moh Mahfud MD (mantan Ketua MK) dan Bambang EC Widodo (mantan Bawaslu). Juga pemandu dialog Alvito D Ginting dari CNN Indonesia. Dialog Kebangsaan ini digelar dalam rangka Maulid Nabi Muhammad, HUT Universitas Alma Ata dan peletakan batu pertama pembangunan Menara Al Musthofa.
Gus Mus juga menyoroti sulitnya mengubah budaya politik Indonesia menuju budaya politik yang lebih bermartabat. Atau sulitnya mendapatkan politisi yang bersih, bebas korupsi, dari pemilu dengan kondisi seperti saat ini.
"Kita itu dididik Pak Harto 32 tahun atau 64 semester. Masak mau diubah oleh mereka yang sekolah hanya delapan semester atau sepuluh semester," seloroh Gus Mus.
Di dalam tradisi pesantren, lanjut Gus Mus, santri yang belajar nahwu shorof 10-15 tahun saja sudah malakah, mendarah daging. Sedangkan bangsa ini dididik oleh Pak Harto selama 32 tahun. "Kita tidak hanya menjadi alim, pintar, tapi sudah menjadi amil, menjadi pengamal."
Maka kalau melihat ada tulisan di bak truk "Piye Enak Zamanku to?" dengan gambar Pak Harto tersenyum, Gus Mus akan menjawab, "Yo benar enak zaman sampeyan. Waktu itu Pak Hartone cuman sampeyan thok, sekarang semua jadi Pak Harto," ungkap Gus Mus, lagi-lagi disambut gerrr.
Lalu bagaimana membuat bangsa ini menjadi lebih baik, Gus Mus menegaskan saatnya kita "mencabut kepala kita dan menggantinya dengan kepala yang baru." Dengan bahasa lain, Gus Mus menyebut revolusi mental. Tapi, revolusi mental yang benar.
Soal revolusi mental ini juga disinggung Mahfud MD. Menurutnya, sampai sekarang belum jelas juga konsep revolusi mental tersebut seperti apa. Siapa inisiatornya, bagaimana caranya, apa bentuknya belum ada yang bisa memaparkan secara jelas.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini juga menyoroti berbagai bentuk korupsi yang dilakukan di tingkat kebijakan. Baik yang dilakukan eksekutif maupun legislatif. Mahfud mencontohkan proses dealing dalam pembentukan peraturan maupun kebijakan. Pihak legislatif maupun eksekutif bisa saja sebagai pelaku suap untuk meloloskan satu kebijakan. Tak heran jika keduanya bisa kena OTT KPK.
Hal tersebut bisa terjadi sebagai akibat politik beaya tinggi. Juga bisa terjadi karena "pembagian" jatah koalisi. Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Bambang Eka Cahya Widodo menguraikan, jika koalisi di tingkat Pilpres, maka Presiden terpilih bisa mengakomodasinya di dalam susunan kabinet.
"Tapi untuk tingkat provinsi dan kabupaten atau kota, gubernur, bupati atau walikota tidak punya kabinet. Sedangkan kursi kepala dinas merupakan jatah PNS birokrat. Maka yang kemudian terjadi, adalah pembagian proyek penjatahan maupun kolusi kebijakan. Ini yang biasa terjadi," ungkap mantan Ketua Bawaslu ini.
Sementara itu mewakili Menristekdikti, Staf Khusus Menristekdikti Abdul Wahid Maktub dalam sambutannya mengapresiasi lompatan capaian Universitas Alma Ata. Capaian dalam peningkatan kualitas serta ranking perguruan tinggi yang begitu cepat. "Luar biasa yang dicapai Universitas Alma Ata ini. Kami sangat mengapresiasi. Ini bukti bahwa memang beda bagi mereka yang sungguh-sungguh dengan mereka yang asal-asalan," tegasnya.
Wahid mengingatkan, tantangan di masa mendatang makin berat. Tidak hanya di dunia pendidikan tinggi. Namun, di semua aspek kehidupan. Hanya mereka yang memiliki kualitas terbaiklah yang akan menjadi pemenang. (Erwan Widyarto)