Dialog Batin Ibadah Musikal Mengenang Djaduk
Saya meyakini kebaikan itu kembali ke diri kita. Bukan ke orang lain penerima kebaikan.
Itu yang tertulis di dalam ayat kenyataan.
Saya membacanya dari 100 hari kematian Djaduk Ferianto.
Pria yang meninggal 13 Nopember 2019 lalu.
Djaduk itu bukan kiai. Juga bukan pendeta dan pastur.
Ia hanya seorang musisi.
Bukan pula musisi pop. Yang kalau manggung dibanjiri puluhan ribu massa. Juga lagunya diputar di mana saja.
Djaduk bukan jenis musisi itu. Ia musisi yang hidup di kampung. Yang mengembangkan genre world musik Indonesia. Yang penikmatnya bukan ratusan ribu. Bukan bejibun.
Kalau pun ada keunggulan melekat dalam dirinya, itu karena ia anak Bagong Kussudihardjo. Bapaknya seorang penari besar di zamannya. Koreografer tari ulung. Yang sering mengisi acara-acara kenegaraan.
Kakaknya Butet Kertaredajasa juga senima multi talen. Pelukis, pembuat seni keramik, monolog, pemain teater dan yang istimewa punya bakat pedagang ulung.
Tapi Djaduk ternyata bukan sekadar musisi biasa. Ini terlihat setelah ia meninggal dunia. Juga ketika 100 hari kematiannya. Yang berlangsung Selasa malam kemarin.
Para sahabatnya menggelar Ibadah Musikal, Mengenang 100 Hari Kematian Djaduk Ferianto. Di Taman Budaya Yogyakarta.
Ini semacam konser musik. Persembahan para seniman yang merasa mendapat sentuhan tangan Djaduk ketika masih hidup.
Mereka tampil dengan pro bono. Alias gratisan. Tanpa dibayar. Seperti orang yang datang buwuh ke tempat orang kawinan. Tapi tampil optimal sepenuh hati.
Ada Syaharani, Shoimah, Endah Laras, dan Tashora. Yang disebut terakhir ini grup band yang lagi hipe. Vokalis dan premain basnya Gusti, putri pertama Djaduk.
Mestinya Idang Rasidi, musisi jazz kawakan itu juga hadir. Namun batal karena alasan kesehatan.
Ada juga sahabat Djaduk yang datang jauh dari New York: James F Sondakh.
Sardono W Kusumo dari Solo datang memberi sambutan. Ia penari kelas dunia. Yang dulu bersahabat dengan Bagong. Lalu sangat dekat dengan Djaduk.
Ia memberi sambutan dengan cara unik. Berdialog dengan Djaduk. Di atas panggung. Benar-benar seperti orang bercengkerama.
''Duk...Sorry ya. Kemarin aku nggak datang,'' kata Sardono sambil memandangi gambar siluet Djaduk di panggung.
Ia terus bercerita tentang pertemuannya dengan Djaduk di dunia kesenian. Bersaksi tentang kesenimannya. Berkisah tentang pertemuannya saat di Jepang. Ketika Djaduk mendapat beasiswa untuk 6 bulan di sana.
Setelah panjang lebar bercerita pergulatan Djaduk dengan dirinya di Jepang, Sardono berkesimpulan. Djaduk jenis seniman yang karyanya bukan hanya untuk kesenian.
Bukan seni yang menyendiri. Yang nglangut dan sepi.
Tapi kesenian yang juga bermakna untuk orang awam. Orang kebanyakan. Bukan orang terbatas dan terpilih.
Penemuan jati diri Djaduk di Jepan seperti cerita Sardono itu tampaknya yang melahirkan Ngayogjazz. Festifal musik yang sudah berlangsung sejak belasan tahun lalu.
Festival musik jazz yang digelar di desa-desa. Di kampung-kampung secara bergiliran di Jogjakarta.
Siapa pun tahu, musik jazz itu jenis musik elitis. Dulu hanya digemari kaum elti. Bahkan juga hanya bisa dinikmati dan digemari klas atas dalam strata sosial.
Di tangak Djaduk, jazz tampil merakyat. Juga menggembirakan banyak orang. Event tahunan Ngayogjazz banyak ditunggu orang. Untuk hadir menikmati penampilan para musisi. Atau sekadar kangen-kangenan dengan berbagai kawan.
Djaduk mengukuhkan diri sebagai musisi dengan membentuk Kua Etnika dan Sinten Remen. Satu kelompok musik yang mengaduk alat musik modern dengan tradisional.
Sinten remen lebih sebagai grup musik keroncong yang dikemas kekinian. Lebih tepat disebut keronocong kontemporer. Pemainnya juga hampir sama dengan para pemain Kua Etnika.
Tapi Djaduk bukan musisi yang tak pernah puas dengan pencapaiannya. Ia selalu gelisah. Selalu ingin ada yang baru. Setiap even yang digagasnya. Setiap karyanya sebagai musisi.
Kegelisahan itu yang selalu membuat lambungnya bergolak setiap ia punya gawer besar. Juga yang menyulut kematian tiga hari menjelang Ngayogjazz yang ia gagas dan secara kosisten setiap tahun digelarnya.
Jantungnya yang seharusnya empat tahun lalu harus dipasang ring tak kuat menahan kegelisahannya. Ia menghembuskan napas terakhirnya hanya dua jam setelah rapat persiapan Ngayogjazz dengan kawan-kawannya.
Di tangan Djaduk, musk jazz yang elitis menjadi meng-awam. Musisi jazz yang tadinya di menara gading, tak malu turun gunung berbaur dengan orang awam di desa.
Ini bisa dilihat dari siapa saja yang tampil di setiap even Ngayogjazz. Bahkan, para musisi Indonesia berebut bisa tampil dalam festival yang terkadang pagungnya dekat kandang sapi.
Spirit Djaduk ini yang tak pernah mati. Itu yang tercermin dalam semua musisi yang mengenang 100 hari kematiannya.
Konser Ibadah Musikal seperti menggambarkan spirit Djaduk saat hidup. Sangat serius. Sepenuh hati. Tidak hanya dari para pemain Kua Etnika yang didirikan Djaduk. Tapi juga para penyanyi kondang yang ikut mengisinya.
''Hanya ada satu kata yang tepat untuk Djaduk. Asu...,'' kata Shoimah usai membawakan lagu dengan penuh ekspresi.
Kata asu bagi orang Jogja bukan suatu penghinaan. Ia menjadi kata yang mengekspresikan kekaguman juga.
Semua kursi Taman Budaya sudah dipesan penuh seminggu sebelumnya.
Padahal, gelaran itu dimanajemi seperti slametan. Oleh Kua Etnika, Tim Ngayogjazz, dan Teater Gandrik.
Tapi keseriusan Djaduk dalam bermusik tercermin di gelaran. Semua musisi sepenuh hati. Mengharu rasa dalam kegembiraan.
Jadilah konser musik mengenang kematian yang apik dan mengesankan.
''Kon memang edan kok Duk. Wes mati pun bisa menghidupkan panggung dengan luar biasa,'' batinku sambil ngeluyur pulang.
Advertisement