Dia yang Kencing di Masjid, Kenangan Gus Ghofur Maimoen
Orangtua selalu menjadi panutan sang putra. Tentu saja, untuk hal-hal yang baik selaras dengan nilai ajaran Islam.
Seorang putra KH Maimoen Zubair (almaghfurlah), KH Abdul Ghofur Maimoen, Pengasuh Pesantren Al-Anwar Sarang, mempunyai renungan indah sekaligus kenangan terhadap ayahandanya itu.
Berikut catatan Gus Ghofur Maimoen:
Rasulullah adalah pendidik terbaik. Ia, dengan cinta kasihnya, sepertinya selalu menemukan spesial momen sehingga nilai-nilai yang ia tanamkan dapat dengan mudah terpatri dalam hati santri-santrinya. Perilaku yang tampak negatif ia sulap sehingga justru menjadi berkah pendidikan.
Seorang Bedui datang memasuki masjid Rasulullah saw., lalu ia salat dua rakaat dan berdoa, “Wahai Allah, ramhati saya dan (Nabi) Muhammad. Jangan rahmati seorang pun bersama kami!” Rasulullah tak marah dibuatnya, ia hanya mengingatkan bahwa itu tak benar sama sekali. Kata Baginda Rasul, “Engkau telah memagari sesuatu yang sangat luas!”
Tak berselang lama, Si Bedui buang air kecil di masjid. Kesalahan yang kedua ini secara emosional serasa lebih parah. Sejumlah sahabat berdiri bergegas melerainya, “Mah! Mah!” Akan tetapi, air seni jika tengah keluar rasanya sangat sulit dihentikan. Jika dipaksakan mungkin akan berakibat sakit yang boleh jadi tak tertahankan. Rasul pun berkata kepada para sahabat itu, “Jangan putuskan dia (dari pipisnya)! Biarkan saja dia!”
Rasul memanggil Si Bedui usai dia menyelesaikan hajatnya, lalu menasihatinya dengan penuh hikmah, “Masjid-masjid ini tak pantas untuk sedikit pun dari air seni dan kotoran. (Masjid-masjid) itu diperuntukkan bagi dzikir Allah, salat dan membaca Al-Quran.”
Sementara kepada para Sahabat yang melerainya dengan keras tadi, Baginda Rasul mengingatkan agar menjadi pendidik-pendidik yang baik.
Kata Rasul, “Sesungguhnya kamu semua mengemban tugas dengan memberi kemudahan-kemudahan, bukan dengan memberi kesulitan-kesulitan.”
Kepada mereka Rasul juga memerintahkan untuk menuangkan air pada kotoran yang ditinggalkan oleh Si Bedui tadi.
Si Bedui begitu terkesan dengan cara Rasul mendidik. Katanya, “Ia (Baginda Rasul) lalu berdiri menuju kepadaku. Demi Ayah dan Ibuku, Ia tidak mengumpat, tidak berkata keras, dan tidak memukul.”
Umar bin Abi Salamah ditinggal Sang Ayah saat masih kanak-kanak. Ayahnya, Abi Salamah, wafat akibat luka-luka yang menimpanya dalam sebuah peperangan. Ibunya, Ummu Salamah, lalu dinikahi oleh Baginda Rasul saw. Ia dan sudara-saudaranya yang lain telah menjadi bagian dari keluarga Baginda Rasul. Semua dididiknya dengan sepenuh cinta.
Suatu saat, di sebuah jamuan makan, Umar berada dalam pangkuan Baginda Rasul. Tangannya bergerak kesana-kemari pada sebuah nampan. Situasi yang kurang pas ini diubah oleh Rasulullah saw. menjadi momen yang istimewa untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan. “Wahai Ghulam,” kata Baginda Rasul dengan sepenuh cinta, “Bacalah basmalah, gunakan tangan kananmu, dan makanlah sebagian dari yang ada di sisimu.”
Umar sangat terkesan dengan momen tersebut. Ia tak pernah melupakannya. “Sejak saat itu, begitulah cara makanku,” kata Umar di kemudian hari.
***
Pada tahun 1996 saya berangkat haji dari Mesir. Sendirian saja tanpa ada pembimbingan sebelumnya. Ada yang kurang atau bahkan tidak pas dengan haji saya. Tahun 1997 Abah dan Ibu mengunjungiku ke Mesir untuk mengajak umrah, membetulkan yang tidak pas dalam hajiku pada tahun sebelumnya.
Pendidik yang baik selalu menemukan spesial-spesial momen untuk mengubah banyak orang manjadi insan-insan tercerahkan.
(Sumber: akun fb Gus Ghofur Maimoen, 5 Oktober 2019)
Advertisement