Covid, Waisak di Kelenteng Gudo Jombang Berlangsung Tertutup
Selepas Isya, Rohaniwan Konghucu menyulut lilin lima warna pertanda upacara dimulai. 10 Jemaah terlihat berjajar dengan berjarak, beberapa di antaranya mengenakan masker. Rohaniwan lantas memimpin ibada, menyalakan dupa dan bunga. Asap bun membumbung bersama lantunan doa bersama dalam kitab Tripitaka.
Rohaniwan Nanik Indrawati dan 10 jemaahnya sedang merayakan Waisak pada Kamis 7 Mei 2020. Mereka adalah umatKonghucu dan Budha di Kelenteng Hong San Kiong di Jalan Raya Gudo-Blimbing Nomor 156, Bumi Arjo Kecamatan Gudo Kabupaten Jombang.
Berbeda dengan tahun lalu, ibadah kali ini berlangsung tertutup di tengah pandemi covid-19. Puluhan jemaah yang sebagian besar berusia lanjut tak hadir di kelenteng untuk memperkecil risiko. Ibadah yang berlangsung sekitar satu jam hari itu diakhiri dengan mencicipi lezatnya semangkok nasi soto buatan Nanik.
Doa dalam simbol.
Upacara dimulai dengan membaca doa perlindungan. Sebagian doa meminta perlindungan, keselamatan, kedamaian, kesehatan, keberkahan dan kemakmuran. Doa pun ditutup dengan doa Ekawata, yakni mendoakan kebaikan dan pahala untuk semua makhluk.
Semua lantunan doa berlangsung di depan meja altar yang penuh dengan buah dan lilin. Layaknya bunga dan dupa yang menyimbolkan persembahan, buah dan lima lilin juga menyimbolkan harapan dan doa.
Lilin panca warna menyimbolkan lima aura sang Budha yang memiliki arti cinta kasih. Sedangkan buah yang ada, pisang menggambarkan keluarga besar dan kemakmuran, jeruk simbol dari rejeki, apel berarti keselamatan atau berkah, dan pir berarti panjang umur.
Upacara Diikuti 10 Orang
Upacara kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika dulu terdapat sekitar 40 orang yang turut berpartisipasi, namun kali ini hanya sepuluh orang saja. Jemaah berusia 60 tahun ke atas takut untuk beribadah di tengah pandemi ini.
“Jumlah yang ikut menurun drastis, biasanya kalau normal ada 40 orang yang ikut. Kalau sekarang yang usia 60-an pada takut karena corona” ujar Nanik.
Tak ada pula pengeras suara yang kencang dalam ibadah sederhana petang itu. Upacara dilaksanakan secara tertutup dan tidak meminta izin dari otoritas setempat. Hal ini dikarenakan hanya orang internal saja yang turut serta merayakan.
“Ya kalau kami mendatangkan massa ya kami izin, cuma ini kan anggota internal saja. Kami pun juga tidak memakai pengeras suara agar tidak timbul masalah” tambahnya.
Pengunjung Sampai Mancanegara
Kelenteng Hong San Kiong punya nama kondang hingga ke luar negeri. Sebelum pandemi corona, mayoritas pengunjung berasal dari luar kota. Bahkan ada yang dari luar negeri. Seperti Sidoarjo, Nganjuk, Lumajang, Surabaya dan Jepang. Namun, sejak awal April kelenteng sepi pengunjung.
Di sisi lain, seperti kelenteng pada umumnya, rumah ibadah ini setiap harinya digunakan untuk sembahyang. Terdapat seorang juru kunci yang menjaganya. Khusus hari Sabtu, sejak pukul 07.00-08.00 kelenteng dimanfaatkan untuk kegiatan belajar agama Konghucu.
“Sebelum corona pengunjungnya ada yang sampai Jepang, tapi sekarang sudah sepi. Tapi sampai sekarang setiap Sabtu masih ada kegiatan belajar agama Konghucu di sini” tutur Nanik.
Menariknya, kelenteng ini tidak mengalami perubahan nama dan tidak ditutup selama Orde Baru. Kelenteng Hong San Kiong termasuk salah satu yang aman dan tetap selamat dari penyegelan. Bahkan saat itu kegiatan beragama masih bisa dilakukan.
Tak heran, orang Tionghoa dari kota di Jawa Timur ada yang bersembunyi di sana kala kondisinya genting.
“Alhamdulillah masa Orde Baru nggak ditutup pun nama nggak harus diganti. Banyak orang luar kota bersembunyi di sini saat kondisinya nggak aman” jelas Nanik.
Beruntung, agama Konghucu sudah diakui negara, mereka bebas beribadah. Umatnya pun bisa mencantumkan nama Konghucu dalam kartu tanda identitas.