BRICS dan Kita, di Persimpangan Ekonomi Global
Posisi Indonesia dalam pergaulan global tak pernah sepi. Dalam sejarah Indonesia selalu tampil di panggung dunia, terutama terkait dengan wajah baru peradaban dunia dan tata dunia baru.
Kurang dari satu minggu setelah dilantik Presiden Prabowo Subianto, Menteri Luar Negeri Sugiono hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia untuk mengutarakan keinginan Indonesia bergabung dengan blok ekonomi itu.
"Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif," ujar Menteri Luar Negeri Sugiono dalam keterangan resmi.
“Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum.”
Bagi Indonesia, prioritas BRICS “selaras” dengan program kerja Kabinet Merah Putih seperti ketahanan pangan dan energi.
Niat Indonesia bergabung ke BRICS bukan bermakna “ikut kubu tertentu”. Namun pengamat mengingatkan BRICS sebenarnya bisa disebut “kubu perlawanan” karena berisikan negara-negara yang “tidak puas” dengan sistem yang dibangun Barat.
Benarkah demikian?
Berikut catatan khusus ekonomi bertajuk “Antara BRICS dan AS: Indonesia di Persimpangan Ekonomi Global” (Redaksi):
Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto menandai babak baru dalam strategi ekonomi global negara ini.
Namun, langkah ini menghadirkan tantangan serius: bagaimana menyeimbangkan keuntungan dari kerja sama dengan BRICS, sembari menghindari potensi konflik ekonomi dengan AS—mitra dagang utama.
BRICS membuka pintu diversifikasi pasar dan mata uang. Dengan mengurangi ketergantungan pada dolar AS melalui mekanisme Local Currency Settlement (LCS), Indonesia bisa memperkuat stabilitas rupiah.
Namun, ancaman dari kebijakan proteksionis AS, seperti kenaikan tarif bea masuk hingga 100%, menjadi risiko besar, terutama untuk produk unggulan ekspor Indonesia seperti tekstil, alas kaki, dan kelapa sawit. Jika akses pasar AS terhambat, defisit perdagangan dapat melemahkan ekonomi domestik.
Rentan Fluktuasi
Sebaliknya, terlalu condong ke AS juga membawa risiko. Ketergantungan pada dolar menjadikan ekonomi Indonesia rentan terhadap fluktuasi kebijakan moneter AS, seperti kenaikan suku bunga Federal Reserve yang dapat memicu pelarian modal dari Indonesia.
Dalam konteks ini, cita-cita Prabowo untuk memperkuat rupiah hingga Rp5.000 per dolar tampak ambisius, terutama di tengah tantangan geopolitik global.
Solusinya? Strategi keseimbangan yang cermat. Indonesia harus tetap memperluas pasar dengan BRICS, tetapi tidak memutus hubungan ekonomi dengan AS. Pendekatan ini memerlukan diplomasi ekonomi yang cerdas, penguatan daya saing produk ekspor, dan optimalisasi potensi investasi dari kedua blok ekonomi tersebut.
Keputusan ini bukan hanya soal arah ekonomi, tetapi juga strategi geopolitik untuk menegaskan posisi Indonesia sebagai pemain penting di panggung global. Pertanyaannya: apakah Indonesia siap untuk memainkan peran besar ini?
Demikian catatan Muhammad Syamsudin, S.Si., M. Ag.
Advertisement