Di Malang, Feri Amsari Sebut Jokowi Sangat Layak Dimakzulkan
Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah sangat layak untuk dimakzulkan atau diturunkan dari jabatannya sebagai kepala negara.
Feri Amsari menjelaskan, alasan Jokowi sudah sangat layak untuk dimakzulkan tersebut karena banyak faktor dan penyebab yang dilakukannya selama menjabat sebagai Kepala Negara sejak periode pertama. ”Bukan hanya layak (Jokowi dimakzulkan), sangat layak, dari dulu,” kata Feri saat diwawancarai usai mengisi acara diskusi “Setelah Dirty Vote” yang digelar di Universitas Widyagama, Kota Malang, pada Rabu, 21 Februari 2024.
Akademisi yang juga pemeran dalam film Dirty Vote ini menyebutkan ada beberapa kriteria seorang kepala negara bisa dimakzulkan. Di antaranya, yaitu melanggar hukum hingga tidak memenuhi syarat sebagai presiden.
Terkait perbuatan melanggar hukum, Feri mencontohkan, seperti seorang presiden terbukti melakukan tindak pidana korupsi, suap, perbuatan tercela, dan tindakan melawan hukum lainnya, serta pengkhianatan kepada negara.
Untuk kriteria tersebut, mantan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini mengatakan bahwa Jokowi sudah memenuhi, yakni melakukan tindakan tercela selama menjabat sebagai presiden. ”Jokowi dianggap sering melakukan perbuatan tercela. Apa-apa yang dia bicarakan, dia langgar, dia abaikan. Cawe-cawe (pada Pemilu 2024). Pakai data intelijen untuk mengoreksi partai-partai yang menjadi lawannya,” ungkapnya.
Dengan melihat hal tersebut, lanjut Feri, saat ini tinggal keberanian partai politik (parpol) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk melakukan pemakzulan kepada Presiden Jokowi dengan berlandaskan Pasal 7A dan 7B UUD 1945.
Sebagai informasi, Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil presiden.
Sedangkan Pasal 7A UUD 1945 memuat 7 poin, yang antara lain:
(1) Usul pemberhentian presiden dan/atau wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Advertisement