Di Jatim, Khofifah versus Risma Lebih Menarik daripada Covid-19
(Catatan Asmanu Sudharso)
Seandainya ada lembaga survei mengadakan poling, mana yang paling menarik kasus Covid- 19 dengan perseteruan antara Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dengan Walikota Surabaya Tri Rismaharini, tentu akan mengundang perhatian.
Responden sebagian besar tentu akan menjawab yang lebih menarik adalah Perseteruan Khofifah dengan Risma. Bukan tingginya kasus positif Covid-19 di Jawa Timur, yang hampir menyamai Jakarta.
Sebab setiap hari masyarakat disuguhi sandiwara perseteruan dua pemimpin perempuan ini, seakan tidak ada damainya. Saling serang melalui media. Kalau tidak gubernur dan walikotanya, ganti stafnya yang gegeran.
Perseteruan ini mengakibatkan masyarakat tidak peduli terhadap penanganan kasus Covid-19 yang jumlahnya terus melonjak. Masyarakat seakan-akan cuek dengan merebaknya Corona di Jawa Timur.
Berapa jumlah orang dalam pengawasan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP) dan yang positif Covid-19. Berapa yang meninggal dunia dan berapa yang berhasil disembuhkan masyarakat memandang "masa bodoh".
Seharusnya dua kepala daerah ini memberi contoh bergotong-royong membangun kinerja yang lebih baik untuk mengatasi pandemi Covid-19, yang terus menelan korban jiwa.
Ada yang bilang sih, "memang seperti itu watak dua pemimpin perempuan di Jawa Timur tersebut, lebih mengedepankan gengsi dan ego sektoral." Akibatnya masyarat yang terkena dampaknya. Dan virus Corona makin membara.
Khofifah dengan tingkah polahnya, dibilang sengaja berselancar di tengah merebaknya pandemi Covid -19 untuk pencitraan sebagai persiapan Pilgub Jatim putaran kedua. Syukur-syukur ada yang menggadengnya menjadi calon wakil presiden. Siapa tahu?
Setiap momen dia olah untuk mencari pertambahan nilai. Hampir setiap hari tampil di televisi dan media lokal. Membeberkan strateginya dalam menumpas Corona. Hasilnya, masyarakat bisa menyaksikan sendiri. Yang terpapar Corona semakin banyak.
Demikian pula dengan Tri Risma yang memiliki segundang prestasi dan pujian dari luar negeri sebagai salah satu walikota terbaik dunia, tentu tidak mau diremehkan. Tidak mau direndahkan oleh Khofifah, gubernur yang dianggap belum menunjukkan prestasi apa-apa, termasuk dalam menangani Covid-19. Faktanya kasus Corona di Jawa Timur tidak turun tapi malah meledak-ledak.
Ada yang bicara kalau dua perempuam ini sama-sama tulus untuk menyelamatkan masyarakat Jawa Timur dari ancaman Covid-19, tidak ribut terus dan tidak ditunggangi kepentingan politik, kondisi Jawa Timur dalam kasus Covid-19 tidak sekelam sekarang ini.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan layak menjadi contoh. Dia bekerja tanpa banyak bicara.
Masih segar dalam ingatan ketika Gubernur Khofifah dan Walikota Surabaya Risma berpolemik terkait klaster Covid-19 di pabrik rokok Sampoerna. Masing-masing mencari pembenaran sendiri. Lupa kalau itu menjadi tanggung bersama.
Keributan lain ketika Walikota Surabaya menyatakan keberatan rumah sakit di Surabaya diisi pasien Corona dari luar daerah. Pernyataan walikota yang akan mengakhiri masa jabatannya di periode kedua ini langsung mendapat serangan balik. "Rumah sakit ya untuk semua tidak mengenal kedaerahan".
Setelah mulai tenang muncul episode baru. Mobil laboratorium operasional Covid-19 bantuan dari gugus tugas percepatan penganan Covid-19 pusat, yang diajukan oleh Walikota Surabaya tiba-tiba diserobot Khofifah dikirim ke daerah lain.
Merasa disepelekan, Risma marah di depan media, ia kecewa merasa dljegal dianggap tidak bisa kerja.
Khofifah pun membela diri dengan mengatakan dua unit mobil itu untuk Pemprov Jawa Timur dan boleh dipakai oleh daerah yang memerlukan.
Ruwetnya hubungan Khofifah dengan Risma memaksa Menko PMK Muhadjir Effendy, Ketua Gugus Tugas Doni Monardo serta Menkes Terawan Agus Putranto menyempatkan diri bertemu dengan Khofifah dan Tri Rismaharini di tempat terpisah.
Khofifah ditemui di Grahadi sedang Risma ditemui di Balai Kota. Pesannya tentu agar khofifah dan Risma tidak terus mengobarkan permusuhan.
Pesan para menteri itu tampak belum cukup ampuh untuk meredam perseteruan antara Gubernur Jatim dengan Walikota Surabaya. Sekarang ramai lagi. Risma mengeluarkan pernyataan bahwa semua rumah sakit di Surabaya overload, tidak bisa menerima pasien baru.
Pernyataan Risma dipatahkan oleh Khofifah. Direktur RS Dr Soetomo pun ikut bicara. Bahwa RS milik Pemprov Jatim, masih bisa menampung pasien baru. Persoalannya hanya tenaga medisnya yang kurang.
Tidak berhenti sampai di situ Risma dianggap terlalu percaya dengan pembisiknya.
Kegaduhan yang berkelanjutan ini sebenarnya berawal ketika Khofifah mengkritik Stadion Gelora Bung Tomo yang digadang-gadang oleh Walikota Surabaya untuk persiapan sebagai Tuan Rumah Piala Dunia Sepak Bola U-21. Tapi tiba-tiba Khofifah berkomentar bahwa Stadion Bung Tomo tidak layak untuk piala dunia karena bau sampah.
Walikota Surabaya yang susah payah membangun stadion Bung Tomo, menyesalkan pernyataan Khofifah yang dinilai takut kehilangan pamor seandanya Surabaya benar-benar menjadi tuan rumah Piala Dunia. Perseteruan dan dendam itu berlanjut sampai sekarang.
Pertanyaannya mengapa antara Gubernur Jatim dengan Walikota Surabaya bila ada masalah tidak mau menyelesaikannya secara baik-baik dengan duduk bersama tanpa menimbulkan kegaduhan.
Sehingga penilaian masyarakat, dalam penanganan Covid-19 antara Gubernur Jatim dan Walikota Surabaya, berjalan sendiri-sendiri. Buktinya Surabaya, Sidoarjo dan Gresik tidak mau mengikuti saran Khofifah supaya PSBB diperpanjang lagi. Mereka punya cara sendiri dalam menangani Covid-19. Tidak mau didekte.
Lagi-lagi ada yang bicara perseteruan antara Khofifah Indar Parawansa ini dengan Risma, merupakan warisan dendam politik pada Pilgub Jatim yang lalu. Beberapa orang dekat Khofifah menyebut kalau soal dendam, bagi Khofifah sulit dihapus. Siapapun mereka... Ibaratnya nggeget sak njeroni ati, angel tambane.
Advertisement