Di Balik Penghilangan Pancasila dari Kurikulum Pendidikan
Oleh: As'ad Said Ali
Fransis Fukuyama dalam tesisnya tentang konflik peradaban antara Barat (Liberalisme - Kapitalisme) versus Timur (Asia Selatan dan Asia Timur) versus Islam (Timur Tengah Asia Tenggara), memperkirakan Barat akan menang. Banyak indikasi bahwa tesis ini --The Clash Civilizations ("Benturan Peradaban") -- masih dipercayai banyak pihak di negara Barat. Misalnya, terlihat dari kebijakan Donald Trump yang menjadikan Yerusalem sebagai ibukota Israel dan agresivitas Kelompok Ultra Liberal serta perang dagang AS - RRC.
Usama bin Ladin yang pada mulanya adalah sekutu Amerika Serikat dalam perang melawan Uni Soviet di Afganistan, berbalik melawan AS setelah invasi AS / Barat ke Iraq (Saddam Husein). Mungkin menyadari adanya skenario dari perang peradaban tersebut. Perlawanan Usama tersebut bersifat konfrontatif, kekerasan dan menjadikan negara Muslim lain sebagai sasaran operasinya karena dianggap sekutu Barat.
Terorisme hanya mewakili minoritas Muslim yang mengikuti faham Salafy Jihadi - Takfiri, pecahan dari gerakan Salafy yang pada dasarnya menolak kekerasan. Strategi konfrontatif tersebut menempatkan umat Islam pada posisi sulit. Pada satu sisi harus menghadapi ancaman terorisme dan pada sisi lain menghadapi tekanan Barat secara politik, ekonomi dan sosial budaya.
Jepang (peradaban Timur) menjadi sasaran perang dagang pertama yang dikobarkan oleh AS/Barat sejak akhir 80 an. Jepang gigih bertahan, namun setelah AS menghancurkan nilai mata uang negara pheripheri yang menjadi patner dagang Jepang seperti Korea Selatan, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Taiwan dll-nya, akhirnya pada 1998 Jepang mengalami kekalahan dan Indonesia terkena dampak berupa krisis ekonomi yang mengakibatkan ambruknya Orde Baru.
Dan sejak 5 tahun terakhir RRC menjadi sasaran perang dagang babak kedua.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dalam rangka menghadapi ancaman terorisme, Presiden Abdurahman Wahid, mengizinkan intelijen bekerjasama dengan Klub Intelijen negara negara Muslim moderat. Salah satu keputusan dari Klub Intelijen tersebut adalah perlu adanya kerjasama pada level umat yang bersifat internasional. Umumnya negara negara Muslim menolak tesis perang peradaban, yang terjadi adalah interaksi saling mengambil atau memberi nilai yang juga disebut dialog antarperadaban.
Pada era Presiden Megawati, atas izin dan restunya, PBNU (era Kiai Hasyim Muzadi) menyelenggarakan ICIS (International Conference of Islamic Scholars) melibatkan tokoh tokoh Muslim dunia dan Indonesia.
Tiga kali pertemuan, sekali pada era Presiden Megawati dan dua kali pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono. ICIS menjadi jembatan komunikasi dalam mencegah faham teror di masing masing negara Muslim. Suatu kiprah NU yang monumental sebagai sumbangan kemanusiaan dan perdamaian dunia yang merupakan perwujudan nilai “Islam Rahmatan Lil Alamin”.
Saat ini pandangan mata dunia tertuju ke Afghanistan setelah Presiden Joe Biden mengumumkan rencana penarikan pasukannya pada 11 September 2021 nanti. Padahal Afghanistan atau Khorasan itu berbatasan langsung dengan RRC (Provinsi Xin Chiang / Uighur ). Kita belum tahu apa yang akan terjadi setelah terjadi vacum of power di tengah konflik dagang AS versus RRC masih berlangsung. Apakah akan ada eskalasi konflik peradaban dan terorisme?
Bagaimana dengan Indonesia? Kalau pihak lain ingin menguasai Indonesia, apakah dari Barat atau Timur, tidak perlu secara militer tetapi cukup dengan melemahkan Pancasila.
Mungkin tidak semua elemen bangsa menyadari bahwa upaya Barat itu sudah berlangsung sejak awal reformasi menumpangi proses amandemen UUD 1945 atau nebeng program liberalisasi politik, ekonomi dan sosial budaya sesuai kesepakatan Indonesia dengan IMF.
Jadi jangan heran ada upaya dari tangan tangan jahil tersembunyi untuk menghilangkan Pancasila dari kurikulum pendidikan. Untung ketahuan dan pemerintah segera mengoreksi.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010-2015. Tinggal di Jakarta.
Advertisement