Di Balik Pengadilan HAM Uighur, Dugaan Komoditas Politik Global
Sejak dahulu, wilayah Xinjiang yang di dalamnya ada etnis Uighur selalu dijadikan komoditas politik oleh aktor-aktor negara lain yang berseberangan secara politik luar negeri dengan Tiongkok.
Hal itu, menurut penulis Buku Islam di China, Novi Basuki, dilakukan untuk menekan Pemerintah Tiongkok.
“Wilayah ini tiga kali luas wilayah Malaysia yang di dalamnya terkandung banyak sumber daya alam, bayangkan jika lepas dari China?,” ungkapnya dalam sebuah podcast yang membahas tentang pengadilan HAM Uighur terhadap pemerintah China, dikutip Senin 13 Desember 2021.
Novi Basuki, yang alumnus Pesantren Nurul Jadid, Poiton Probolinggo, menilai, pengadilan Uighur yang digelar di Inggris juga bagian dari komoditas politik tersebut.
Jumlah Etnis Uighur Lebih Tinggi dari Etnis Han
“Jika persoalan genosida yang dipersoalkan dalam pengadilan tersebut tetapi jumlah etnis Uighur di sana secara populasi, padahal data statistik menunjukkan tingkat jumlah kelahiran etnis Uighur lebih tinggi dari etnis Han. Jadi di mana genosida-nya?" ujarnya menambahkan.
Novi Basuki menyebutkan, kamp edukasi yang dibuat oleh Pemerintah Tiongkok, atau kamp konsentrasi dalam bahasa media, diduga menjadi alat yang dijadikan pintu masuk untuk mengadili Pemerintah Tiongkok oleh pengadilan yang dipimpin aktivis HAM Geoffrey Nice.
Novi Basuki melihat, agenda pengadilan tersebut kemudian tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Central Intelligence Agency (CIA), badan intelijen Amerika Serikat.
“Ini bukan data tertutup, bisa dilihat di media secara terbuka bagaimana sepak terjang pendiri dari pembuat agenda pengadilan ini,” katanya.
Pemerintah Tiongkok, menurut Basuki, sudah melakukan beberapa upaya untuk kebijakan di Xianjiang, khususnya etnis Uighur.
Kebijakan pertama dilakukan secara keras. “Jadi gigi dilawan gigi,” ungkapnya.
Akan tetapi, lanjut Avi Basuki, kebijakan keras ini diubah dengan kebijakan yang sangat lunak dalam arti akomodatif.
Perubahan ini dilakukan setelah mengevaluasi kebijakan keras tetapi tidak memiliki perubahan yang signifikan.
“Dan ternyata kebijakan yang akomodatif juga tidak mengubah, sebab mereka masih melakukan aksi teroris,” ujarnya.
Avi Basuki mengatakan, kebijakan yang sekarang diterapkan adalah kombinasi dari dua kebijakan sebelumnya, yakni memadukan kebijakan keras dan akomodatif yang dikemas dalam bentuk kamp edukasi.
“Ini tujuannya sangat bagus, yaitu membantu etnis Uighur untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang ekonomi karena banyak di antara mereka tidak memiliki skill dan tidak bisa bahasa mandarin,” tuturnya.
Advertisement