Di Balik Heboh Jokowi, Duel 2 Kubu Lama
Oleh: Djono W. Oesman
Diungkap: Presiden Jokowi pernah minta jabatan dilanjut tiga periode pada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri. Mega menolak, karena tidak ingin Jokowi jadi seperti Presiden I RI, Ir Soekarno, ayah Mega, yang terguling oleh para orang dekat penjilat.
------------
ISU ini sering dipublikasi para petinggi PDIP, sejak Gibran Rakabuming Raka (kader PDIP) jadi cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto. Tak sejalan dengan PDIP yang mencalonkan pasangan capres-cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Sejak itu PDIP gencar mengungkap ‘kasih sayang politik’ Megawati Soekarnoputri terhadap Jokowi. Yang akhirnya dibalas Jokowi dengan mendukung pasangan Prabowo-Gibran (anaknya sendiri).
Isu ini jadi menukik-menghujam setelah politisi senior PDIP, Panda Nababan mengungkap secara detail, dalam wawancara khusus Panda dengan Tribunnews, Senin 6 November 2023. Di situ diungkap jelas dan detail, begini:
Panda tidak menyebut keterangan waktu kejadian. Dan merahasiakan nama tokoh yang jadi penghubung pesan dari Jokowi kepada Mega. “Tokoh itu teman baik saya, juga teman baik Mas Jokowi,” kata Panda.
Teman cerita langsung ke Panda, bahwa si teman dimintai tolong Jokowi untuk menyampaikan ke Mega, Jokowi minta kekuasaannya diperpanjang tiga periode. Mega menolak.
Ditolak sekali, Jokowi meminta teman itu meminta lagi ke Mega dengan permintaan yang sama. Ditolak lagi. Sampai tiga kali permintaan diajukan, semuanya ditolak Mega. Alasannya, dikatakan Panda begini:
“Tidak ada cerita tiga periode. Tidak ada dalam kamus. Hormati undang-undang dua periode. Karena, Mega juga punya pengalaman pahit yang dialami bapaknya (Presiden RI pertama, Soekarno), Presiden seumur hidup dibikin, orang-orang yang menjilat Soekarno, jadi itu referensi Mega.”
Tulisan ini tidak menyoal konflik PDIP versus Jokowi. Biarlah itu urusan mereka. Urusan rebutan kuasa (power). Partai besar PDIP melawan individu Jokowi. Disebut individu (bukan sebagai Presiden RI) karena dalam hal ini melibatkan putra Jokowi, Gibran. Opini rakyat terpecah, antara mendukung Jokowi atau PDIP.
Gaung konflik ini sampai ke Amerika Serikat (AS). Carnegie Endowment for International Peace, LSM politik berbasis di Washington DC, AS, terbitan 5 Oktober 2023 ditulis Sana Jaffrey, bertajuk Indonesia’s 2024 Presidential Election Could Be the Last Battle of the Titans, mengungkap itu.
Di tulisan itu Jaffrey menyatakan, politik Indonesia sampai sekarang masih dikuasai dua kubu lama. Kubu Soekarno, presiden pertama RI, dan kubu Soeharto, presiden ke dua RI. Dua presiden inilah paling lama berkuasa di Indonesia. Punya jaringan kuat. Punya duit sangat banyak. Kontestasi politik cuma butuh dua hal ini. Kalau tidak percaya, tanyalah ke para Caleg gagal. Mereka pasti bilang: "Kurang duit."
Para elite politik kubu lama sekarang sudah pada usia tua. Tapi mereka tetap berebut kuasa. Menarik simpati dari sekitar 200 juta pemilih dalam Pemilu 14 Februari 2024. Itulah pertarungan terakhir mereka sebagai Titan. Istilah Titan dalam mitologi Yunani adalah para penguasa bumi turun-temurun, sebelum para dewa Olimpus.
Joko Widodo, sebut Jaffrey, adalah perkecualian. Jokowi adalah anomali politik Indonesia. Semula bukan siapa-siapa (sebenarnya pengusaha mebel) lalu dijagokan PDIP jadi Walikota Solo dan terpilih. Memimpin Solo dengan baik. Dan seterusnya, sampai jadi Presiden RI dua periode.
Tentu, terpilihnya Jokowi saat jadi presiden pertama kali, mengejutkan dua kubu para Titan itu. Lebih mengejutkan mereka lagi, Jokowi bekerja bagus. Sehingga disukai rakyat (tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi 81,9 persen, versi Lembaga Survei Indonesia, 1-8 Juli 2023).
Jaffrey: “Namun Jokowi, yang upayanya untuk meraih masa jabatan ke tiga di luar konstitusi, dihalangi oleh orang lama ini. Mereka tidak siap untuk melepaskan kekuasaan dan secara terbuka menyatakan niatnya untuk “ikut campur” dalam persaingan tersebut.”
Dilanjut: “Sebaliknya, Jokowi memanfaatkan popularitas dan kendalinya yang abadi atas lembaga-lembaga negara, untuk memastikan terpilihnya penerus yang bersahabat dan memantapkan dirinya di antara generasi baru raja-raja.”
Jadi, wacana Jokowi ingin lanjut tiga periode, sudah diungkap di situ. Sudah mendunia. Dan, ketika tulisan itu dimuat, belum muncul nama Gibran. Karena , Gibran diusulkan Partai Golkar jadi cawapres mendampingi capres Prabowo pada 21 Oktober 2023. Tapi Jaffrey sudah memprediksi dengan kalimat: “penerus yang bersahabat”.
Dengan munculnya Jokowi, kontestasi politik kini tidak cukup cuma modal jaringan dan duit banyak. Ditambah hasil karya. Karena rakyat Indonesia belum pernah melihat hasil kerja presiden sebagus Jokowi.
Dikutip dari buletin ilmiah Harvard Law School, 17 Juli 2019 bertajuk: Presidential Power Surges, karya Erin Peterson, semua presiden yang berprestasi baik dan disukai rakyat, cenderung ingin memperpanjang masa kekuasaan. Melebihi dua periode. Kalau bisa seumur hidup. Dan, itu hal wajar.
Terutama, jika presiden itu berhasil melampaui masa sulit negara yang dipimpin. Ketika presiden sukses memimpin di masa sulit, pastinya rakyat suka. Mencintai sang presiden. Saat itulah presiden cenderung ingin memperpanjang masa kekuasaan. Dan, rakyat tetap suka.
Erin Peterson di situ mengutip pendapat Prof Noah Raam Feldman, guru besar hukum Harvard Law School, dalam bukunya bertajuk Scorpions: The Battles and Triumphs of FDR’s Great Supreme Court Justices, mengambil contoh berikut ini:
Ketika AS dilanda mega-krisis ekonomi (The Great Depression) 1933 Presiden Franklin D. Roosevelt menerbitkan program New Deal. Itu meningkatkan kepercayaan konsumen. Mendukung pekerja. Memperkuat kemampuan pengaturan ekonomi.
Roosevelt bertindak cepat menstabilkan perekonomian dan menyediakan lapangan kerja serta bantuan bagi mereka yang menderita.
Program itu sukses. Memulihkan kesejahteraan rakyat Amerika.
Selama delapan tahun berikutnya, pemerintah melembagakan serangkaian proyek dan program eksperimental New Deal. Seperti CCC, WPA, TVA, SEC.
Program New Deal Roosevelt secara fundamental dan permanen mengubah pemerintahan federal AS dengan memperluas ukuran dan cakupannya dalam perekonomian.
Roosevelt meningkatkan kekuasaannya tanpa mendapat hukuman, kadang-kadang diperiksa oleh lembaga peradilan.
Selama masa krisis, ia mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang penimbunan emas dan menuntut agar semua orang dan perusahaan menyimpan emas mereka ke Federal Reserve hanya beberapa minggu sebelum meninggalkan standar emas sepenuhnya.
Dia membatalkan kontrak yang ditulis secara khusus untuk menghindari konsekuensi hukum dan ekonomi dari perintah tersebut. Namun kemudian, dalam kasus golden clause, Mahkamah Agung membatalkan beberapa tindakan Roosevelt.
Roosevelt tidak cuma meningkatkan kekuasaan, juga memperlama. Ia menjabat empat periode. Dari krisis, ia sukses, dicintai rakyat, berkuasa lama.
Erin Peterson: “Selama krisis, presiden sering mencari cara untuk meningkatkan kewenangannya, baik pendekatan tersebut konstitusional atau tidak.”
Bagaimana dengan Jokowi? Ia memimpin di masa krisis ekonomi akibat COVID-19, yang mirip The Great Depression. Ia minta tiga periode ke Mega (kata Panda Nababan) ditolak. Lalu Gibran maju setelah putusan MK yang kontroversial.
Tapi, merujuk pendapat Sana Jaffrey, perebutan kekuasaan di Indonesia cuma antar dua kubu. Sedangkan, Gibran kini calon wakilnya Prabowo, mantan suami Titiek Soeharto. Lihat saja, setiap debat Capres yang ada Prabowo, Titiek selalu duduk di deretan kursi paling depan. Senyum-senyum beri support.
Berarti….
(*) Penulis adalah wartawan senior