Di Balik Aksi Rasialisme di AS
Penembakan massal di area supermarket TOPS, Buffalo, New York ,Amerika Serikat, pada 14 Mei 2022 menurut Komisaris Gramaglia, Kapolres setempat, adalah aksi rasialisme. Aksi yang dilakukan oleh pemuda kulit putih berumur 18 tahun semacam itu sudah sering terjadi di negeri Uncle Sam tersebut dalam satu dekade terakhir.
Indikasi rasialisme nyata terlihat dimana korbannya kebanyakan warga kulit hitam dan pelaku melakukan aksi penembakan sambil memviralkan sendiri aksinya secara visual melalui streaming. Bukan aksi kriminal biasa, tetapi pelaku ingin menunjukkan “heroisme atau kepahlawan" ala “Rambo”.
Apa sebenarnya yang melatar belakangi aksi heroisme atas dasar kebencian terhadap rasialisme tersebut. Bukan menjadi rahasia lagi, kalau pelakunya adalah mereka yang fanatik thd “populisme“ yang dalam hal ini populisme rasial. Dalam pandangan pelaku penembakan, ras lain tidak berguna dan hanya ras kulit putih yang unggul atas ras lain.
Di samping populisme rasial, jenis populisme yang lain adalah populisme agama misalnya “Islamofobia“, suatu kebencian terhadap agama dalam hal ini Islam. Kedua populisme tersebut merupakan bagian gerakan Ultra Liberalisme (Ultra Kanan).
Sedangkan Ultra liberalisme tersebut merupakan faksi radikal dari Liberalisme atau kemudian disebut Neo-Liberalisme dengan suatu asusmsi liberalisme akan mengglobal. Hal ini didasarkan pada thesis Huntington dan Fukuyama bahwa komunisme akan kolaps kalah bersaing dengan Liberalisme yang keluar sebagai pemenang tunggal.
Menurut keduanya, peradaban Barat (Liberalisme) akan berhadapan dengan peradaban Timur (Cina, Jepang dan India) dan peradaban Islam (Timur Tengah dan Asia Tenggara). Inti dari thesis dari Huntington itu adalah dunia akan dipimpin oleh Peradaban Barat atau semacam “penyeragaman peradaban global“ di bawah pimpinan Peradaban Barat.
Aksi rasialisme tersebut merupakan ekspresi superioritas ras dan ideologi Neo-Liberalisme sebagai perwujudan dari etika ras kulit putih khususnya “Anglo Saxon“ (Amerika, Inggris, Australia). Rasialisme itu pula yang menjadi arus utama politik Presiden Donald Trump dengan terma “American First“ dan “Islamofobia”.
Jangan Menulis ke Indonesia
Populisme rasial dan agama tersebut jangan sampai menular ke tanah air tercinta. Gejala awal populisme rasial ini mulai tampak ketika dua tokoh yg cukup terkenal yang berasal dari Sumatera Utara dan Jawa Barat mengeluarkan cuitan yang dianggap melukai saudara kita dari suku Dayak dan suku Papua.
Demikian juga gejala populisme agama mulai muncul sejak 2016 sebagai ekspresi terhadap kesenjangan ekonomi.
Kita bangsa Indonesia berideologi Pancasila yang mengakui “Kebhinekaan atau Keberagaman” dan “berkarakter nasionalis-relijius “. Bangsa Indonesia bukan pengikut Liberalisme apalagi Neo- Liberalisme yang ingin memaksakan ideologi /peradaban Barat atau penyeragaman peradaban.
Yang diperlukan sekarang adalah visi baru kebangsaan yang berdasarkan Pancasila sebagai respon terhadap dinamika populisme yang sedang tumbuh sebagai fenomena global berupa ekspresi populisme rasialis dan agama (SARA).
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Pilitik, Wa-Ka BIN 2000-2001, Mustasyar PBNU 2022-2027. Tinggal di Jakarta.