Dewan Pers : Tidak Semua Media adalah Pers
Para jurnalis profesional diminta tidak membiarkan kemerdekaan pers dibajak oleh orang yang mengaku wartawan alias abal-abal.
"Publik sering kali mencampuradukkan antara media dan pers, padahal tidak semuanya media kemudian bisa disebut pers," kata Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Imam Wahyudi, Sabtu 2 Desember 2017.
Dijelaskannya, hanya media yang memenuhi syarat bisa dikatakan pers atau perusahaan pers.
Salah satunya perusahaan pers harus berbadan hukum (Undang-Undang No 40 Tahun 1999) atau berbentuk badan hukum (Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pers).
Badan hukum akan lebih menjamin perusahaan pers melaksanakan hak dan kewajiban hukum yang tidak akan merugikan pihak lain serta diharapkan memberi kepercayaan yang lebih besar pada suatu perusahaan pers.
"Ada media online puluhan ribu, macam-macam belum tentu mereka pers," tegas Imam.
Apalagi media yang mengaku pers tapi tidak mencerminkan etika dan kode etik jurnalistik yang dijunjung tinggi pers.
"Apalagi kelakuan orang-orang yang mengaku wartawan ini tidak mencerminkan nilai-nilai pers, misalnya melakukan pemerasan, pengancaman dan hal-hal negatif lainnya yang bisa dilaporkan sebagai tindak pidana," ucap anggota Dewan Pers periode 2016-2019 itu.
Untuk itu, tambah Imam, jika suatu media ingin menjadi bagian dari pers, acuannya sudah jelas, yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Kemudian khusus media online misalnya, ada Pedoman Pemberitaan Media Siber yang dibuat Dewan Pers dan Komunitas Pers pada 3 Februari 2012.
"Untuk mengecek sertifikasi wartawan yang sudah mengikuti uji kompetensi bisa dilihat di http://dewanpers.or.id," tandas Imam. (wah)