Jelang Musda DKJT; Dewan Kesenian Bukan Biro Kesra!
Saya kira banyak anggapan salah kaprah mengenai dewan kesenian. Antara lain, dewan kesenian adalah lembaga sponsor, pendukung pendanaan untuk berbagai kegiatan (kesenian). Pendek kata, semacam biro kesejahteraan seniman.
Itu yang saya tangkap sependek pengalaman saya sebagai pengurus harian (Komite Sastra) Dewan Kesenian Jatim periode kepemimpinan Prof Dr Setya Yuwana Sudikan), kemudian sempat menjadi Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Trenggalek.
Awal tahun 2000-an, ada tumpukan proposal permintaan bantuan dana di ruang Dewan Kesenian Jatim. Padahal, saat itu dana operasional hanya seratusan juta rupiah per tahun.
Seingat saya, setelah dikurangi untuk memberi biaya ini-itu, per komite mendapatkan jatah Rp6.000.000 (enam juta rupiah) per tahun.
Ada diskusi digelar, ada acara baca puisi, dan ada buku diterbitkan. Ada pula acara peluncuran buku cerita pendek karya pekerja migran. Dengan modal enam juta rupiah itu!
Tentu, berkat dukungan beberapa pihak. Ada Taman Budaya Jawa Timur, Dewan Kesenian Surabaya, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, dan komunitas lain, secara institusional/kelembagaan maupun perorangan-nya.
Jelas, kami tidak punya sisa dana untuk dihibahkan ke para peminta bantuan.
Sebagai mantan Ketua Umum Dewan Kesenian Trenggalek saya punya kenangan yang cukup indah. Dalam sebuah rapat pengurus harian, tiba-tiba dengan agak emosional seseorang memotong pembicaraan saya. ”Ini sudah cukup sore. Mohon Ketua mempersingkat uraiannya. Ini maunya bikin acara apa, dananya berapa. Kapan dan di mana!”
Saya lupa kalimat persisnya. Tetapi, intinya lebih-kurang demikian. Di luar rapat, dan bahkan di dalam rapat-rapat pada waktu yang berbeda, sering pula saya mendapatkan semacam pengaduan bahwa sanggar atau komunitas seni tertentu dianakemaskan. Sering dilibatkan dalam kegiatan, termasuk ketika ada misi pementasan/pertunjukan di luar daerah.
Mengakhiri masa jabatan saya sebagai ketua umum 2017 lalu, Dewan Kesenian Kabupaten Trenggalek menerima Rp0.
Mengeluhkan hal demikian tentu boleh. Tetapi, sekaligus juga menunjukkan bahwa mereka lebih berharap agar dewan kesenian menjadi semacam lembaga pembagi rezeki atau semacam lembaga penyalur sedekah: kesempatan manggung, pentas. Atau, membagikan orderan kegiatan kesenian dari pemerintah kepada para pelaku seni di kawasan secara adil.
Keluhan atau bahkan kadang bernada tuntutan yang ujung-ujungnya mengarah ke persoalan kesejahteraan seniman itu masih saja terlontar. Padahal, tak sekali dua kali saya mengatakan kepada mereka (para pengurus Dewan Kesenian Kabupaten Trenggalek), bahwa salah satu tugas dewan adalah memberikan rekomendasi kepada para pemangku kepentingan bidang kesenian.
Tugas Dewan Kesenian adalah berpikir, berdiskusi, dan menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai kebijakan bidang kesenian. Bukan menjadi penyelenggara kegiatan kesenian.
Dewan Kesenian bukan event organizer. Saya juga tidak sependapat dengan Meimura, yang, seperti dikutip ngopibareng.id beberapa hari lalu:
”Sebagaimana amanat para senior yang telah mendahului kita dan yang masih hidup, DKJT (Dewan Kesenian Jawa Timur, bon.) dibentuk untuk mendorong kesejahteraan seniman dan kesenian melalui dewan kesenian kabupaten/kota.”
Pernyataan tersebut, menurut saya mengandung dua persoalan. Pertama, patut disayangkan bila benar para pendiri Dewan Kesenian Jawa Timur bersusah-payah membangun lembaga terhormat itu dengan bertolak dari pikiran: bahwa para seniman dan kesenian kita (Jawa Timur) tidak/kurang sejahtera.
Jika pun penelitian menyimpulkan keadaan demikian, dan pendorongnya adalah persoalan kesejahteraan, saya kira seharusnya bukan lembaga seperti dewan kesenian yang kemudian dibentuk.
Kedua, Mendorong kesejahteraan seniman dan kesenian melalui dewan kesenian kabupaten/kota itu bagaimana praktiknya? Jika benar Dewan Kesenian Jatim punya dana operasional satu setengah miliar per tahun, seberapa banyak yang diteteskan ke dewan kesenian kabupaten/kota?
Sampai mengakhiri masa jabatan saya sebagai ketua umum 2017 lalu, Dewan Kesenian Kabupaten Trenggalek menerima Rp0.
Tampaknya, pikiran mengenai kesejahteraan seniman itu meresap pula ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur, yang kemudian meluncurkan program Asuransi Kesehatan bagi Seniman Jatim.
Seingat saya, program Asuransi Kesehatan bagi Seniman Jatim tersebut diluncurkan pada awal masa jabatan Pakdhe Karwo sebagai Gubernur Jawa Timur. Saya termasuk seseorang yang di dalam daftar tertulis sebagai penerima, tetapi hingga kini tak pernah menerima kartu-nya.
Saya tidak tahu pula, seniman Jatim yang berusia lanjut dan sakit-sakitan, sekarang, apakah masih dapat memanfaatkan kartu asuransi kesehatan itu.
Saya juga tidak pernah menerima kabar mengenai pembaruan data, atau penambahan daftar baru penerima asuransi ini, sebagai salah satu indikator bahwa program ini berjalan dengan baik.
Program ’kesejahteraan’ lainnya adalah ”Taliasih Gubernur bagi Seniman Jawa Timur” yang biasanya diberikan menjelang hari raya Idulfitri. Ada 300 hingga 500 orang yang dianggap seniman Jawa Timur menerimanya.
Lalu, beredar olok-olok, bahwa para penerimanya (termasuk saya, pernah beberapa kali menerima ketika tinggal di Surabaya) adalah seniman-seniman fakir. Lalu, judulnya diubah menjadi, ”Taliasih bagi Seniman Jawa Timur Berprestasi,” (?) Nama baru dengan embel-embel kata ’berprestasi’ itu seharusnya tetap bermasalah, sebab tidak pernah diumumkan bagaimana dan oleh siapa saja daftar prestasi para seniman Jawa Timur itu dibuat.
Memandang dan mendorong dewan kesenian sebagai semacam biro kesejahteraan bagi seniman, apalagi bagi kesenian, saya kira sudah salah sejak dalam perasaan. Kecuali, sekalian berani pasang tagline: ”Seniman fakir miskin dan terlantar dipelihara oleh dewan kesenian!” (Bonari Nabonenar)