Determinasi Zohri
Jumat ini, saya berlari pagi. Lokasinya di Lapangan Latihan Atletik di Komplek Gelora Bung Karno. Di ujung, terlihat hampir 10 anak muda mau mulai berlatih.
Ada tiga orang pelatih. Salah satunya perempuan yang terhitung sepuh. Ibu itu memakai jilbab. Mereka memantau persiapan pemanasan para anak didiknya.
“Atletik Indonesia, juara!” teriak mereka keras. Sedetik kemudian, mulai berlari mengitari lintasan. Sesekali terdengar tawa riang gembira.
Saat mendekati posisi mereka, saya baru ngeh. Ternyata ibu berjilbab dan berkacamata itu, Eni Nuraeni. Ibu Eni adalah pelatih atletik terbaik Asia 2018.
Penghargaannya diganjar oleh Asosiasi Atletik Asia (AAA). Tentu saja, semua karena kiprahnya. Dari tangan dingin mantan atlet renang ini, lahir banyak sprinter jawara.
Misalnya, Suryo Agung Wibowo. Pada jamannya, dia pemegang rekor lari 100 meter putra Asia Tenggara. Rekor itu, melabelinya sebagai manusia tercepat Asia Tenggara.
Saat berada di depan Ibu Eni, saya pun berhenti berlari. Mengucap salam, untuk menyapanya. Lalu menyalaminya.
Wajahnya teduh. Seulas senyum tak lepas dari bibirnya. “Ibu, selamat ya untuk penghargaan pelatih atletik terbaik Asia,” puji saya.
Senyumnya makin mengembang saat mendengar eulogi itu. Gurat kecantikan di masa mudanya terlihat. “Terima kasih banyak,” jawabnya pendek.
Seharusnya, bila ada Ibu Eni di pinggir lintasan, pasti ada jagoan sprinter andalan Indonesia saat ini. Siapa lagi kalau bukan Lalu Muhammad Zohri. Juara dunia junior (U20) lari 100 meter 2018.
Anak muda itu kelahiran Lombok Utara pada 1 Juli 2000. Dia mengenggam gelar juara dunia pada 11 Juli 2018. Saat kejuaraan atletik di Tampere, Finlandia.
Mata saya langsung mengarah ke lintasan. Benar saja. Saya menemukan wajah Zohri di antara rekan-rekannya. Mengenakan kaos Asia Championship Doha, Qatar 2019.
“Ibu, minta izin untuk menyapa Zohri ya,” pinta saya. Ibu Eni mengangguk pelan, tanda setuju. “Setelah selesai pemanasan saja,” sarannya.
Karena para atlit itu masih pemanasan, saya pun melanjutkan lari. Mengelilingi lintasan lagi. Beberapa kali, untuk mengenapi jarak 6 km.
Pagi ini kawasan GBK ramai. Banyak orang lari dan berolah raga lainnya. Di pinggiran Stadion Utama, bahkan terlihat sesak orang berlari.
Sambil terus berlari, ekor mata saya mengejar pemanasan para atlit muda itu. Mereka melakukan pemanasan komplit. Hampir setengah jam beraktifitas.
Termasuk memainkan bola basket yang kempis. Saling lempar tangkap. Mungkin untuk melatih kelenturan.
Sambil terus berlari, saya juga bertemu wajah lama. Pak Carlos namanya. Sesama pelari pagi di GBK. Dia bekerja sebagai general manager di sebuah hotel ternama.
Pagi itu, dia berolahraga dengan tiga rekan ekspatriat lainnya. Larinya cepat sekali. Berulang kali, mereka meninggalkan jejak kaki di depan lintasan saya. “Telo ini,” gerutu saya.
Tak berapa lama, saya melihat pemanasan atlit muda itu selesai. Saya pun segera menghampiri mereka. Lantas menyapa Zohri.
“Selamat pagi Bang,” jawabnya ramah. Saya juga menyampaikan ke dia, kalau sudah minta izin ke Ibu Eni untuk menyapanya. “Turut bangga dengan prestasi Zohri. Semoga makin sukses,” tambah saya.
Dia tersenyum. Pasti, banyak yang memujinya. Tak kurang, Presiden Joko Widodo juga sudah mengundangnya ke Istana Merdeka.
Tak ada rupa wajah sombong dari juara dunia ini. Wajahnya yang timur, masih terlihat. Tak tampak wajah lelah, tapi kegembiraan.
Pemuda bertinggi 172 cm ini memang fenomenal. Saat mengikuti kejuaraan atletik junior 2018, sebenarnya dia tidak diunggulkan. Namun, garis tangan berkata lain.
Dengan catatan waktu 10,18 detik, Zohri menumbangkan dua pelari Amerika Serikat. Anthony Schwartz dan Eric Harrison. Mereka pun harus gigit jari.
Pasalnya, saat pemanasan sebelum lomba, wajah keduanya terlihat jumawa. Akhirnya, mereka harus puas di urutan kedua dan ketiga. Catatan waktu yang ditorehkan, 10,22 detik.
Setelah pencapaian itu, Zohri jadi viral. Semua orang juga terbelalak. Saat mengetahui atlet berprestasi itu datang dari keluarga tak mampu. Anak yatim dari kampung.
Pemerintah akhirnya memugar rumahnya di Lombok. Dari dinding bambu diubah jadi tembok. Saya meyakini, kondisi ekon omi keluarganya turut membentuk karakternya.
Membuatnya jadi pekerja keras. Pantang menyerah. Dan tahu, bahwa yang bisa mengubah hidupnya hanyalah hasil kerja kerasnya sendiri.
Bisa jadi, kebulatan tekad itu mendorongnya berlatih sangat keras. Membangun determinasinya. Menetapkan hati demi prestasi. Juga memperbaiki kehidupannya serta keluarga.
Lantas, prestasi baru diukirnya lagi. Meraih medali emas pada perhelatan kejuaraan atletik junior Asia di Jepang, tahun lalu. Catatan waktunya 10,27 detik.
Saat Asian Games di Jakarta tahun lalu, Zohri juga turun lintasan. Sayang, atlet-atlet senior di Asia melibasnya. Posisi terbaik di final 100 meter, hanya di urutan ke 7.
Hasil Asian Games rupanya melecutnya. Tak heran, kerja kerasnya melahirkan prestasi di kejuaraan atletik Asia tahun ini. Zohri merebut medali perak.
Tapi ada yang lebih spekatakuler. Catatan waktunya meningkat pesat. Tembus ke angka 10,13 detik pada babak final. Torehan itu memecahkan rekor lama milik Suryo Agung Wibowo, yaitu 10,17 detik.
Kini, Zohri menatap Olimpiade Tokyo 2020. Harapannya bisa menembus di bawah 10 detik. Tak heran, dia berlatih sangat keras.
Makanya, saat bertemu pagi tadi, saya ingin mengajaknya sprin 100 meter. Siapa tahu, dia sudah tembus di bawah 10 detik. Selain itu, saya juga agak pede untuk mengimbanginya.
Saya lebih tinggi di banding dia. Yakin, kalau langkah kaki lebih lebar. Cuma berat badan tak bisa menipu. Beratnya 60 Kg. Sedangkan saya 73 Kg.
Sayang, permintaan saya bertepuk sebelah tangan. Dia hanya menjawabnya dengan senyuman. “Selfie saja kita Bang,” jawabnya.
Ajar Edi, kolumnis “Ujar Ajar” di ngopibareng.id