Wisata Kayutangan, Upaya Malang Tempo Dulu Bertahan di Perkotaan
Poster bertulis Kampoeng Wisata Kajoetangan terpampang besar di pintu masuk Gang VI Kauman, di Jalan Jenderal Basuki Rachmat, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Menyusuri jalanannya, pengunjung pun dibawa bernostalgia ke masa lalu. Bertemu rumah penduduk bergaya jengki, di gang-gang kecil tak jauh dari pertokoan kuno di sepanjang Kayutangan. Seabad lalu, arsitek Belanda, Thomas Karsten, mendesain Kayutangan sebagai sentra bisnis sekaligus hiburan, bagi warga Belanda yang sedang beristirahat di Malang.
“Ada rumah paling tua, bangunan tahun 1870 di Gang VI. Rumah di sini bergaya jengki, paduan antara gaya Kolonial dan Betawi buatan tahun 1900an,” kata Rizal Fahmi, warga setempat, kepada Ngopibareng.id, Sabtu 6 Maret 2021.
Rumah jengki dikenali dengan dinding yang tebal, mencapai 5 cm, teralis besi dengan motif pohon kelapa, dan petani sedang menyunggi wadah sayur, bisa dijumpai di dalam kampung Kayutangan. “Beberapa jalan di kampung juga dibangun di atas sungai buatan kompeni,” kata warga yang juga mantan Ketua Pokdarwis itu.
Tak hanya rumah lawas dan suasana tempo dulu, pengunjung juga disuguhkan warisan budaya seperti beragam kuliner lokal, pasar krempyeng yang telah ada sejak tahun 1900an, hingga keramahan warga penghuni rumah. “Ada Pasar Krempyeng Talun, jajanan lawas. Penghuni rumah juga mau menceritakan pengalaman mereka tumbuh di kampung heritage ini,” lanjutnya.
Sebelum pandemi, Kampung Wisata Kajoetangan yang meliputi Gang IV, Gang VI, Ndorowati, Semeru, dan Gang Es Talun yang semuanya di Kecamatan Klojen, rata-rata dikunjungi 1.200 orang dalam sepekan.
Pengunjung akan mendapatkan informasi tentang keunikan kampung hingga situs bersejarah ketika masuk melalui pintu Kampung Heritage yang tersebar di gang tersebut.
Meski, kampung wisata ini tak hanya menarik bagi pengunjung yang ingin berjalan-jalan saja. “Ada yang datang untuk foto pernikahan, juga pernah digunakan syuting filmnya Bayu Skak, Yowisben,” imbuh pria berusia 43 tahun itu.
Bagi warga pemilik rumah, pengunjung yang datang juga mampu memutar roda perekonomian. Rizal menyebut, pemilih rumah mendapat bantuan sebesar Rp40 ribu untuk setiap kunjungan. Mereka pun bisa menutup pintu untuk beristirahat, di setiap harinya. “Rata-rata satu rumah menerima dua kunjungan dalam sehari. Lumayan, satu hari bisa mendapatkan Rp80 ribu hanya menerima tamu saja. Tetapi kami tak pernah memaksa warga untuk mau dikunjungi,” jelasnya.
Pusat Perekonomian di Era Kolonial
Kawasan Kayutangan merupakan pengingat bagi masyarakat Kota Malang, bahwa lansekap perkotaan warisan kompeni tersebut pernah menjadi pusat perekonomian, sekitar satu abad yang lalu. Kini pemerintah menetapkan sejumlah bangunan di wilayah tersebut menjadi cagar budaya.
"Kriteria sebuah bangunan dikategorikan sebagai cagar budaya yaitu pertama minimal usia bangunan itu 50 tahun, memiliki nilai historis penting untuk pengetahuan dan secara arsitektural memiliki karakter bangunan seperti langgamnya termasuk secara style jarang," ujar Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang, Budi Fathoni.
Deretan toko-toko dan perkantoran di Kayutangan, serta hunian dan cara hidup warga di Kampung Kayutangan, merupakan sebuah cerminan bahwa kawasan Kayutangan sejak era kolonial menjadi pusat perekonomian di Kota Malang.
Lansekap kota tersebut ujar Budi, merupakan rancangan dari seorang warga Belanda yaitu Thomas Karsten sekitar 1914, lalu. "Dulunya memang adalah pusat perdagangan yang dirancang oleh Belanda, di samping perdagangan di situ, dulu juga ada pemukiman," katanya.
Untuk kawasan pemukiman kata Budi berada di Kampung Kayutangan. Di dalam kampung itu ujar Budi juga banyak terdapat bangunan-bangunan kuno. Bangunan itu merupakan hasil karya dari kuli pribumi
"Jadi yang membangun itu adalah tukang-tukang yang dulu membangun di koridor Kayutangan mereka mencontoh model bangunan-bangunan Belanda, mulai dari pintu hingga jendela," ujarnya.
Selain itu, kawasan Kayungan juga dihuni warga beragam etnis. Jika koridor Kayutangan kebanyakan diisi orang Belanda, maka di Kampung Kayutangan, kebanyakan dihuni oleh orang-orang pribumi. Budi mencatat ada sekitar 30 bangunan kuno di kawasan Kampung Kayutangan.
Selain itu, di koridor Kayutangan juga pernah ditemukan jalur trem di simpang Rajabali. Penemuan jalur trem tersebut berawal saat pengerjaan proyek pada Desember 2020, lalu. Pembongkaran aspal jalan untuk digantikan dengan batu Andesit.
Jalur trem yang ditemukan saat itu diperkirakan panjangnya mencapai kurang lebih 200 meter.
Pemerhati Rel Kereta Api, Cahyana Indra Kusuma mengatakan bahwa jalur trem tersebut dibangun oleh kolonial Belanda sekitar 1903. "Ini diperkirakan membentang sepanjang Stasiun Blimbing hingga ke Jagalan, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Dibuka sekitar 15 Februari 1903 dan diprediksi ditutup pada 1959," ujarnya.
Indra memperkirakan total panjang lintasan trem dari Stasiun Blimbing menuju kawasan Jagalan sekitar enam kilometer. Pada zaman Belanda, rel itu digunakan untuk keperluan mengangkut muatan orang dan juga barang. "Kawasan Kayutangan ini dulunya kan sentral bisnis. Jadi ini adalah jalur perdagangan. Sentra-sentra produksi ada di sini," katanya.
Dipoles Rp23 Miliar
Bak mutiara terpendam, Pemkot Malang kini berupaya menunjukkan potensi wisata di kawasan Kayutangan. Tak main-main, dana sebesar Rp23 miliar dari pinjaman International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), digunakan untuk merealisasikan proyek revitalisasi koridor Kayutangan,
Dana tersebut dikelola oleh pemerintah Republik Indonesia (RI) yang kemudian direalisasi melalui program Kotaku melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Dalam revitalisasi Kayutangan ini, pembangunan akan terbagi menjadi tiga koridor. Koridor satu dan dua diperkirakan rampung hingga Maret 2021. Sedangkan untuk koridor tiga akan mulai pembangunannya pada akhir 2021, dengan skema pembiayaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Koridor Kayutangan Heritage di sepanjang Jalan Basuki Rachmat mulai dari pertigaan Kantor Perusahaan Listrik Negara (PLN) Cabang Malang dan Simpang Rajabali termasuk dalam koridor I dan dan II. Koridor tersebut juga terintegrasi dengan segmen Kampung Polehan dan Kauman.
Untuk menambah nuansa heritage, aspal jalan di pertigaan PLN Cabang Malang dan Simpang Rajabali sudah diubah menjadi Batu Andesit. Trotoar jalan pun diperluas untuk pejalan kaki. Kursi-kursi mulai ditata di depan Kantor Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Malang.
Sekretaris TACB Kota Malang, Agung Harjaya Buana menambahkan, kawasan Kayutangan hadir sebagai destinasi urban tourism seperti yang ada di Jalan Braga, Bandung dan Malioboro, Yogyakarta. "Hal itu akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Ini juga merupakan upaya Pemkot Malang untuk bisa menggarap sisi-sisi lain dari urban tourism," ujarnya.
Walikota Malang, Sutiaji merencanakan akan ada atraksi-atraksi wisata di koridor Kayutangan Heritage. Maupun berbagai hiburan dan kesenian akan ditampilkan di sana. "Nanti, jadwalnya akan diatur oleh para komunitas. Teman-teman dari musik kontemporer akan main secara bergilir dan kami beri insentif. Nanti, akan kami adakan event khusus yang akan menampilkan seni secara total," katanya.
Tak ketinggalan, koridor Kayutangan juga akan menjadi etalase produk milik pelaku ekonomi kreatif lewat pemeran berkala yang akan disusun oleh Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar).
"Bukan berarti mereka (pelaku ekonomi kreatif) menetap disana. Karena jika menetap disana seperti Malioboro bakal kumuh. Jadi ketika ada event-event secara khusus, akan dikondisikan untuk mereka di sana (koridor Kayutangan)," kata Kepala Dinas Porapar Ida Ayu Made Wahyuni.
Untuk sektor pariwisata kata Ida, pihaknya sudah mengajukan anggaran pemulihan sebesar Rp1,8 miliar dalam APBD 2021. “Itu nanti akan terbagi untuk kegiatan-kegiatan lainnya seperti pemulihan destinasi juga nanti ada hibah," imbuhnya.
Kampung Wisata Tutup Sementara
Gerbang pintu masuk Kampung Kayutangan tetap menyambut warganya yang hilir mudik tinggal di kampung kuno tersebut. Namun, pada satu bagiannya, tertempel pengumuman jika Kampung Wisata Kayutangan tak lagi menerima kunjungan wisata. Pengumuman itu kini berusia satu tahun, dibuat pada Maret tahun lalu, mengikuti wabah pandemi yang mulai menyerang Indonesia.
“Wisata kampung ini tak seperti wisata alam, ada orang-orang yang tinggal setiap hari di sini. Sambil menunggu protokol kesehatan yang aman, saat itu kami menutup sementara Kampung Wisata dari pengunjung,” kata Rizal Fahmi.
Meski tak ada geliat wisata, denyut budaya berusia puluhan tahun tetap terjaga sebagai bagian dari keseharian. Pasar Krempyeng Talun tetap menyediakan kebutuhan bagi warga setempat di waktu tertentu.
Lewat Instagram, Whatsapp, dan aneka aplikasi media sosial, warga di Kampung Kayutangan saling bersapa dan mengabarkan, tentang beragam kegiatan kampung. Mempertahankan warisan budaya berusia puluhan tahun. “Ada parade jajanan lawas antar penduduk kampung. Tanpa wisatawan, ada banyak kegiatan yang tetap berjalan sebagai upaya mempertahankan budaya,” pungkasnya.
(Laporan Lalu Theo Hidayat di Malang, dan Dyah Ayu Pitaloka)