Desak Pemulihan Politik Sudan, Sikap Saudi, UEA, AS, dan Inggris
Adanya kudeta militer di Sudan mengundang perhatian sejumlah negara. Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Amerika Serikat (AS) dan Inggris akhirnya mendesak pemulihan pemerintahan sipil di Sudan, Rabu 3 November 2021.
“Kami menyerukan pemulihan penuh dan segera dari pemerintah dan lembaga transisi yang dipimpin sipil,” kata pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS.
“Kami mendorong pembebasan semua yang ditahan sehubungan dengan peristiwa baru-baru ini dan pencabutan keadaan darurat,” kata pernyataan itu dikutip Arabnews.com.
“Kekerasan tidak memiliki tempat di Sudan yang baru, pada titik ini kami mendorong dialog yang efektif antara semua pihak, dan kami mendesak semua untuk memastikan bahwa perdamaian dan keamanan bagi rakyat Sudan merupakan prioritas utama.”
Amerika Serikat telah memelopori kecaman atas pengambilalihan kekuasaan oleh militer pekan lalu yang mengganggu transisi rapuh menuju demokrasi di mana kekuasaan dibagi dengan pemerintah sipil.
Presiden Ditawan
Pasukan keamanan Sudan memindahkan Perdana Menteri, Abdalla Hamdok, ke lokasi yang tidak diketahui, Senin 25 Oktober 2021. Pemindahan PM Hamdok terjadi karena ia menolak untuk mengeluarkan pernyataan dukungan terhadap upaya kudeta yang sedang berlangsung.
Saluran televisi yang berbasis di Dubai, Al-Hadath TV, mengatakan bahwa pasukan keamanan telah mengepung rumah perdana menteri beberapa jam sebelum pemerintah mengeluarkan pernyataan resminya, Senin lalu.
“Setelah ia menolak untuk menjadi bagian dari kudeta, pasukan dari tentara menahan Perdana Menteri Abdallah Hamdok dan membawanya ke lokasi yang tidak diketahui,” ungkap pernyataan remsi Kementerian Informasi Sudan sebagaimana dilansir Al-Jazeera.
Selain PM Hamdok, pasukan keamanan Sudan juga menangkap beberapa anggota kepemimpinan sipil nasional. Beberapa pejabat yang mereka tangkap yaitu Menteri Perindustrian, Ibrahim al-Sheikh, dan Gubernur Khartoum, Ayman Khalid. Putri al-Sheikh dan Istri Khalid mengonfirmasi bahwa keluarganya dibawa dari rumah mereka sebelum fajar.
Selain kedua tokoh tersebut, pasukan keamanan Sudan juga menangkap Menteri Informasi Sudan, Hamza Baloul, penasihat media untuk Perdana Menteri, Faisal Mohammed Saleh dan juru bicara kedaulatan Sudan, Mohammed Al-Fiky Sulaiman.
Kudeta yang Gagal
Sudan berada di ujung tanduk sejak rencana kudeta gagal terjadi bulan lalu. Sejak itu, sejumlah tuduhan pahit antara kelompok militer dan sipil muncul seiring ide pembagian kekuasaan pasca penggulingan pemimpin lama mereka, Omar Al-Bashir.
Pada tahun 2019, Perdana Menteri Sudan saat itu, Omar Al-Bashir, terguling dari jabatannya pasca demonstrasi dan protes yang terjadi selama berbulan-bulan. Pihak-pihak terkait pun menyepakatai transisi politik pasca pemecatan Bashir guna mempersiapkan pemilihan umum pada akhir 2023 mendatang.
Al-Jazeera juga mengonfirmasi bahwa pasukan keamanan telah membatasi akses telekomunikasi di ibu kota Sudan, Khartoum. Akibatnya, sejumlah jaringan seluler terganggu dan membuat komunikasi antar warga via seluler menjadi sangat sulit.
“Militer juga telah memblokir semua jalan dan jembatan yang menuju kota Khartoum. Kami juga melihat tentara memblokir akses dan mereka memberi tahu kami bahwa ini adalah perintah. Mereka mengatakan akses ke kota Khartoum haris dibatasi. Ini menimbulkan kekhawatiran karena di situlah lembaga pemerintah berada. Di situlah istana kepresidenan dan kantor perdana menteri berada,” papar jurnalis Al-Jazeera, Hiba Morgan.
Pekan lalu, puluhan ribu warga Sudan melakukan demonstrasi di sejumlah kota untuk mendukung transisi kekuasaan penuh kepada warga sipil. Para demonstran juga melakukan aksi duduk selama berhari-hari di luar istana presiden di Khartoum untuk menutut kembalinya kekuasaan militer.
Sebelumnya, Hamdok mengatakan bahwa perpecahan dalam pemerintahan sementara merupakan krisis terburuk dan paling berbahaya yang terjadi pada masa transisi di Sudan.
Advertisement