Desak Bebaskan Suu Kyi, Ini Fakta-Fakta PBB Sikapi Junta Myanmar
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, melalui juru bicara mendesak junta Myanmar segera membebaskan Penasihat Negara yang dikudeta, Aung San Suu Kyi, dari tahanan rumah.
Desakan itu disampaikan Guterres sehari setelah junta Myanmar membebaskan ribuan tahanan politik, termasuk aktivis dan wartawan, dilansir Reuters, Jumat 2 Juli 2021.
"Kami kembali menyampaikan permintaan supaya mereka yang tidak menjalani proses hukum dengan semestinya harus dibebaskan, termasuk Presiden Win Myint dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi," kata juru bicara Guterres, Eri Kaneko.
Bebaskan Aksi Pembangkangan
Junta Myanmar membebaskan sekitar 2.600 orang ditahan yang dituduh terlibat aksi pembangkangan terhadap rezim militer dari Lembaga Pemasyarakatan Insein yang berada di dekat Kota Yangon.
Mereka menuduh para tahanan itu yang merupakan aktivis, warga sipil dan jurnalis ikut menghasut masyarakat melakukan kerusuhan melalui aksi unjuk rasa.
Sebagian dari para tahanan itu dijerat dengan delik membuat masyarakat takut karena menyebarkan berita palsu. Pasal itu juga yang dikenakan kepada Suu Kyi, dari sederet perkara hukum lain yang dituduhkan kepadanya.
"Kami tetap prihatin atas berlanjutnya aksi kekerasan dan intimidasi, termasuk penahanan sewenang-wenang oleh aparat keamanan," ujar Kaneko.
Ancaman bagi Jurnalis
Rezim militer Myanmar juga kembali berulah dengan mengancam jurnalis yang nekat menggunakan istilah junta terhadap mereka.
Mereka menyatakan pemerintahan Myanmar saat ini harus disebut sebagai "Dewan Militer" ketimbang junta. Selain itu, junta Myanmar tetap menolak tuduhan melakukan kudeta.
Menurut keterangan itu, junta Myanmar menamakan pemerintahan saat ini sebagai Dewan Pemerintahan Negara.
Serukan PBB Penghentian Senjata ke Myanmar
Sebelumnya, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada pertengahan Juni 2021, mengeluarkan seruan penghentian aliran senjata ke Myanmar dan mendesak militer menghormati hasil pemilihan November dan membebaskan tahanan politik, termasuk pemimpin Aung San Suu Kyi.
Majelis Umum mengeluarkan resolusi dengan dukungan 119 negara, sekitar empat bulan dari peristiwa militer menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi dalam kudeta. Belarusia meminta agar teks resolusi tersebut divoting dan merupakan satu-satunya negara yang menentangnya, sementara 36 abstain, termasuk Cina dan Rusia.
Sisanya 37 anggota Majelis Umum tidak memilih, seperti dikutip France 24, Sabtu 19 Juni 2021.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sebelumnya pada hari Jumat mendorong Majelis Umum untuk bertindak, mengatakan kepada wartawan, “Kita tidak bisa hidup di dunia di mana kudeta militer menjadi norma. Itu sama sekali tidak dapat diterima.”
Draf awal resolusi PBB mencakup bahasa yang lebih keras yang menyerukan embargo senjata terhadap Myanmar. Menurut sebuah proposal yang dilihat oleh Reuters bulan lalu, sembilan negara Asia Tenggara ingin frasa itu dihapus.
Teks kompromi “menyerukan semua negara anggota untuk mencegah aliran senjata ke Myanmar.”
Bobot Politik Resolusi PBB
Resolusi Majelis Umum tidak mengikat secara hukum tetapi memiliki bobot politik. Berbeda dengan Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara, tidak ada negara yang memiliki hak veto di Majelis Umum.
Pasukan junta telah membunuh lebih dari 860 orang sejak kudeta 1 Februari, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik. Junta mengatakan jumlahnya jauh lebih rendah.
Resolusi PBB menyerukan militer Myanmar untuk “segera menghentikan semua kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai” dan mengakhiri pembatasan di internet dan media sosial.
Tekanan ASEAN
Majelis Umum juga meminta Myanmar untuk segera menerapkan konsensus lima poin yang dibuat junta dengan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada April untuk menghentikan kekerasan dan memulai dialog dengan lawan-lawannya.
Negara-negara ASEAN Brunei, Kamboja, Laos dan Thailand abstain dalam pemungutan suara Majelis Umum, sementara Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan Vietnam memberikan suara mendukung. Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun, yang berbicara mewakili pemerintah sipil terpilih di negara itu, juga memilih ya.
Advertisement