Desa Wisata harus Tetap Menjadi Desa, Alami, Minimkan Plastik
BANTUL - Para pengelola desa wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mendapat suntikan moral filosofis. Suntikan moral itu datang dari Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Pedesaan dan Perkotaan, Kementerian Pariwisata Dr Vitria Ariani. Perempuan yang akrab disapa Ria ini menegaskan desa wisata harus tetap menjadi desa. Harus yang serba alami. Menjaga konservasi. Meminimkan plastik.
“Namanya desa harus tetap menjadi desa. Harus menjaga kearifan lokal. Harus tetap menjadi diri sendiri. Tetap menjadi desa. Jangan menjadi kota,” pesan Ria saat menjadi narasumber talk show Gebyar Pesona Desa Wisata di Desa Wisata Kaki Langit, Mangunan, Bantul.
Talk show dihadiri oleh perwakilan desa wisata atau kampung wisata dari kabupaten dan kota di wilayah DIY. Juga dihadiri sejumlah mahasiswa jurusan pariwisata. Sedangkan narasumber talk show, selain Ria, ada Kepala Dinas Pariwisata DIY Singgih Raharjo, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul Kwintarto Heru Prabowo dan Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DIY Bobby Ardyanto Setyo Ajie.
Sebelum sampai pada pesan agar desa tetap menjadi desa, Ria menyampaikan pertanyaan retoris. Dia menanyakan, desa wisata yang berdaya saing itu seperti apa? “Apakah yang mempunyai uang paling banyak? Apakah yang kunjungan tamunya paling banyak?”
Ria tidak menunggu jawaban dari audiens. Dia sendiri yang menjawabnya. Dia ceritakan dirinya sendiri. Sebagai seorang individu, agar memiliki daya saing, tidak harus meniru orang lain. “Apa saya harus menjadi Syahrini? Harus meniru dia? Tidak. Kita harus yakin dengan apa yang kita punya. Kita upgrade potensi kita tanpa harus menjadi orang lain,” ujarnya.
Dia juga mengambil contoh desa wisata yang ada di Jogja. “Pentingsari tetap jadi Pentingsari. Mangunan tetap jadi Mangunan. Intinya, kearifan lokal harus dipertahankan,” tegasnya lagi.
Lalu bagaimana agar bisa bersaing dengan dunia global? Ria mengatakan para pelaku desa wisata tetap harus membuka diri. Boleh meniru bagaimana orang luar berpikir kritis. Sehingga tahu apa kelemahan dan apa kelebihan yang bisa dipakai untuk peningkatan desa wisata.
“Misalnya, apa sumber daya manusia (SDM) hanya cukup dengan orang-orang yang murah senyum. Apa homestay-nya juga begitu-begitu saja. Tidak perlu ada standar. Saya pikir tidak. SDM haruslah orang yang mumpuni. Orang yang mau belajar menjadi lebih baik. Kemudian juga SDM yang mampu menjaga kearifan desa,” tambah Ria.
Ria pun mengkritik desa-desa wisata yang “berubah” dengan mendatangkan ‘hal baru’ masuk ke desanya. Saat di depan panggung ia melihat tenda tempat pedagang makanan yang terbuat dari plastik, ia meminta sebaiknya semua dibangun dengan bahan lokal. Akan lebih menarik jika semua bangunan untuk pedagang berbahan baku lokal. Termasuk perlengkapan untuk jualannya.
“Minum pakai kendi akan lebih menarik. Semangat kembali ke asal. Serba alami. Bukan membeli atau mengimpor dari luar. Jadi keunikan yang digarap,” tandas perempuan yang senang dengan semangat ‘balik ndesa’ atau saba desa ini.
Soal keunikan ini juga disoroti oleh Bobby Ardyanto. Sebagai wakil dari kalangan industri, Bobby juga melihat desa wisata belum banyak yang memiliki unique selling point. Sehingga industri pariwisata DIY yang menawarkan desa wisata belum sampai 50 persen. “Kami butuh garansi. Kalau sudah bersentuhan dengan sisi komersial, butuh konsistensi,” kata Bobby.
Ditegaskan, selain konsistensi, wisatawan juga butuh kepastian. Dan selama ini, pengelola desa wisata banyak yang belum menunjukkan hal tersebut. “Sehingga pada saat ditawarkan, bisa saja desa wisatanya ada. Tapi, saat tamu atau wisatawannya datang, desa wisatanya sudah bubar. Karena itu, kami mengingatkan temen-teman desa wisata agar terus meningkatkan profesionalisme. Memberikan servis yang terbaik. Karena hanya yang servisnya terbaik yang akan mendapatkan apresiasi baik pula,” tegas Bobby. (erwan w)
Advertisement