Desa Nginggil dan Sejarah Mbah Suro Inggil
Menyebut nama Desa Nginggil Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora, seperti menguak cerita kelam pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965. Kini, nama Nginggil kembali menyeruak setelah ada pesawat tempur Golden Eagle milik TNI AU jatuh di desa tersebut.
Lalu apa hubungan antara peristiwa berdarah tahun 1965 dengan pesawat TNI AU yang jatuh di Desa Nginggil pada Senin malam 18 Juli 2022?
Jawabannya tak ada hubungan sama sekali. Yang ada adalah, dua peristiwa penting dan terjadi dalam tenggat enam dasawarsa terakhir ini.
Nama Desa Nginggil, masih tetap dihubungkan dengan seorang tokoh bernama Moelyono Soeradihardjo atau dikenal dengan Suro Inggil atau Mbah Nginggil, seorang tokoh PKI juga dikenal dukun sakti. Mbah Suro Inggil, demikian dipanggil oleh ribuan pengikutnya, lahir pada 17 Maret 1921 di Desa Nginggil, Kecamatan Kradenan, Blora.
Sebenarnya, sebelum diburu karena menjadi anggota partai terlarang, Suro Inggil, pernah menjabat sebagai Kepala Desa Nginggil. Orang tua Suro Inggil yaitu Resosemito, juga kepala desa. (catatan sejarah Blora).
Sayangnya perjalanan hidup Suro Inggil, justru tak sejalan dengan masa mudanya. Dia pernah tercatat menjadi tentara dengan pangkat sersan di masa revolusi. Tapi pria lulusan sekolah rakyat ini, memilih jalur politik kiri.
Pria Terpandang dari Desa Nginggil
Menjadi kepala desa adalah jabatan terpandang. Apalagi jabatan itu diempan dengan jangka waktu lama. Hal itu dialami Suro Inggil, menjabat kepala desa selama 16 tahun lamanya (dari tahun 1946 hingga 1962). Pria ini menjadi sosok terkenal di Kabupaten Blora bagian selatan.
Di luar itu, Suro Inggil juga dikenal sebagai dukun terkenal. Punya banyak istri, juga pengikutnya yang setia, datang dari pelbagai daerah. Dari Blora, Purwodadi, Jawa Tengah. Kemudian dari Bojonegoro dan Ngawi—daerahnya dibatasi dengan Sungai Bengawan Solo. (Cepu, Blora dan Bojonegoro dikenal sebagai daerah ‘Tapak Merah’ kawasan yang hendak direbut karena potensi minyak dan gas dalam sejarah pemberontakan PKI Madiun tahun 1948).
Sosok Suro Inggil juga kian terkenal. Pengalaman di dunia militer dan juga bergaul dengan tokoh-tokoh kiri, menjadikan pengikutnya di desa-desa bertambah banyak. Suro Inggil seperti menjadi idola baru orang-orang desa yang punya haluan sama, yaitu kelompok beridiologi kiri.
Di rumah yang jadi padepokannya, Suro Inggil juga membuka praktik sebagai dukun klenik. Rambutnya panjang, berkumis tebal dan menyebut dirinya sebagai Pandhito Gunung Kendeng.
Pada tahun 1960-an Mbah Suro Inggil, pernah membentuk barisan Bernama Banteng Ulung dan Banteng Sarinah. Mereka ini punya ciri yang mudah dikenal. Berseragam hitam-hitam, berkelompok dan suka keliling di kampung-kampung. Ciri khas lain, mereka memakai alat pentung, kolor dan iket di kepala sebagai simbol yang kemudian disingkat PKI. Para anggota Mbah Suro juga melengkapi dengan ilmu bela diri, juga ilmu kekebalan tubuh.
Cerita orang terdahulu, anggota Mbah Suro sering bergerombol. Kalau naik kereta api jurusan Cepu-Kedungtuban-Randublatung, (kereta api jalur utara) pakai baju hitam-hitam, dan suka menggoda perempuan, jika berada di jalan. Praktisnya kelompok ini membuat resah masyarakat ketika itu.
Pembersihan Kelompok Suro Inggil oleh TNI
Keberadaan Suro Inggil dan pengikutnya membuat resah TNI. Pihak Pangdam VII Diponegoro memerintahkan penutupan padepokan Nginggil. Perintah Pangdam VII Diponegoro dilaksanakan oleh Mayor Srinardi Dandim 0721 Blora selaku pembantu pelaksana kuasa perang Kabupaten Blora.
Tapi, Suro Inggil tidak mempedulikan perintah penutupan padepokannya. Pihak Kodim Blora mengutus Sersan Salim untuk bertemu Suro Nginggil. Sersan Salim yang membawa pesan atasannya, menutup padepokan dan berakhir dikeroyok para pengikut Suro Nginggil.
Tindakan para anggota Mbah Suro Inggil yang mengeroyok Sersan Salim, ini seperti menantang perintah pemerintah. Atas sikap itu, Pangdam VII Diponegoro mengeluarkan perintah operasi militer, tepatnya pada 5 Maret 1967. Pasukan yang diturunkan yaitu pasukan elite angkatan darat yaitu Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopasus), dibantu Yon 408,409, 410, di bawah pimpinan Letnan Feisal Tanjung, mengepung Padepokan Inggil di Desa Nginggil.
Pembersihan Mbah Suro Inggil dan pengikutnya membuahkan hasil. Para pengikut setianya dengan pasukan Banteng Ulung dan Banteng Sarinah banyak yang tewas. Sedangkan dari pihak TNI meninggal tiga orang dan beberapa orang terluka.
Ada cerita saat penangkapan Suro Inggil. Kabarnya Suro Inggil, yang konon kebal senjata, Ketika itu sempat bersembunyi dan naik pohon kelapa. Rupanya kekebalan tubuhnya luntur dihujani tembakan saat berada di pohon kelapa.”Itu cerita penangkapan Mbah Suro,” ujar Tono,73, tahun, salah seorang pensiunan tentara di Cepu, Blora.
Kini Desa Nginggil dengan 10 desa di Kecamatan Kradenan, Blora, sudah tidak menjadi kawasan terisolir lagi. Setidaknya setelah Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Blora, membuka akses jalur selatan dengan membangun jembatan di Sungai Bengawan Solo di daerah tersebut.
Advertisement