Derita Pedagang Cobek, Keliling Jakarta dengan Memikul Beban
Beban cukup berat di pundak Sukarman, bukan sekadar peribahasa. Tetapi beban yang dipikul itu nyata. Sudah 30 tahun laki-laki asal Kebumen Jawa Tengah itu memikul beban di pundaknya yang cukup berat berkeliling Jakarta. Seberat apa pun beban itu harus dipikul demi istri dan tiga anak yang menjadi tanggung jawab laki-laki berusia 57 tahun tersebut.
"Mungkin ini sudah menjadi garis tangan, saya jalani saja dengan ikhlas. Yang penting halal dan tidak merugikan orang lain," kata Karman saat menikmati kopi panas di sebuah warung selepas salat Jumat, 11 Februari 2022.
Soekarman adalah sosok pedagang cobek dan lumpang yang terbuat dari bahan batu padas yang dipahat. Berbeda dengan cobek pada umumnya, yang terbuat dari tanah liat yang dibakar semacam gerabah.
Satu cobek beratnya bisa mencapai 4kg, tergantung ukurannya. Makin besar makin berat. Sedang satu lumpang pelengkap dagangannya kalau ditimbang bisa mencapai 10 kg. "Setiap hari beban yang saya pikul kurang lebih 50 kilogram," kata Karman.
Di pundaknya terlihat gosong, terkelupas bekas gesekan dengan pikulan. Untuk mengurangi rasa sakit, ia melindungi pundaknya dengan handuk kecil.
Beban Itu katanya belum termasuk beban hidup, kalau dijadikan satu, lebih berat lagi, ujarnya. "Sudah keliling ke mana-mana tidak ada yang membeli, beratnya numpuk-numpuk," ujar Karman dengan logat bahasa 'ngapak' yang medok.
Sebagai orang yang taat beribadah, Karman mengaku tak pernah mengeluh. Laku dan tidak laku tetap bersyukur. Bersyukur itu yang membuatnya tenang, meski beban yang dipikulnya cukup berat.
"Hidup itu harus 'konaah', artinya mensyukuri apa yang diperoleh. Berapa pun nilainya, tapi terus berikhtiar untuk memperoleh yang lebih baik," kata Karman seperti sedang berceramah.
Setiap hari ia menjajakan sekitar delapan cobek dan satu lumpang lengkap dengan alu sebagai penyeimbangan pikulan. Supaya tidak jomplang.
Cobek dengan garis tengah 20 sentimeter pertama ditawarkan dengan harga Rp75.000. Tapi setelah terjadi tawar menawar, bisa disepakati dengan harga Rp35.000.
Ibu-ibu lebih suka dengan cobek dari batu, meskipun harganya lebih mahal. Alasannya lebih kuat. "Kalau cobek biasa harganya memang lebih murah Rp7.500. tapi gampang pecah. "Kalau nguleknya terlalu keras cobeknya bisa ambyar, beda dengan cobek dari batu, kata seorang pembeli," katanya.
Bicara tentang penghasilan yang diperoleh dari jual peralatan dapur, Soekarman mengaku pernah sehari laku lima biji, artinya beban di pundaknya berkurang. Tapi terkadang tidak laku sama sekali. Ia menyadari cobek bukan kebutuhan primer.
Barang dagangannya didatangkan oleh seorang juragan dari Kebumen, dipusatkan di Ciledug Jakarta Barat. Selain dirinya, ada 11 pedagang cobek yang senasib.
Sebelum menjadi pedagang alat dapur, Soekarman pernah bekerja sebagai tukang kebun di sebuah rumah pegawai pajak di Jakarta Pusat. Pekerjaan itu ditinggalkan karena upahnya murah. "Enyong dadi bakul cowek gara-garane melu nguwong (saya jadi bakul cobek gara-gara ikut orang)," katanya.
Karman tidak khawatir dengan perkembangan teknologi. Meski saat ini bumbunya masakan tidak perlu diuleg, cukup diblender, hanya dalam hitungan detik sudah jadi. Tidak sampai berkeringat.
"Tapi ibu ibu rumah tangga masih banyak yang memakai alat dapur peninggalan nenek moyang. Buktinya dagangannya masih tetap laku," kata Soekarman.
Advertisement