Derik #2: Demokrasi Estetik
Oleh :Yudha Prihantanto
Melimpahnya perhelatan seni rupa dalam tiga tahun terahir dapat ditemui di berbagai media; nyata sampai maya. Di instragam yang menggunakan tanda tagar (#pameransenirupa) mencapai 31,1 ribu. Masifnya peristiwa kesenirupaan kini tidak hanya dapat dijumpai di kota besar. Semangat pergerakan memasyarakatkan kesenirupaan yang telah sampai di daerah-daerah tidak lagi sebuah harapan semu. Pasuruan, yang notabenenya sebagai kota kecil karena memiliki empat kecamatan di kota, dan dua puluh empat kecamatan di kabupaten, telah menyelenggarakan sekurangnya 35 kali perhelatan pameran seni rupa sepanjang tahun 2023. Tiap pameran yang diselenggarakan berjalan selama satu pekan. Baik sekala kecil yang diikuti beberapa orang maupun oleh komunitas.
Di awal 2024 ini, pergerakan seni rupa kembali digulirkan oleh komunitas Pawitra (Bangil) berkolaborasi dengan komunitas Kuas Patis (Grati). Dua kutub kelompok dari Kabupaten Pasuruan, yakni wilayah timur dan barat dari Kota Pasuruan tersebut telah menggelar pameran seni rupa dengan nama “Derik #2”. Perhelatan yang sengaja diadakan tiap dua tahun tersebut bertujuan untuk menguatkan pada proses pencapaian karya seniman. Pameran yang digelar mulai 3 sampai 10 Februari 2024 mengusung tema “cerita” sebagai kompetisi dan interpretasi pengalaman artistik dari 32 seniman yang terlibat dari berbagai latar belakang. Mulai dari guru, mahasiswa, pedagang dan seniman murni.
Perhelatan seni rupa yang mendesain konsep kompetisi secara dua tahun sekali tersebut memang tidak seperti umumnya yang sering diselenggarakan tiap tahun. Secara tampilan penyelenggaraan menggambarkan seni rupa kontemporer, tidak konvensional. Pengunjung disuguhkan sesuatu yang mengejutkan sebagai gate (gerbang) dari karya instalasi berbahan plastik penuh warna graffiti membentuk lorong menuju ruang pamer. Hamparan karpet memenuhi lantai ruang pamer. Model papan panel setinggi 2m tanpa kaki penyangga membuat tampilan lebih elegan. Ukuran karya seni rupa dua dimensi yang dinamis, baragam corak, gaya, dan jenis, menambah menu visual lebih variatif. Disediakan juga kamar tertutup dan terbuka khusus untuk karya seni tiga dimensi. Tampak juga bentangan pedestal untuk karya seni tiga dimensi yang dibuat sesuai kebutuhan karya.
Taburan karya seni rupa sangat beragam mulai dari drawing monokrom karya Garis Edelweis. Lukisan pop art yang ikonik, di antaranya; karya Medik, Agung, Nofi – terpajang cemerlang. Lukisan impress yang ekspresif dan figuratifnya Badrie, juga lukisan bergaya naif milik Amelia Agustin, dan figuratif distorsif karya Wanda, juga goresan warna abstrak karya Akbar warisqia tampak memecahkan di sudut papan pajang. Kolase dengan bahan sarung karya Shobari yang berjudul ‘Petualangan Sarung’, dan lukisan mix media karya Toni Ja’far sarat makna rasa lokalitas. Karya kolektif media baru yang memadukan tehnologi tata cahaya, audio, dan visual dari kelompok Bajra memecah kegelapan di ruang khusus yang disediakan. Karya media interaktif yang juga memadukan tehnologi audio, tata cahaya, dan visual sangat mempesona.
Karya instalasi jenis filled-space tersebut dibuat oleh kelompok Prewangan Studio yang berjudul ‘Grumbul Pangkalan Dimar’. Menggunakan elemen bunyi yang dihasilkan dari alat musik bonang dan gong. Saat dipukul dapat menggerakkan komponen yang ditata menyerupai barong. Sedangkan karya instalasi jenis site-spesific milik Figo menghadirkan bongkaran pasir di dalam ruang pamer. Dalam bongkaran pasir tersebut terdapat foto dirinya beraneka ekspresi. Tampak juga berbagai bangkai serangga yang terbungkus dalam tiap klip plastik yang digantung. Selain itu, karya instalasi eksperimen tehnologi bernuansa spiritual karya Iwan yang berjudul ‘kultus’ dengan puluhan gelas bening berisi air berjajar di hamparan plat besi yang menghasilkan getaran. Pada sudut ruang pamer hadir juga huruf-huruf Arab berantakan terbuat dari besi membentuk pola piramida terbalik yang berputar menggunakan bantuan tenaga listrik karya Ghufron. Walhasil bentangan karya pada ruang pamer derik #2 tampil mempesona. Sebagai demokrasi estetik.
Demokrasi adalah kebebasan berbeda gaya atau apapun yang berkaitan. Pada konteks demokrasi inilah kita dihadapkan paradoksitas yang tidak hanya melulu pada kebebasan, namun juga dibenturkan pada toleransi, kesetaraan, keadilan, hak dan tanggung jawab. Sedangkan estetik adalah sesuatu yang mengandung nilai keindahan. Keindahan yang dimaksud bersumber dari banyak hal yang bersifat filosofis, tidak hanya artistik yang bersifat tampilan. Estetika dalam hal ini merujuk pada karya seni dengan segala tampilan, dimana peristiwa kesenirupaan tersebut berlangsung. Karenannya, penghakiman terhadap karya seni tidak bisa ditentukan seketika begitu seseorang telah melihat karya seni tersebut. Pun juga tentang kualitas karya yang tidak serta merta mendapat penilaian. Karena itulah demokrasi estetik belum dianggap tuntas bila tidak melibatkan selera sebagai titik paling pangkal dalam relasi antara karya seni dan manusia (seniman) sebagai subjek dari karya seni tersebut. Adalah keniscayaan demokrasi visual menjadi cita rasa estetik atau nilai keindahan berdasarkan selera subjektivitas. Agar lebih mudah memahami, sebagaimana tergambar pada pola berikut:
Pengembaraan artistik tiap seniman itulah yang kemudian dijadikan suatu ‘cerita’ sebagai tema pada pameran seni rupa ‘derik #2’. Artinya, pada pameran tersebut kemenarikan tema tidak mengikat pada satu isu tentang sesuatu. Melainkan menitik beratkan pada capaian karya senimannya masing-masing. Maka tidak heran jika penempatan segala sesuatu pada pameran tersebut cenderung pada rasa kekinian. Jauh dari intervensi terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan konsep terselenggaranya perhelatan seni rupa tersebut. Tidak hanya pemilihan seniman yang dilakukan sangat selektif, pihak sponsor yang mensupport kegiatan tersebut pun tidak ada celah untuk mendikte kerja kolektif yang dipersiapkan dua tahun.
Namun pola kerja kolektif khususnya dalam penyelenggaraan pameran seni juga tidak jarang yang terpeleset pada wilayah managemen kegiatan. Kecenderungan seniman fokus pada penciptaan karyanya sehingga mengabaikan bagian yang paling penting ketika dalam sebuah perhelatan. Diantara faktor managemen kegiatan yang sangat perlu diperhatikan adalah publikasi. Pada pameran derik #2 kali ini faktor publikasi yang bersifat informasi dalam rangka memenuhi kebutuhan publik sedikit terabaikan. Saat di temukan flayer di sosmed yang mengumumkan open call bagi masyarakat luas untuk mengikuti perhelatan dua tahunan ini, terlewati dengan tidak adanya tindak lanjut pengumuman lolos seleksi dan sebagainya. Sementara publikasi yang diluncurkan sudah tersebar luas di jagat pengguna sosmed. Selain itu, pendokumentasian baik secara tulisan maupun pemberitaan yang meliput kegiatan tersebut juga kurang masif. Juga seperti katalog karya, baik cetak maupun e-katalog juga tidak tampak beredar di permukaan masyarakat seni. Dimana katalog merupakan output jejak yang kuat untuk mengabadikan sebuah pameran seni. Selain banyak manfaat lain yang diperoleh dari katalog karya.
Mengingat pentingnya sosial media hari ini merupakan corong yang paling ampuh untuk menyuarakan. Dimana seni hari ini tidak hanya soal otoritas ke dalam rimba tafsir terhadap penciptaan karya. Seni rupa tidak hanya relevan terhadap susuatu kebendaan yang kehadirannya hanya pada ruang-ruang husus. Melainkan seni rupa juga melebur pada makanan sehari-hari, gaya bicara, gaya berpakaian, gaya hidup, tema obrolan, sains, tehnologi, kebaruan-kebaruan diberbagai media. Disinilah, perhelatan seni rupa adalah keberanian mengolah ragam disiplin. Bertujuan untuk memenuhi kebutuhan publik.
Terlepas dari keterbatasan, yang paling penting adalah bagaimana perhelatan keseni rupaan telah berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan. Bentuk kongkret di antaranya adalah sebagai sarana komunikasi, pengetahuan, penyadaran, pembelajaran dari pelaku seni itu sendiri terhadap apa saja kepada masyarakat luas dalam rangka melestarikan kesenian dan kebudayaan suatu daerah.
*Yudha Prihantanto: perupa yang tinggal di Pasuruan.
Advertisement