Derek Tak Memenuhi Janji
Senin malam 20 Mei kami berjumpa di sebuah kafe di dekat Sarinah. Derek Manangka, Ketua Seknas Jokowi M. Yamin dan saya berbincang macam-macam seperti biasa, termasuk tentang pertemuan empat anak mantan presiden dalam buka puasa yang diadakan ICMI.
Derek, yang tak pernah lupa memanfaatkan hidung jurnalistiknya, segera mengendus nilai-berita di sana dan menulis tentang isu itu di kolom regulernya di Facebook yang menarik semakin banyak pembaca, "Catatan Tengah".
Pulang dari pertemuan itu, saya menawari Derek pulang bareng karena arah kami sama. Ia tinggal di Jagakarsa; maka ia turun di sekitar Pasar Minggu. Kami janji ketemu lagi Jumat malam, 25 Mei.
Sepuluh menit sebelum waktu yang dijanjikan, saya tiba di kafe itu, dan heran karena Derek tidak ada. Ia yang berdisiplin tinggi biasanya datang sebelum saat yang dijanjikan.
Yamin datang, dan ikut heran pada "indisipliner" Derek. Yamin kemudian memberitahu isi pesan WA yang baru saja diterimanya. "Oh, Bang Derek rupanya flu berat... Kayaknya nggak bisa datang."
Saya telepon nomornya. Yang mengangkat adalah Pingkan, anaknya. Ia minta maaf ayahnya tidak bisa memenuhi janji ketemu, karena pukul 1 siang tadi dibawa ke rumah sakit. Dadanya sesak, sakit jantungnya agak kambuh, kata Pingkan.
Saya bilang, pertemuan kami tidak penting. Yang penting kondisi Bang Derek harus dijaga. Menurut Pingkan, kondisi ayahnya membaik; dan masih istirahat. Pingkan berulang-ulang mohon doa untuk kesembuhan ayahnya.
Sepanjang perjalanan pulang dari Sarinah, saya memikirkan Derek Manangka, sahabat senior yang saya sudah lupa kapan kenalnya. Yang saya ingat cuma satu: kami langsung akrab saja, dan kemudian saling meledek karena masing-masing merasa lebih hebat dalam permainan catur.
Derek adalah pecatur yang tangguh. Karena saya tidak pernah mau ikhlas mengakui keunggulannya, saya selalu melontarkan tuduhan standar: Derek sering menang karena sengaja berlama-lama memikirkan langkah baru, sehingga saya kesal. Kesimpulan: saya kalah karena jengkel, bukan karena dia lebih unggul. Dia hanya terkekeh-kekeh menanggapi tuduhan palsu itu.
Ia menjalani kewartawanan selama empat dasawarsa. Ia berpindah-pindah dari Media Indonesia, RCTI, sebuah koran berbahasa Inggris di Bali, dll. Masa kerja yang panjang membuatnya menginternalisasi nilai dan prinsip2 jurnalistik dengan kukuh.
Tapi nasionalismenya terkadang mengaburkan jurnalismenya.
Dengan segenap ikhtiarnya untuk berpegang teguh pada kaidah jurnalistik, Derek cenderung over sensitif jika urusannya menyangkut apa yang dia anggap kepentingan bangsa; terutama dalam penghadapannya dengan kekuatan luar (termasuk penulis atau wartawan asing). Ia akan berkobar -- apinya sering ikut membakar akurasinya tentang fakta dan nama.
Tadi pagi saya mendapat kabar: Derek Manangka meninggal dunia, sekitar pukul 10.30 di sebuah rumah sakit kecil di dekat rumahnya di Jagakarsa.
Betapa rentannya hidup -- how fragile we are (Sting, "Fragile"). Dan betapa unpredictable.
Masih ada satu urusan yang perlu diselesaikan Derek bersama saya. Tapi kami akan bereskan nanti saja. Saya tidak mau mengganggu ketenteramannya saat ini.
Advertisement