Depok jadi Kota dengan Toleransi Paling Rendah, Ini Sebabnya
Setara Insitut merilis riset tentang kota toleran di Indonesia. Dalam riset yang berlangsung di tahun 2021 itu, Depok menempati urutan paling buncit sebagai kota toleran.
Indeks Toleransi Depok Rendah
Kota Depok memperoleh skor 3,577, di bawah Pariaman, Cilegon, dan Banda Aceh. Depok turun dua peringkat dibandingkan pemeringkatan tahun sebelumnya, menurut riset Setara Institute.
Berkebalikan dari Depok, Singkawang terpilih menjadi kota paling toleran berdasarkan pemeringkatan yang sama.
Di bawah Singkawang, ada Manado yang menempati urutan kedua (6,4), Salatiga (6,367), Kupang (6,337), Tomohon (6,133), Magelang (6,02), Ambon (5,9), Bekasi (5,83), Surakarta (5,783), dan Kediri (5,733), dikutip dari kompas.com, Sabtu 30 Maret 2022.
Skor diperoleh dari empat variabel dan delapan indikator dalam studi ini, yaitu: - regulasi pemerintah kota (RPJMD/produk hukum lain (10 persen) dan kebijakan diskriminatif (20 persen) - tindakan pemerintah (pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi (10 persen) dan tindakan nyata terkait peristiwa itu (15 persen) - regulasi sosial (peristiwa intoleransi (20 persen) dan dinamika masyarakat sipil terkait peristiwa intoleransi (10 persen) - demografi agama (heterogenitas keagamaan penduduk (5 persen) dan inklusi sosial-keagamaan (10 persen).
Sebab Toleransi Depok Rendah
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani menjelaskan penyebab Depok menjadi kota dengan indeks toleransi terendah.
"Problem utama di Depok dua hal yang sebenarnya bobotnya tinggi. Pertama, adanya produk hukum yang diskriminatif, yang mana eksisting dan efektif dijalankan pemerintah," kata Ismail kepada wartawan di Jakarta, Rabu 30 Maret 2022.
Produk hukum ini memiliki bobot nilai 10 persen dari delapan indikator indeks kota toleran versi Setara Institute.
Di samping produk hukum, kepemimpinan politik di Depok dianggap tidak mempromosikan toleransi. Padahal, kebijakan diskriminatif dan peristiwa intoleransi sama-sama memiliki bobot 20 persen dalam penilaian.
"Jadi bisa dibayangkan, atas dasar perintah walikota, tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba sebuah masjid disegel," kata Ismail.
Diketahui, pada Oktober 2021, Walikota Depok Mohammad Idris ramai dikritik karena mendadak menyegel ulang Masjid Al-Hidayah milik kelompok Ahmadiyah di Sawangan.
Penyegelan tersebut disertai intimidasi, ancaman, serta ujaran-ujaran kebencian dari sekelompok massa yang datang bersama Satpol PP Kota Depok.
"Lawan dari pemimpin yang toleran adalah pemimpin yang intoleran, dan itu terjadi di Depok. Kita bisa melihat bagaimana tidak terbukanya kepala daerah Depok terhadap kemajemukan," imbuhnya.
Menurutnya, dari empat variabel yang ada, elemen masyarakat sipil di Depok menorehkan skor cukup baik, tetapi tak cukup untuk menambal skor buruk dalam hal produk hukum daerah dan kepemimpinan politik.
Akibatnya, Depok dinilai amat terdominasi oleh salah satu agama dalam berbagai ruang-ruang publik, termasuk hingga sektor properti.
"Kalau teman-teman masuk ke Depok, bagaimana dalam 20 tahun berjalan, Depok mengalami satu proses penyeragaman yang serius atas nama agama dan moralitas," tandasnya.