Dentuman Misterius, Corona, Â dan Gara-gara (2-Habis)
Oleh: Anwar Hudijono
Apakah situasi sekarang ini senafas fenomena babak gara-gara dalam pewayangan? Tabek, saya tidak tahu. Saya tidak memiliki syarat ilmiah untuk mengatakan. Saya juga tidak memiliki bashirah (mata batin) untuk melihat yang tidak bisa dijawab secara akal (ilmiah).
Memang mestinya peristiwa alam - sebagai ayat-ayat Allah itu- harus ditangkap dengan bashirah, di samping dengan sains, ilmiah. Apalagi ketika sains sudah tidak bisa menjawab. Kalau toh menjawab belum tentu jujur. Sekadar jaim saja. Tapi masalahnya, masih adakah orang yang memiliki bashirah yang tinggi seperti yang dimiliki para waliyullah?
Di akhir jaman, ada arus sangat kuat yang membuat mata batin kabur, bahkan akhirnya buta sama sekali. Apa itu? Arus materialisme, hedonisme, liberalisme. Arus-arus ini memanjakan mata eksternal (lahir). Menghayutkan manusia kepada kenikmatan duniawi. Memanjakan nafsu syahwat.
Mata batin itu seperti cermin. Sementara gemerlap kenikmatan dunia itu seperti jelaga. Jika setiap saat cermin ditempeli jelaga. Pasti semakin lama cermin itu akan semakin buram, akan menumpuk lengket menutup cermin itu. Sehingga pada akhirnya tidak jelas cermin atau lempengan arang.
“Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (Quran 7:179).
Para aulia memberikan manhaj (jalan) mengasah bashirah adalah dengan banyak menyepi (tahanut) dalam arti jauh dari kenikmatan dunia. Hingar bingar hidup. Kegaduhan komunikasi. Banyak laku tirakat atau tarekat. Berani berjaga di malam hari untuk beribadah, dan berani lapar untuk berpuasa.
Manhaj ini disimbolkan di Quran Surah Kahfi (yang disebut surah akhir jaman) yaitu pada sosok Hidlir. Berada di pertemuan dua samudera. Sendirian. Penuh kesabaran. Tidak tertipu oleh casing, branding media, pencitraan, atau hal-hal yang ada dipermukaan. Di akhir jaman, sosok ini sangat sulit dicari dan langka sebagaimana disimbolkan betapa sulitnya Musa menemukan dia.
Kalau dalam khazanah pewayangan, pemilik bashirah itu para resi yang tinggal di pertapaan yang terletak di lereng gunung, dikelilingi hutan. Seperti Resi Abyasa di Bumi Retawu, Resi Swandagni di pertapan Jatisarana.
Justru dalam kesendirian dan kesunyian mereka mampu melihat persoalan secara hakiki. Ibarat epidemiolog, bukan sekadar melihat fenomena virus tapi mampu melihat ruh virus dan menangkapnya.
Sosok demikian juga sulit dicari dan langka. Dalam pewayangan disimbolkan, jika satria mau sowan mereka untuk mendapat pencerahan, harus melewati hutan belantara. Mesti mendapat rintangan atau bahaya Raksasa Cakil, lengkap Togog, Mbilung, Buta Terong, Buto Galiyuk, Buto Rambutgeni dan Kla Pragalbo. Kadang juga dirintangi bangsa jin setan, drubiksa.
Bukan seperti Resi Bisma dan Resi Drona. Mereka memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mereka memilih tinggal di lingkaran istana Hastina yang penuh dengan kenikmatan, kegemerlapan duniawi. Lambat laun bashirah mereka tertutup.
Resi Drona menjadi mahaguru yang kehilangan jati-dirinya karena batinnya tertutup oleh kecintaannya secara buta terhadap Aswatama, anaknya. “Engkau bukan guru, tetapi hanya pengajar. Karena engkau telah menukar ilmumu untuk mendapatkan imbalan. Bahkan engkau telah menyesatkan murid-muridmu dengan melawan Drupada sebagai bayaran pengajaranmu,” kata Kresna pada Drona di Palagan Kurusetra.
“Hatimu gelap karena engkau hanya memikirkan kepentingan dinastimu. Engkau tidak pernah mencoba berbuat untuk seluruh umat manusia. Engkau tidak pantas disebut maharesi,” kata Kresna kepada Bisma. Kepentingan dinasti itu kalau di jaman now ya termasuk partai, faksinya.
Syarat untuk memiliki bashirah yang kuat adalah ketika menempatkan dirinya untuk kemanfaatan umat manusia. “Khairun-nas anfauhum lin-nas.” (Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk umat manusia).
Menuhankan Sains
Di akhir jaman seperti saat ini, peran mata eksternal semakin kuat. Ditopang oleh sains. Inilah yang memantik pemilik sains menjadi sombong. Sampai-sampai sains mengklaim menciptaan, dan menafikan peran Tuhan.
“Kita harus berterima kasih kepada sains karena telah menemukan vaksin untuk mengatasi pandemik Covid-19 ini,” kata Bill Gates, orang kaya global. Dia sama sekali tidak menyebut jika Tuhan mengijinkan. Dia memastikan vaksin yang menyelesaikan pandemic meski hasilnya juga belum terlihat. Bahkan virusnya terus bermutasi seolah “ngece” sains.
“Jika sains diperbolehkan mengklaim penciptaan, lantas apa yang tersisa dari Tuhan?” tanya seorang pastor dalam film Angels And Demons.
Memang di akhir jaman, manusia akan cenderung menjadikan sains segala-galanya. Artificial intelligent atau kecerdasan tiruan dijadikan segalanya sehingga menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan, menafikan faktor ilyahiyah.
Kecenderungan ini sudah diketahui oleh Allah. Untuk itulah Allah menantang manusia untuk menandinginginya dengan sains yang mereka tuhankan.
“Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Quran 18:109).
Pagebluk
Kembali ke pertanyaan apakah saat ini kehidupan umat manusia, khususnya di negara kita pada tahap gara-gara? Jawaban saya: rabbi a’lam (Tuhan lebih tahu). Saya tidak mau jadi buzzer yang sok tahu, sok pintar, yang mengumpat, membully, untuk mendapat bayaran. Dan akan menjadi penghuni neraka hutomah.
Cuma, suara dentuman ada faktanya. Terdengar di masyarakat luas. Gempa bumi terus-terusan, terkadang sehari lebih sekali kaya dudu sak baene dewe (bukan sewajarnya). Gunung Raung, Semeru, Merapi, Sinabung dan lain-lain seperti berlomba-lomba erupsi. Kalau sang dalang melukiskan dengan narasi: wukir pethite ngakak tutuke Sang Anantobogo. Nyemburne geni gedene sa klopo-klopo.
Banjir bah dan tanah longsor jadi kejadian hampir setiap hari. Air laut menerjang daratan (rob). Bencana alam berangkai-rangkai seperti tidak pernah mau berhenti.
Tangis dan doa para tokoh spiritual bersama jeritan rakyat yang dilanda duka nestapa, kata ki dalang, seolah hendak menjebol lawang swelamatakangkep (pintu langit). Membuat ngeri para bidadara-bidadari dan hapsari-hapsari. Mereka lari lintang pukang minta pengayoman Sang Hwang Lodropati.
Ada pula peristiwa mirip isinya gara-gara yaitu pagebluk. Pandemik Covid-19 ini di sebagian masyarakat Jawa ada yang menyebutnya pagebluk. Bahkan banyak juga media modern yang menyebut pagebluk Covid-19.
Virus itu ada meski tidak kelihatan. Faktanya ada. Sudah lebih 1,1 juta yang positif terinfeksi. Lebih 30.000 orang meninggal. Tapi lebih 900.000 sembuh. Segala upaya pemerintah untuk mengatasi belum terlihat berhasil gemilang. Masih ibarat menyulam kain yang rapuh. Bagaikan menuangkan air ke cawan yang terluka.
Memang sebagian peristiwa itu bisa dijawab secara sains. Misalnya, gempa bumi akan dijawab karena terletak di lempengan-lempengan bumi. Indonesia ini seperti lantai batako. Jadi kalau satu batako goyah akan merembet ke yang lain. Tapi ketika ditanya mengapa gempa terjadi sekarang, mengapa besarnya segitu, sains belum mampu menjawabnya.
Gunung api yang berlomba meletus, secara sains akan dijawab karena negara ini berada di cincin api. Tapi mengapa mesti sekarang? Dan mengapa mesti bersahut-sahutan seperti festival batuk? Entahlah jawabannya.
Apakah fenomena sekarang ini sebangun dengan fenomena babak gara-gara dalam pewayangan? Ampun, saya tidak tahu. Sekali lagi sebagai orang awam yang dungu, saya tidak paham.
Pujangga Ronggowarsito
Cuma dalam kazanah budaya Jawa disebutkan bahwa fenomena gara-gara di alam nyata itu sudah suratan alam. Sebuah babak yang harus terjadi pada rentang sejarah kehidupan. Hal itu sudah terjadi di masa lalu. Sementara sejarah kehidupan itu cakra manggilingan (bagaikan rodak berputar). Sejarah itu berulang. Hanya beda pelaku dan dramartuginya. Pernik-perniknya. Fitur-fiturnya.
Seperti Pujangga Agung Tanah Jawa Ronggowarsito yang menulis Serat Kalatidha (Jaman gelap) di abad-19. Tanda jaman gelap itu derajat negara merosot di titik nadir (mangkya darajatin praja. Kawuryan wus sunya ruri). Tatanan pergaulan, komunikasi sosial kacau balau. (Rurah pangrehing ukara karena tanpa palupi). Yang terjadi bukan era informasi tapi era disinformasi, misinformasi dan malinformasi.
Jaman gelap itu dunia dijubeli kegilaan. Maka juga disebut jaman edan. Jaman ketika manusia menjadi amat sangat serakah bin rakus. Manusia menjadi lupa dan lengah. Tata kehidupan dijungkirbalikkan. Yang jujur dianggap dusta, pembohong dianggap jujur. Pengkhianat diberi amanat. Yang amanat dikriminalisasi. Bersuka ria di tengah manusia lain berduka. Berfoya-foya disasikan manusia yang kecingkrangan.
Yang berkuasa lupa sehingga bersikap melik nggendong lali (menganggap kekuasaan itu miliknya bukan titipan yang harus diemban). Yang kaya lupa bahwa di dalam hartanya itu ada hak fakir miskin sehingga menjadi manusia kikir bin bakhil bin koret. Bertindak bal geduwal bal embuh bantal embuh terpal diuntal.
Mereka sangat rakus materi. Ibaratnya seandainya sudah diberi emas satu sungai, mereka akan meminta dua sungai. Seandainya sudah diberi dua sungai penuh emas, mereka akan meminta sepuluh. Mereka baru berhenti ketika mulutnya sudah disumbat dengan tanah (mati).
Manusia lupa terhadap sangkan paraning dumadi (asal dirinya dan tempat kembalinya). Manusia lupa bahwa mati pasti menjemputnya kapan dan di mana saja tanpa manusia tahu. Manusia lupa bahwa ketika mati tak ada lagi orang yang sudi bersama lagi. Semua yang dicintai akan ditinggal. Sedirian di liang kubur seukuran badan dengan dibungkus kain kafan. Tubuh yang indah akan jadi santapan cacing tanah sehingga tinggal tersisa tulang belaka.
Harus Terjadi
Bagi Ronggowarsito bahwa jaman gelap itu memang harus terjadi. Meskipun penguasa dan pemerintahannya baik (retune ratu utama, patihe patih linuwih).
Entah di dalam pewayangan maupun dalam kehidupan nyata, gara-gara itu mesti ada akhirnya. Allah akan mereformasi bumi. Karena pada dasarnya Allah tidak ridha bumi ini dirusak, dijamah dan dirudapaksa. Allah tidak ridha cahaya rahmat-Nya ditutup dengan tangan-tangan kegelapan.
“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah akan tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (Quran 61:8).
Insya Allah, yang beruntung di tengah babak gara-gara adalah hanya mereka yang eling lan waspada. Rabbi a’lam. (Sidoarjo, 5 Februari 2021)
* Anwar Hudijono, Kolumnis tinggal di Sidoarjo.
Advertisement