Dengan Rp1,8 Triliun, Apa Saja Proyek Revitalisasi TIM?
Warga ibu kota patut berbesar hati. Pasalnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan resmi menggulirkan proyek revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini, Jakarta Pusat, Rabu 3 Juli lalu.
Tidak tanggung-tanggung, proyek senilai Rp1.8 triliun tersebut bertujuan menjadikan TIM sebagai pusat kebudayaan dunia.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana melakukan revitalisasi TIM dalam dua tahap yang akan selesai pada 2021.
Pada tahap pertama, PT Jakarta Propertindo (Jakpro) yang menjadi pengelola kawasan TIM, akan merevitalisasi bagian depan hingga tengah. Jakpro akan membangun sejumlah fasilitas baru, seperti Plaza Graha Bhakti Budaya, Masjid Amir Hamzah, hotel, pusat kuliner, galeri seni, gedung perpustakaan, dan pos pemadam kebakaran.
Sedangkan rencana pembangunan pada tahap dua, PT Jakpro akan membangun asrama seni budaya, arena teater, dan termasuk peningkatan fasilitas sarana dan prasarana gedung Planetarium dan Observatorium Jakarta.
"Karena planetarium merupakan bangunan cagar budaya, intinya upgrade fasilitas berupa revitalisasi bagian interior dan eksterior bangunan dengan mengikuti batasan-batasan yang diizinkan oleh Tim Sidang Pemugaran," kata Corporate Secretary PT Jakpro, Hani Sumarno.
Di lain kesempatan, Kepala Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) TIM, Imam Hadi Purnomo, menyebutkan penentuan desain bangunan melibatkan tim ahli yang akan duduk bersama Pemprov DKI Jakarta, PT Jakpro, dan para pemangku kepentingan.
"Desainnya melibatkan komunitas astronomi serta tim ahli cagar budaya karena Planetarium dan Observatorium Jakarta merupakan gedung bersejarah. Namanya revitalisasi, tentu ada perbaikan dalam segala hal baik sarana maupun prasarana," jelas Imam.
Rencana revitalisasi TIM terutama kawasan Planetarium dan Observatorium Jakarta mendapat sambutan positif di tengah berbagai permasalahan yang mendera, salah satunya soal pengadaan suku cadang dan perawatan alat-alat.
Kepala Satuan Pelaksana Teknik Pertunjukan dan Publikasi Planetarium dan Observatorium Jakarta, Eko Wahyu Wibowo, menjelaskan sejak tahun lalu perwakilan Carl Zeiss Jerman yang ada di Indonesia secara resmi menyatakan tidak akan menjual dan melakukan perawatan suku cadang kepada Planetarium dan Observatorium Jakarta, Cikini.
“Sejak itu, sedapat mungkin kami berusaha merawat dan membetulkan sendiri setiap ada kerusakan. Misalnya kerusakan pada dimmer dan DSM XYZ untuk mengatur simulasi tata surya dan power supply,” kata dia.
Dimmer adalah alat pengatur lampu di bagian kubah, sedangkan DSM atau Digital Servo Module yaitu alat pengatur pergerakan proyektor untuk simulasi bintang dan planet. Kedua perangkat inilah yang membutuhkan perawatan menyeluruh namun sejauh ini hanya diperbaiki secara swadaya.
“Imbas kurangnya perawatan perangkat adalah kami hanya bisa melakukan dua kali pertunjukan dalam sehari dan itu sering menjadi keluhan dari masyarakat. Padahal dulu dalam sehari bisa sampai tujuh kali pertunjukan. Tentu kalau tidak dirawat sebagaimana mestinya, lama-lama bisa rusak permanen,” tambah dia.
Selama ini, pihaknya berusaha menjalin komunikasi dengan perusahaan teknologi Carl Zeiss agar permasalahan perawatan suku cadang menemukan titik terang.
“Perwakilan Carl Zeiss Asia Tenggara yang berpusat di Kuala Lumpur, Malaysia, sudah datang ke Jakarta. Kami baru membahas kesulitan-kesulitan yang dihadapi selama ini, namun belum pada pencarian solusi. Tapi mereka berusaha akan membantu,” ujarnya.
Masalah bermula pada 2013, ketika PT Bunga Lestari bekerja sama dengan Planetarium dan Observatorium Jakarta melakukan sistem pemutakhiran digitalisasi alat teknik pertunjukan bernama Velvet.
Namun, hingga setahun berselang sistem tersebut belum juga berfungsi sehingga Pemprov DKI Jakarta tidak bersedia melakukan pembayaran. Sengketa tersebut berujung pada penghentian pelayanan perawatan dan penyediaan suku cadang oleh pihak Carl Zeiss.
Hingga saat ini, unit pengelola PKJ TIM masih menanti penyelesaian proses hukum antara pihak penyedia suku cadang Carl Zeiss dengan PT Bunga Lestari.
Kepala Sub Bagian Tata Usaha Unit Pengelola TIM, Verony Sembiring, menjelaskan sengketa perdata antara Carl Zeiss dan PT Bunga Lestari turut memengaruhi pengambilan keputusan mengenai pengelolaan planetarium berkaitan dengan rencana revitalisasi oleh Pemprov DKI Jakarta.
"Kami masih melakukan komunikasi dengan pihak Carl Zeiss yang berpusat di Jerman. Namun, karena masih ada sengketa hukum antara Carl Zeiss dan pengelola, maka sejauh ini kami hanya bisa menunggu prosesnya selesai. Kalau tidak salah saat ini sudah dalam tahap kasasi," ujar dia.
Bila proses sengketa hukum kedua belah pihak selesai maka akan mempermudah proses penganggaran.
"Planetarium kan bukan unit mandiri jadi tidak bisa melakukan sendiri penganggaran suku cadang dan perawatan perangkat yang rusak. Kalau memang nanti masuk dalam anggaran Jakpro, ya berarti eksekusinya mengikuti penganggaran revitalisasi sehingga dapat diserap," katanya.
Terlepas dari rencana proyek revitalisasi dan peliknya permasalahan yang membelit planetarium, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, mengungkapkan betapa pentingnya peran Planetarium dan Observatorium Jakarta sebagai pusat edukasi sains yang menyenangkan bagi anak-anak.
"Dari sisi urgensinya, Planetarium Jakarta adalah planetarium pertama yang memiliki fungsi edukasi. Astronomi yang menjadi fokus edukasi di planetarium sangat potensial untuk mendorong anak-anak mencintai sains dan tidak menganggap sebagai hal yang sulit melainkan menyenangkan untuk dipelajari," kata dia.
Terkait dengan kondisi planetarium saat ini yang membutuhkan perawatan pada sistem perangkat pertunjukan, Thomas berharap, ada pemanfaatan dalam perkembangan teknologi multimedia sehingga fungsi edukasi sains bagi anak-anak tetap lestari.
"Revitalisasi planetarium pada era '90-an dulu tentu tergolong sebagai teknologi baru. Tapi saat ini mungkin ada hal-hal yang tidak bisa lagi di-support suku cadangnya. Alternatif yang perlu dilakukan adalah revitalisasi dengan menggunakan teknologi baru, seperti penggunaan multimedia. Mestinya sih tidak perlu mengganti seluruh sistemnya," kata dia.
Harapan Thomas seolah mewakili suara seluruh warga Jakarta, terutama anak-anak yang berharap masih dapat mengamati fenomena benda-benda di langit maha luas dengan sejuta misteri. (an/ar)