Dengan Jantung Buatan, Cornelis Lay Bukan Hanya Guru Besar
Wajah Cornelis Lay hari itu berseri-seri. Didampingi istri dan dua anaknya, ia menerima ucapan selamat dari 50 guru besar dan 500 undangan yang memadati Balai Senat Universitas Gadjah Mada (UGM).
Saat itu, Rabo (6/2/2019), memang hari istimewa baginya. Ia baru saja dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu politik di perguruan tinggi yang dikenal sebagai universitas kerakyatan. Sejak itu ia berhak menyandang gelar profesor.
Inilah capaian kepangkatan tertinggi bagi seorang akademisi. Menambah legitimasi prestasi akademik yang telah dicapai selama ini. Menyempurnakan capaiannya sebagai ilmuwan politik.
Conny --demikian ia biasa dipanggil-- tergolong istimewa. Dalam segala hal. Para tokoh yang hadir dalam pengukuhan guru besarnya jadi bukti. Ia dihormati tidak hanya oleh sesama akademisi. Juga para politisi dan pengelola negeri ini.
Sejumlah menteri hadir. Mulai dari Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang temannya seangkatan dan sesama akademisi sampai dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Balai senat UGM penuh sesak para koleganya.
Ia berpidato di depan puluhan guru besar. Baik yang bertoga maupun berkostum biasa. Tidak hanya dari UGM yang dikenal sebagai universitas perjuangan. Tapi dari universitas lainnya. Juga para praktisi politik dari berbagai lapisan.
Beberapa kali saya mengikuti pengukuhan guru besar. Di tempat yang sama. Balai senat UGM. Tapi pengukuhan guru besar Conny ini lain suasananya. Mereka tampak bergairah ingin mendengar apa yang akan disampaikannya.
Selama pidatonya berjudul Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan, beberapa kali applaus menggema. Conny seakan ingin menunjukkan siapa dirinya. Ilmuwan yang peduli terhadap keilmuwan dan ke-Indonesia-an.
Tak pelak, dalam pidato selama satu jam, sejumlah potret tarik-menarik intelektual dan kekuasaan ia gambarkan. Sebelum ia menyimpulkan perlunya jalan ketiga tentang intelektual yang tak alergi kekuasaan dengan visi kemanusiaan.
Perjuangan Conny dalam mencapai puncak jabatan akademik ini luar biasa. Mengharukan. Sebab, ia bisa mencapai posisi itu dengan "nyawa sambungan". Sejak awal 2015, ia hidup dengan detak jantung yang dipompa dengan mesin buatan.
Mesin jantung itu ditanam dalam tubuhnya oleh salah satu rumah sakit di Singapura. Namanya LVAD (Left Ventricular Assist Device). Mesin ini dihidupkan oleh baterei. Karena itu, ia selalu menenteng tas berisi baterei agar mesin jantungnya tetap berjalan.
"Kalau tidur, saya selalu terhubung dengan kabel ke colokan listrik. Baterai setiap saat juga harus dicharge seperti baterei pada umumnya," kata Conny suatu ketika. Ia pun menjalani kehidupan dengan jantung mesin ini penuh ikhlas.
Alat ini sebetulnya hanya bersifat sementara sebelum seseorang cangkok jantung. Di Indonesia, Conny adalah orang yang pertama menggunakan alat tersebut. Sampai kini baru dua orang Indonesia yang hidupnya disambung LVAD.
Dengan mesin jantung itu pula, Conny menyelesaikan program doktornya dua tahun lalu. Di universitas yang sama. Dalam keterbatasan kesehatan fisiknya, ia tak menyerah untuk terus berkiprah. Termasuk dalam menggapai prestasi akademik.
JERNIH DI DEKAT KEKUASAAN
Dalam kiprah akademik dan kekuasaan, Conny memang contoh ideal. Ia dekat dengan kekuasaan. Tapi tetap jernih dan tajam sebagai ilmuwan. Karya ilmiahnya terus mengalir meski dengan jantung mesin buatan.
Keterlibatan politiknya ia asah sejak mahasiswa. Ia seorang aktifis GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Namun, sangat dekat dengan para aktifis mahasiswa Islam.
Bahkan, ia kost di rumah kontrakan yang juga berfungsi sebagai Sekretariat Koordinator Komisariat HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) UGM. Organisasi kemahasiswaan yang selalu berkontestasi secara tajam.
Ia bersahabat dengan Laurel Heydir, Ketua Korkom HMI UGM saat itu. Persahabatan dua aktifis mahasiswa berbeda ideologi hingga sekarang. Laurel yang dosen Universitas Sriwijaya dan aktifis LSM itu selalu hadir setiap tonggak penting dalam hidup Conny hingga kini.
Laurel mengakui bahwa dialog pertemanannya dengan Conny belum selesai hingga sekarang. Sebab, pertemanannya diikat oleh pertanyaan sama: bisakah seorang yang double minority --luar Jawa dan non Muslim-- memiliki kesempatan yang sama di negeri ini.
"Bagi saya, Conny adalah inspirasi yang terus menyambungkan pertemanan kami selama ini. Sebab, meski jawaban atas pertanyaan tersebut harus dijawab warga Indonesia, hal itu tetap menjadi dialog imajiner saya dengan Conny sampai kini," katanya.
Setelah lulus dan menjadi dosen di Fisipol UGM, pria kelahiran Kupang ini sangat dekat dengan elit PDIP. Ia menjadi pemikir utama dan pembuat pidato Megawati Soekarnoputri ketika putri Bung Karno itu menjadi presiden. Sampai sekarang, ia tetap menjadi rujukan pemikiran mereka.
Saat Joko Widodo yang sesama alumni UGM menjadi presiden RI, ia juga menjadi salah satu pemikirnya. Setiap kali Conny didengar pendapatnya sebelum Jokowi mengambil berbagai keputusan politik. Terkadang memberi masukan lewat menterinya.
Meski demikian, ia tak tergiur dengan jabatan-jabatan yang pernah ditawarkan. Conny tetap memilih menjadi orang kampus yang merdeka. Ia tetap mengarungi jalan hidup apa adanya dengan penuh kesederhanaan. Ilmuwan dekat dengan kekuasaan tanpa kemaruk jabatan.
Conny juga bisa disebut sebagai ilmuwan negarawan. Dalam sebuah percakapan di rumahnya, ia sedang memikirkan pentingnya keseimbangan antara partai politik berbasis Islam dengan yang berbasis kebangsaan.
Menurutnya, demi kepentingan negara, komposisi sekarang belum ideal. Partai berbasis kebangsaan masih terlalu dominan. Dalam pemikirannya, partai-partai politik berbasis Islam perlu digenjot perolehan suaranya.
Melalui Jalan Ketiga Peran Intelektual, tampaknya Conny tak hanya ingin melempar sebuah konsep baru. Tapi ia ingin merefleksikan apa yang telah ia lakukan. Menyebarkan konsep yang telah ia jalani selama ini.
Yakni menjadi intelektual yang tak hanya mencaci kekuasaan dalam mengekspresikan kemerdekaan berpikirnya. Tapi menjadi intelektual yang tetap bersapa dengan kekuasaan tanpa harus terkooptasi karenanya.
Jadi Jalan Ketiga itu sebenarnya sudah ada dalam diri Conny. (arif afandi)