Demonstrasi Ketololan
Perang adalah demonstrasi ketololan. Seorang filosof tak hendak mengejek seseorang yang berani. Keberanian untuk mati demi kekuasaan. Benarkah peperangan memang wujud dari nalar yang buntu? Nalar yang gagal diaktualisasikan dalam dialog, negosiasi dan diplomasi.
Tak selalu benar pendapat Aristoleres itu. Tapi, Socrates justru menujumkan suatu kekuatan bangsa adikuasa: melalui jalan perang.
Sang filosof hidup dalam kecamuk perang Peloponesia, tahun 431 – 404 SM. Ketika Athena mengalami peperangan paling besar dan terjadi dalam jangka waktu yang relatif lama dengan negara tetangganya, Sparta.
Dalam Perang Peloponesia, tak lepas dari keikutsertaan Socrates -- catatan penting bagi kehidupan dan pengadilan Socrates kemudian. Ia dianggap sebagai orang yang bersimpati terhadap Spartan dan karenanya dianggap sebagai penghianat Athena.
Simpati Socrates terhadap Sparta, seperti terjadi pada keluarga Athena, lebih bersifat Aristokrat. Cenderung menyukai hierarki kekuasaan kaku dan terbatas seperti yang dianut Sparta, daripada kebebasan berbicara dan kekuasaan yang demokratis -- seperti diterapkan Athena.
Dalam Republik, Socrates digambarkan dalam pernyataan "kebanyakan orang menganggap konstitusi Sparta adalah yang terbaik". Rezim tersebut dalam Republik selanjutnya ditandai sekelompok kecil elit yang memimpin warga kota secara ideal.
Tragedi Kemanusiaan
Perang merupakan tragedi kemanusiaan. Sejak Qabil dan Habil berusaha saling bunuh, menjadi naluri manusia untuk saling menguasai satu sama lain. Vladimir Putin menjadi pewarisnya, ketika Rusia mengadakan invasi ke Ukraina.
Lebih dari itu, pengalaman sewaktu kanak pun memberikan inspirasi tersendiri bagi suatu tindakan. Tindakan yang mencerminkan pola berbeda dengan masa kecil itu, terpoyeksikan dalam ayunan ke depan.
Memang, invasi Rusia ke Ukraina bukanlah deretan waktu yang bisa dihitung dari Perang Dingin. Tak ada lagi Komunisme versus Kapitalisme. Tapi, memori masa lalu jelas memperlihatkan kekhasan dari suatu pemahaman tentang perang.
Selama Perang Dunia II, beberapa minggu kemudian, seorang tentara Rusia memperoleh izin untuk kembali ke rumahnya. Segera setelah dia sampai di jalan dekat rumahnya, dia melihat sebuah truk militer yang diparkir penuh dengan mayat. Dari apa yang dia lihat, dia tahu bahwa musuh telah mengebom kotanya. Truk itu membawa lusinan mayat dan bersiap diangkut dan dikuburkan secara massal.
Prajurit itu berdiri di depan mayat yang bertumpuk untuk melihat kali terakhir. Lama dia memperhatikan, dia melihat sepatu di kaki seorang "mayat perempuan" menyerupai sepatu yang sebelumnya dia beli untuk istrinya.
Maka dia bergegas ke rumahnya untuk memeriksanya, tetapi dengan cepat mundur dan kembali ke truk lagi memeriksa mayatnya, dan akhirnya dia menemukan itu memang "mayat" istrinya.
Setelah tenang kembali dari syok, tentara Rusia itu tidak ingin Maria Ivanovna Shelomova, istrinya itu, dimakamkan secara massal. Sehingga dia meminta mayat istrinya ditarik dari truk untuk dikuburkan secara layak. Awalnya tidak diizinkan, tapi setelah berdebat akhirnya tentara itu dibolehkan membawa mayat istrinya pulang.
Selama pemindahan, di luar dugaan oleh tentara itu ditemukan bahwa mayat istrinya itu masih bernapas pelahan, meskipun sangat sulit. Oleh karenanya prajurit itu membawanya ke rumah sakit, tempat dia kemudian diberi bantuan yang diperlukan dan "hidup kembali."
Bertahun-tahun setelah kejadian dramatis ini, Maria Ivanovna Shelomova, sang istri, yang hampir dikubur hidup-hidup, melahirkan seorang anak laki-laki: Vladimir Putin pada 7 Oktober 1952.
Vladimir Putin, Presiden Rusia pengganti Boris Yeltsin, memiliki karisma yang kuat dengan pesona yang sangat disegani. Ia berkisah soal pribadinya kepada Hillary Clinton, ketika menjabat Menlu AS. Hillary kemudian mengungkap kisah eksklusif ini dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi.
Perang tak lagi bisa dianggap demonstrasi ketololan. Kompleksitas persoalan: keberlangsungan industri senjata, eksistensi suatu kekuasaan, pengukuhan status adikuasa, dan jeda bagi suatu diplomasi.
Unjuk rasa dan 'demonstrasi ketololan' akan terus berlangsung, tak hanya dalam bentuk fisik perang. Demikianlah yang kita tengah saksikan dalam isu-isu yang saling tumpang-tindih di media sosial.
Di media sosial, kita menyaksikan sederet peperangan. Perang yang justru tak memerlukan lagi persenjataan canggih, tapi lebih menyita perhatian. Perang sebagai permainan (game), berpadu dengan perang untuk menunjukkan kekuatan opini. Fakta dan imaji berpadu. Tumpang tindih. Membutuhkan perhatian lebih serius dari perang bersenjata. Lebih dari aksi terorisme.
Bukankah demikian. Bagaimana menurut Anda?
Advertisement