Demonstrasi Disebut Picu Klaster Covid, Warganet: Halo Pilkada
Unjuk rasa dua hari terakhir muncul di berbagai wilayah di Indonesia, menolak Omnibus Law yang baru disahkan. Sejumlah pakar khawatir demontrasi memicu klaster Covid-19. Warganet pun mengingatkan, jika pilkada juga melahirkan klaster baru.
Ketua Tim Mitigasi PB IDI, M Adib Khumaidi memperkirakan akan terjadi lonjakan masif pada kasus Covid-19, dalam satu atau dua minggu ke depan. Dilansir dari Antara, kerumunan berpotensi menyebarkan droplet lewat teriakan dan nyanyian peserta yang datang dari berbagai wilayah berbeda. "Jika terinfeksi mereka bisa menyebarkan virus saat kembali ke komunitasnya," katanya.
Sementara di media sosial, warganet mencuitkan berbagai pendapat tentang klaster unjuk rasa. Akun @gubuk_*** misalnya, mencuitkan jika unjuk rasa muncul agar pesangon orang tua para mahasiswa tak dipotong para majikan mereka. Bila orang tua mahasiswa di kampung panik anak mereka bakal tertular Covid-19, dia menyarankan, "Bales aja, ‘tenang Mak, ini untuk Abah biar dapat pesangon sesuai dengan yang sudah dia kasih ke kantong bos’," cuitnya.
Ada pula warganet yang membandingkan kerumunan yang lahir dari unjuk rasa Omnibus Law, dengan kerumunan akibat proses Pilkada Serentak. Dua-duanya menurutnya berpotensi melahirkan klaster Covid-19. Seperti yang dicuitkan akun @Dadang**. Ia mengunggah berita tentang Telegram Kapolri tentang antisipasi kepolisian atas unjuk rasa Omnibus Law bertanggal 2 Oktober 2020. Dalam telegram itu antara lain diperintahkan agar polisi tak mengeluarkan izin unjuk rasa, serta patroli siber membangun narasi untuk tidak setuju dengan unjuk rasa di tengah pandemi. "Demonstrasi dikhawatirkan sangat rentan menjadi klaster baru Covid-19. Bagaimana degan pilkada Pak?" cuitnya.
Seperti diberitakan, unjuk rasa menolak Omnibus Law terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Surabaya dan Malang. Polda Jawa Timur pun menangkap sedikitnya 600 peserta aksi yang disebut perusuh dan diduga bukan bagian dari para buruh atau mahasiswa.
Sementara di Malang, aksi buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Malang Melawan menilai, Omnibus Law membenarkan investasi perusak lingkungan, menarik kembali desentralisme dengan kewenangan di pemerintah pusat, pemerintah dianggap mempercepat krisis lingkungan, perbudakan modern melalui fleksibilitas tenaga kerja, menciptakan tenaga kerja murah melalui pendidikan, memiskinkan petani, nelayan, masyarakat adat serta kaum minoritas yang lainnya dan yang terakhir menciptakan kriminalisasi, represi dan kekerasan terhadap rakyat. (Ant/Twi)