Demokrasi Prosedural dan Substantif
Saya sudah lama sekali tak berbicara berbicara di depan forum. Baik sebagai profesional maupun sebagai mantan aktivis yang pernah sebentar menjadi pejabat publik.
Apalagi berbicara tentang politik. Sesuatu yang sudah saya tinggalkan lama. Setelah menekuni kembali pekerjaan profesional. Tepatnya sebagai profesional enterpreneur.
Tapi kali ini saya tidak bisa mengelak. Karena yang meminta adalah Pdt Emeritus Simon Filantropa. Teman lama yang sama-sama mengagumi dan mencintai Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid.
Ia meminta saya berbicara dalam forum Safari Pemilu 2024 yang diselenggarakan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sinode Jawa Timur. Bertempat di Gereja GKI Bromo Malang.
Temanya asyik: Menjadi Pemilih yang Berpikir Jernih dan Berhati Bersih.
Mestinya saya menjadi pembicara bersama Dr Faishal Aminudin. Wakil Dekan Fisip Universitas Barawijaya. Yang juga Sekretaris Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama.
Pakar politik lulusan Jerman.
Sayang, dia berhalangan. Demikian juga orang yang diminta menggantikannya. Akhirnya, Pdt Simon ikut menjadi pembicara. Dimoderatori pendeta muda Firmanda T Permana.
Pesertanya beragam. Mulai dari pemuda gereja, jamaah gereja dan para aktifis sosial. Juga sejumlah calon legislatif yang kebetulan juga jamaah GKI. Ada dari PDI Perjuangan, PSI, dan Partai Nasdem. Menarik!
Sebagai bekas orang media, saya diminta menjelaskan tentang media dan politik. Terutama bagaimana media massa dan media sosial berperan dalam mempengaruhi perilaku pemilih.
Yang menarik ketika dibuka tanya jawab. Ada yang bertanya tentang pilpres 2024. Misalnya ada yang menanyakan tentang pencalonan Gibran Rakabuming Raka dan kebijakan politik Presiden Jokowi.
Ah, ini pertanyaan yang sebetulnya ingin saya hindari untuk menjawab. Namun karena ada peserta lain yang menekankan soal pendidikan politik, maka terpaksa saya harus memberikan jawaban yang tak bahaya, he...he….
Saya sampaikan bahwa pencalonan Walikota Solo sebagai wakil Capres Prabowo Subianto itu adalah bagian dari perjalanan demokrasi di Indonesia. Dan itu juga seperti yang selalu disampaikan oleh Presiden.
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno. Terdiri dari kata "demos" yang berarti "rakyat" dan "kratos" yang berarti "kekuasaan" atau "pemerintahan". Jadi demokrasi secara harfiah berarti "pemerintahan rakyat" atau "kekuasaan rakyat".
Karena itu, sepanjang seseorang dikehendaki rakyat untuk memimpin pemerintahan, maka itulah bagian dari demokrasi. Prinsipnya setiap proses politik yang dilalui melalui proses partisipasi rakyat –baik langsung maupun perwakilan– disebut demokrasi.
Instrumen penting dalam pemerintahan rakyat adalah pemilu. Di situlah rakyat menentukan aspirasinya melalui pemberian suara terhadap calon pemimpin yang dianggap sesuai dengan kepentingannya. Pemilu adalah instrumen ketika rakyat menentukan pilihan.
Dari sisi itu, Presiden Jokowi adalah penganut paham demokrasi. Dia pun adalah produk dari demokrasi. Karena berkuasa berdasarkan pilihan rakyat. Mulai dari saat menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI sampai dengan Presiden RI sampai dua periode.
Tapi kalau mau dipetakan, barangkali kepala negara yang berhasil membangun infrastruktur Indonesia secara cepat itu bisa dimasukkan dalam penganut paham demokrasi prosedural. Pandangan yang mengedepankan proses ketimbang subtansi.
Sepanjang seseorang telah memenuhi persyaratan Undang-Undang untuk dicalonkan, ia punya hak. Siapa pun warga negara Indonesia –tanpa melihat latar belakang dan proses yang telah dilaluinya– sepanjang sesuai dengan UU ia berhak memilih dan dipilih.
Namun ada pandangan lain yang lebih menekankan subtansi demokrasi. Bagaimana proses tampilnya kepemimpinan nasional betul-betul melalui mekanisme rekrutmen politik yang panjang. Melewati pendidikan politik berjenjang.
Dan pilar penting dalam instrumen demokrasi untuk menjalankan seleksi dan pendidikan politik ini adalah partai politik. Lembaga yang swcara sadar dibentuk untuk menjadi “jembatan” antara hak rakyat untuk memilih dengan kekuasaan.
Saya kira, akar perdebatan yang mewarnai Pilpres 2024 ini adalah tarik menarik antara paham demokrasi prosedural dan demokrasi subtantif. Sesuatu perdebatan yang belakangan tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negeri penganut demokrasi yang sudah ratusan tahun melaluinya.
Siapa yang akan memenangkan persebatan ini dalam Pilpres 2024 mendatang? Saya tak berani meramalkannya. Tapi sebagai orang yang positifistik, saya masih percaya demokrasi Indonesia akan semakin matang ke depan. Tentu dengan berbagai tantangan yang terkadang mencemaskan.
Lantas siapa yang harus bertanggungjawab untuk mengawal kematangan demokrasi Indonesia? Pertama kali tentu partai-partai politik. Namun ternyata, belum semua parpol memiliki sistem yang matang untuk melahirkan para pemimpin politik yang handal.
Kedua kelompok-kelompok kepentingan yang punya sejarah menjaga dalam menjaga keberlangsungan NKRI. Di dalamnya termasuk kelompok-kelompok agama. Apalagi, kelompok agama telah memiliki organisasi yang mapan di Indonesia.
Saya bisa memahami jika presiden yang telah berhasil membawa lompatan kemajuan di negeri ini berkepentingan terhadap proses politik yang akan menentukan penerusnya. Apalagi kalau untuk itu juga ikut mematangkan demokrasi yang sedang berjalan di negeri kita.
Karena itu, banyak yang berharap bahwa Presiden Jokowi tak hanya mendorong demokrasi prosedural. Tetapi juga mendorong proses pematangan demokrasi yang subtantif. Demokrasi yang semakin memperkokoh peran parpol dalam menjalankan fungsi pendidikan politik, rekrutmen kepemimpinan, dan agregator kepentingan rakyat.
Pilpres 2024 akan menjadi indokator perjalanan demokrasi di Indonesia. Mari kita amati dan jalani dengan penuh seksama. Saya setuju dengan tema diskusi: Menjadi Pemilih yang Berpikir Jernih dan Berhati Bersih.
Advertisement