Demokrasi Pansos
Sudah banyak analisis tentang kegaduhan di Partai Demokrat. Terutama setelah sempalan partai yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ini menggelar Konggres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit.
Partai berlambang bintang Mercy ini sekarang punya kepengurusan ganda. Selain yang dipimpin putra Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, muncul Partai Demokrat yang dipimpin Jenderal (Purn) Moeldoko. Yang menjabat Kepala Staf Kepresidenan.
Pasti ini makin membuat Pak SBY sedih. Setelah kesedihan beruntun menimpa dirinya paska tidak lagi menjadi Presiden RI. Mulai dari gagal masuk koalisi pemerintahan, wafatnya sang istri Ibu Ani, dan kini tersandung memuluskan AHY ke tangga kekuasaan politik.
Seakan tuah Pak SBY yang berhasil menjadi Presiden RI selama dua periode telah menguap. Kalau pun kali ini gagal mempertahankan kepemimpinan AHY di Partai Demokrat, ia bisa juga dianggap kurang berhasil mengorbitkan anaknya dalam kepemimpinan nasional.
Tapi bagaimana partai yang pernah menjadi pemenang pemilu bisa pecah melalui kudeta kepemimpinan? Ini yang lebih menarik untuk dicermati. Sebab, partai besutan Pak SBY ini pernah sukses mengantarkan dirinya menjadi orang pertama di Indonesia.
Juga pernah menjadi pemenang pemilu. Partai ini pernah punya presiden sekaligus Ketua DPR RI. Saat itu, parlemen dipimpin Marzuki Alie, salah satu pelopor gerakan mengkudeta AHY melalui KLB yang sangat kilat.
Sebagai partai yang lahir setelah reformasi politik 1998, baru Partai Demokrat yang berhasil menang pemilu sekaligus punya presiden. PKB pernah bisa mengantarkan Gus Dur menjadi presiden. Namun PKB belum pernah menang pemilu.
Tampaknya ada yang kurang sempurna dalam Partai Demokrat selama ini. Apa itu? Dalam hal membangun ideologi dan disiplin partai. Dua hal yang sangat penting dalam menjaga keutuhan sebuah partai politik. Perekat utama organisasi politik.
Bisa dikatakan, partai ini belum berhasil membangun ideologi dan disiplin partai. Sehingga ikatannya hanya kekuasaan. Atau aset lain yang bisa dibagi kepada para elitnya. Semua itu bisa dipenuhi ketika Pak SBY menjadi presiden. Ketika partai itu memegang kekuasaan.
Nah, saat aset dan kekuasaan hilang, maka perekat partai pun ikut sirna. Ini yang melahirkan gerakan kudeta yang dilakukan orang-orang yang tadinya dibesarkan partai ini. Loyalitas mereka bukan kepada partai, tapi kepada aset kekuasaan yang didapat partai itu.
Teori kuno tentang politik sudah memperkirakan itu semua. Bahwa kepastian dalam politik itu adalah ketidakpastian. The art of possibilities. Seni dari segala kemungkinan. Setiap saat mungkin kalah. Setiap saat mungkin menang. Siasat sepanjang masa.
Pak SBY berhasil mengendalikan roda partai itu ketika seluruh aset kekuasaan masih ada di tangannya. Saat ia mampu mendistribusikan power ke banyak pendukungnya. Terutama kepada elit partai yang dibesutnya.
Namun ketika akses terhadap kekuasaan berkurang dan tak bisa mendistribusikan ke yang lain, loyalitas itu menjadi sirna. Partai yang kurang berhasil membangun ideologi dan disiplin partai akhirnya hanya menjadi alat pansos alias panjat sosial para pendukungnya.
Sebetulnya, problem ini tidak hanya dihadapi Partai Demokrat. Partai lain juga banyak yang belum berhasil membangun ideologi dan disiplin partai. Namun, menjadi tragis untuk Partai Demokrat karena menyangkut partai yang pernah berkuasa.
Idealnya, partai politik menjadi bagian dari penguatan demokrasi di Indonesia. Suatu tatanan politik yang bertumpu kepada hukum dan konstitusi. Yang juga ikut membangun nilai-nilai demokrasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks inilah, kudeta terhadap kepemimpinan AHY di Partai Demokrat melawan prinsip-prinsip kepatutan. Apalagi dengan menghadirkan sosok yang masih menjabat dalam pemerintahan sekarang. Bukan sosok dari dalam kader partai itu sendiri.
Memang kita semua belum tahu bagaimana ending dari dualisme kepemimpinan Partai Demokrat sekarang? Masih dibutuhkan legalitas akhir KLB yang disebut kubu AHY sebagai KLB Abal-Abal. Akankah hasil KLB di Sibolangit mendapat pengesahan pemerintah.
Namun, di luar itu semua, sudah menjadi kewajiban seluruh elemen bangsa untuk membangun demokrasi politik kita semakin kuat. Dengan cara menanamkan nilai-nilai kepatuhan terhadap hukum, baik hukum di dalam internal organisasi maupun hukum positif lainnya.
Hanya dengan kultur demokrasi yang kuat, bangsa yang majemuk ini akan bisa terjaga dan dikelola dengan baik. Parpol harus terus berjuang, tidak hanya menjadi alat pansos para pengikutnya. Tapi juga menjadi tiang penyangga bangsa.
Advertisement