Demokrasi Fandom
Dahlan Iskan sempat putus asa dengan platform media sosial. Saat ia masih menjadi Menteri BUMN di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Karena itu, ia meninggalkan twitland dengan kecewa.
Mengapa? Sebagai pejabat yang media darling saat itu, followernya langsung berjibun. Apalagi setelah diendorse oleh Najwa Shihab, anchor TV yang populer lewat Mata Najwa. Ia pun aktif ngetwit tentang apa saja. Khususnya terkait tugas dan perannya.
Tapi dia jengah. Sebab, yang mengomentarinya ternyata bukan hanya akun real. Banyak akun bot. Yang isinya terkadang sama. Yang tak jarang berisi caci maki. Bukan diskusi sesuai dengan substansi. Tentu orang waras tak akan telaten meladeni.
Berbagai platform sudah berusaha mengatasi itu. Dengan membuat regulasi yang membatasi pesan yang bisa diunggah. Mereka terus mengembangkan algoritmanya. Yang membuat berbagai unggahan kebencian tak bisa tayang. Algoritma ini menggantikan fungsi rapat redaksi di media konvensional.
Seperti banyak orang tahu, algoritma adalah sekumpulan instruksi atau langkah-langkah yang dituliskan secara sistematis. Algoritma digunakan untuk menyelesaikan masalah atau persoalan logika secara matematis dalam dunia komputer atau platform digital.
Algoritma ini berfungsi semacam dewan redaksi dalam media konvensional. Ia yang menyaring, menyeleksi, dan meloloskan sebuah tulisan atau gambar bisa terpublikasikan atau tidak. Yang menyeleksi apakah pesan tulisan atau gambar bisa viral atau tidak. Hanya saja, semuanya dilakukan oleh mesin. Bukan manusia.
Manusia yang memprogram mesinnya. Manusia yang menciptakan algoritmanya. Misalnya, dulu Facebook masih bebas mengunggah berita politik atau kampanye kandidat untuk pemilihan presiden atau legislatif. Kini, algoritma Facebook tak bisa lagi leluasa siapa pun mengunggah pesan dan gambar yang berisi kampanye politik.
Lima tahun lalu, berita palsu, gambar sadis dan ujaran kebencian masih marak di pelbagai media sosial. Kini algoritma sudah dikembangkan sehingga bisa menyeleksi berbagai pesan dan gambar yang dianggap tak senonoh dan berbahaya. Mesin algoritma –yang disusun secara global– yang menyeleksinya secara otomatis.
Tapi karena mesin, maka sentuhan manusiawinya menjadi berkurang. Siapa pun juga masih bisa mencari celah algoritma agar pesan-pesan politik yang bersifat kebencian, fitnah, dan bahkan berita palsu bisa lolos dalam platform media sosial. Akhirnya, media sosial menjadi media dengan redaksi mesin dan tanpa ada mekanisme konfirmasi maupun cek dan ricek sebelum tayang.
Kebangkitan platfom media sosial ini telah melahirkan kepemimpinan baru di dunia politik di seluruh dunia. Presiden AS Barack Obama dikenal sebagai kepala negara pertama yang lahir dari penggunaan media sosial sebagai media kampanye secara masif. Banyak lahir pemimpin populis dunia sejak revolusi teknologi digital.
Tapi ada sisi gelap dari revolusi digital dalam jagat politik. Selain memperluas spektrum kebebasan berpendapat dan berekspresi, juga melahirkan kristalisasi kelompok-kelompok berdasarkan orientasi dan emosi politik. Algoritma bisa menghasilkan polarisasi dan konflik politik makin mengkristal.
Kenapa bisa demikian? Algoritma bisa menyaring informasi sesuai dengan minat dan preferensi penggunanya. Ada kecenderungan mereka yang bersikap oposisi akan cenderung hanya terpapar dari sikap politik yang oposan. Demikian pula sebaliknya. Jika paparan berlangsung lama, maka polarisasi dan konflik akan semakin mengental.
Coba perhatikan dengan cermat. Grup media sosial biasanya diisi oleh orang yang memiliki pandangan dan pemikiran politik yang sama. Melalui sistem algoritma, cenderung akan membentuk opini yang pesannya cenderung sama. Juga cenderung menolak konten yang bertentangan dalam grup media sosial.
Apalagi dengan sistem pemilihan langsung mendorong terjadinya personifikasi terhadap kandidat. Format platform media sosial yang membatasi pesan pendek-pendek ikut memperkuat terjadinya pemahaman yang kurang utuh dari setiap pesan yang disebar melalui media sosial. Hasilnya adalah sikap politik yang emosional, bukan rasional.
Karena itu, saya lebih setuju pendapat yang mengatakan bahwa media sosial menghasilkan kecenderungan politik yang baru. Yang berkembang dalam politik bukan terbentuknya polity, masyarakat yang mempunyai kesadaran politik. Tapi melahirkan para penggemar tokoh politik atau fans politisi.
Fans politik tidak memberikan dukungan karena gagasan atau ideologi politik yang ditawarkan. Tapi lebih karena figur yang dibentuk melalui paparan pesan yang disampaikan berulang-ulang. Politisi dalam perspektif ini lebih seperti artis yang dicintai dan disenangi karena memuaskan emosinya.
Najwa Shihab, anchor televisi papan atas Indonesia pernah menyebutnya sebagai politik fandom. Dukung terhadap figur politik telah berkembang tak ubahnya seperti histeria para penggemar artis kelompok band pria atau wanita Korea. Juga histeria para penggemar drama Korea yang melanda dunia belakangan ini.
Kalau kecenderungan ini yang terus berkembang, tentu bukan kabar gembira bagi perkembangan demokrasi politik kita. Juga menjadi gambaran masa depan suram bagi upaya membangun rasionalitas politik dalam membangun demokrasi di negeri ini. Barangkali, kecenderungan lahirnya fandom politik lebih mengkhawatirkan dibanding dampak dari politik aliran yang pernah berkembang dalam sejarah politik kita.
Rasanya diperlukan langkah serius untuk membangun pilar politik baru yang bertumpu pada rasionalitas dan gagasan. Bukan semata-mata memperkuat kelompok-kelompok penggemar dari tokoh politik. Tentu hal ini agak sulit diharapkan muncul dari para elit politik yang dibesarkan media sosial. Rasanya diperlukan lagi kekuatan masyarakat, civil society, yang memberi cahaya terang bagi perpolitikan negeri ini.
Secara teori, partai politik mestinya menjadi pilar utama demokrasi yang sehat. Dengan melahirkan para pemimpin politik yang tangguh. Yang piawai dalam menyaring, menyerap, dan merumuskan kepentingan publik. Juga menjadikan kepentingan publik tersebut menjadi keputusan yang berpihak kepada publik.
Jika partai politik, civil society, dan lembaga-lembaga politik berjalan sesuai alurnya, mestinya tak akan muncul artis-artis politik. Mereka yang melejit karena sekadar proses personal branding. Proses yang cenderung menghasilnya figur yang bukan didukung masyarakat politik. Tapi sosok yang melejit akibat para pengikut yang cinta buta karena telanjur menjadi fans.
Negeri ini perlu para tokoh masa depan yang muncul bukan karena kasih sayang dari siapa saja. Tapi mereka yang tahu harus dibawa ke mana 280 juta jiwa penghuni bumi Indonesia. Yang seperti ini pasti bisa lahir dari proses demokrasi yang substantif, bukan demokrasi prosedural. Apalagi demokrasi fandom.