Demokrasi Fandom
Donald J Trump sudah ketularan politisi Indonesia. Entah dari mana ia belajar tentang tingkah laku politisi kita. Yang pasti, beberapa anggota DPR RI pernah bertemu dengannya.
Apa yang ditiru? Kecenderungan menuduh pihak lawan curang saat ada tanda-tanda kalah dalam pemilihan. Berkali-kali ia melontarkan klaim telah dicurangi meski tanpa bukti.
"Jika menghitung suara sah, saya menang mudah. Jika suara tidak sah dihitung, mereka bisa mencuri hasil pemilu ini dari tangan saya," katanya Kamis petang atau Jumat pagi waktu Indonesia.
"Mereka mencoba mencurangi pemilihan ini," tuturnya kepada wartawan. Tuduhan ini sudah keberapa kali ia ulangi. Berkali-kali meski tanpa bukti.
Saya pernah dua kali ikut dalam pemilihan umum untuk kepala daerah. Sekali menang sekali kalah. Saat menang, kita tidak perlu banyak mengumbar banyak alasan kenapa menang.
Tapi saat kalah, harus memberi alasan untuk pertanggungjawaban kepada partai pengusung maupun pendukung fanatiknya. Alasan dicurangi merupakan alasan paling gampang. Tanpa mikir. Tanpa butuh akal sehat.
Tapi itu lebih beradab ketimbang mengerahkan massa untuk membakar kantor penyelenggara pemilu. Sesuatu yang masih saja terjadi di beberapa daerah. Yang calon kalahnya tidak bisa menerima kekalahan dan ingin jalan pintas.
Padahal dalam setiap kontestasi selalu ada yang menang dan kalah. Yang menang berhak memimpin selama 5 tahun. Sedangkan yang kalah harus menunggu lima tahun lagi jika masih punya energi untuk berlaga lagi. Politisi harus berlaga sepanjang hidupnya.
Kembali ke Trump
Presiden yang mengusung jargon Make America Great Again ini sebetulnya telah berhasil menggairahkan ke-Amerika-an kembali. Kaum konservatif --terutama golongan kulit putih-- telah menjadi pendukung fanatiknya.
Namun ternyata itu tidak cukup untuk dia bertahan di Gedung Putih. Para pemilih rasional tak lagi menjadi pemilihnya karena cemas dengan cara Trump memimpin Amerika.
Ini terbukti di beberapa kota besar Trump kalah dari Joe Biden. Bahkan, sejumlah negara bagian yang dulu dimenanginya, kini tak lagi berpihak kepadanya. Di Georgia merosot suaranya. Di Nevada ia kalah.
Basisnya di Arizona menyeberang. Demikian juga Michigan. Tinggal North Carolina yang berhasil dipertahankan. Tapi itu pun perhitungan belum selesai ketika artikel ini ditulis.
Maka sumber CNN di White House menggambarkan Trump dan para penasehatnya ngamuk-ngamuk. Ia pun menebar ancaman melalui cuitan twitter. Intinya tidak mengakui kekalahan.
Seperti pernah terjadi di negeri kita, Trump juga sempat mendeklarasikan kemenangan di awal perhitungan. Mengancam membawa tuduhan bahwa lawannya curang ke Mahkamah Agung.
Kekalahan Trump sudah banyak yang memperkirakan. Tapi juga banyak yang masih yakin ia akan menang. Ini karena ia dalam posisi sebagai incumbent alias petahana.
Ternyata, posisinya sebagai incumbent tak membuat ia bisa melenggang untuk tetap tinggal di Gedung Putih. Amat jarang incumbent Presiden AS yang kalah dengan penantangnya.
Yang berbeda dengan kita, penantang yang biasa menuding curang inkumben. Sebab, dalam posisi sebagai inkumben, mereka bisa menggunakan fasilitas negara untuk kemenangannya.
Peluang untuk melakukan kecurangan secara masif, sistematis dan terstruktur hanya bisa dilakukan petahana. Sementara amat jarang penantang petahana bisa melakukan kecurangan-kecurangan.
Yang dikhayalkan sekarang adalah bagaimana kalau kelak Trump tak mau meninggalkan Gedung Putih meski kalah. Apakah diperlukan pengosongan paksa atau bagaimana? Tetap menarik untuk terus diikuti.
Yang sudah pasti, Biden tinggal menunggu selesai penghitungan untuk menjadi presiden. Posisinya sekarang sudah tidak mungkin disalip Trump. Dengan cara apa pun. Makin kecil ruang untuk Trump dengan nekad bertahan.
The game is over, Trump
Ini juga berarti menandai kepemimpinan populis yang mengandalkan dukungan emosional makin ditinggalkan. Kepemimpinan yang mengandalkan fanatisme buta terhadap pemimpinnya.
Keseimbangan baru bisa saja terjadi setelah kekalahan Trump di Amerika. Keseimbangan untuk menuju politik yang lebih rasional. Yang mengedepankan penciptaan kemaslahatan bersama.
Sejak dulu saya percaya moralitas publik selalu muncul disaat dibutuhkan. Ketika sesuatu dianggap sudah berlebihan, mereka akan menjadi penyeimbang baru bagi ketidakseimbangan yang ada.
Moralitas publik merupakan standar moral yang diikuti mayoritas orang dalam suatu wilayah. Ia merupakan standar nilai baik dan buruk yang diikuti bersama. Baik dalam urusan punlik maupun privat. Ukuran tentang sesuatu yang layak dilakukan dan tidak.
Publik bisa juga gregetan jika ada seseorang telah melampaui batas dari standar yang mereka anut. Ketika seseorang melawan standar moral itu, mereka akan melawannya. Perlawanan dengan damai maupun dengan cara perlawanan yang dibolehkan.
Pemilihan umum sebenarnya merupakan instrumen publik untuk menjatuhkan pilihan standar moral tentang pemimpinnya. Apakah seseorang dianggap layak memimpin mereka atau tidak? Apakah seseorang bisa mewakili mereka atau tidak untuk membuat keputusan-keputusan.
Beberapa waktu lalu, Najwa Shihab memperkenalkan istilah demokrasi fandom. Demokrasi yang dibangun atas dasar dukungan fanatik dari pemilihnya. Seperti halnya fanatisme para fans boyband atau girlband dari Korea.
Demokrasi fandom terbangun dengan membangkitkan emosi-emosi terhadap idola. Dalam politik mereka membangun hubungan emosional dengan idola seorang aktor politik. Dalam demokrasi fandom, sang aktor tak mungkin salah.
Nah, seharusnya demokrasi dibangun bukan atas dasar fanatisme membabi buta para pendukung dan pemilihnya. Demokrasi yang sehat membangun konstituen. Pendukung kritis yang berkepentingan terhadap program yang akan dijalankan aktor politik.
Kekalahan Trump bisa jadi mendorong arus baru terkikisnya populisme kepemimpinan politik, kembalinya demokrasi fandom ke demokrasi berbasis konstituen, dan terbangunnya perilaku politik yang lebih rasional.
Semoga.
Advertisement