Demi Tradisi “Saweran“Daster Robek Tak Masalah
Beragam cara seseorang mengekpresikan gembiraan setelah cita-cita tercapai. Salah satunya tradisi yang masih diugemi oleh masyarakat mengekspresikan kegembiraan adalah melalui 'saweran'.
Jangan salah, saweran di sini bukan seperti saweran saat penyanyi (dalam acara dangdutan) disawer uang oleh penontonnya, yang terkadang diikuti niat tidak baik. Dengan nyawer itu ia berharap bisa menyentuh bagian sensitif dari tubuh sang penyanyi.
Tapi saweran di sini dilakukan untuk berbagi kasih dengan tetangga. Caranya dengan menebarkan uang logam di tengah kerumunan tetangga yang telah berkumpul di halaman depan rumahnya.
Untuk mendapatkan uang yang tebarkan tersebut, tetangga harus berebut. Bebas semua boleh ikut, laki peremuan tua muda anak anak.
Jatuh bangun untuk mendapatkan uang logam disertai disertai sorak gembira, merupakan tontonan yang unit.
"Dapat Rp2000 Om, lumayan buat jajan," kata bocah kecil Dani, sambil memperlihatkan 3 keping uang logam yang diperolehnya.
Ada yang bisa memperoleh lebih banyak, tapi ada yang cuma gigit jari, kalah berebut dengan yang lain.
Terlihat seorang ibu mencoba menangkap uang logam yang ditebarkan itu dengan membentangkan dasternya, sampai mengundang tawa.
"Saya dapat Rp6.500. tapi daster saya robek waktu rebutan," kata Supinah, ibu dua anak sambil menghitung uang logam.
Mamake yang ditugaskan menebarkan uang logam berjumah Rp1juta, mengatakan peserta saweran ada yang curang, mencomot uang di bokor dari belakang tidak mau ikut rebutan.
Saweran yang diikuti sekitar 75 orang ini diadakan oleh Ibu Hindun yang tinggal di bantaran kali Sekretaris Kebun Jeruk Jakarta Barat.
Ceritanya, ia mengadakan saweran sebagai uangkapan gembira dan rasa syukur, karena punya mobil baru.
"Saya bersama keluarga berniat untuk berbagi kasih. Bukan pamer lho Pak. Tradisi di daerah saya memang begitu. Setelah saweran kita ajak makan bareng-bareng," kata Hindun sambil membagikan nasi pada tetangga yang mengerumuninya.
Saweran yang diadakan pada Sabtu 2 Januari 2021, dituturkan sebagai sarana untuk mendatangkan tetangga. Karena mereka semua senang dengan saweran. Bayangan mereka, pasti dapat uang meski pun harus jatuh bangun dan adu kuat.
Budayawan Betawi Ridwan Saidi, menjelaskan tradisi 'saweran' ini berasal dari Jawa Barat.
Saweran sebenarnya merupakan salah satu rangkaian upacara perkawinan adat Sunda. Tata cara perkawinan ini sudah menjadi tradisi yang turun-temurun dari nenek moyang khususnya di tanah Pasundan.
Sampai saat ini pun masih tetap konsisten digunakan oleh masyarakat Sunda. Mengingat prosesinya yang unik dan mengandung petuah-petuah bagi kedua pengantin.
Tetapi belakangan ini budaya saweran melebar ke semua acara seperti rasa syukur mendirikan rumah, membeli mobil, sepeda motor, sepeda kayuh, sembuh dari sakit bahkan membeli televisi pun sekarang disawer. Dan merambah kesemuanya bahkan anak diterima atau lulus sekolah pun disawer, khatam qur'an pun disawer.
Dan sekarang yang menjadi prihatin adalah seperti saling bersaing jumlah nominal sawerannya. Semakin besar nominal yang disawerkan ke masyarakat menjadi kebanggan tersendiri dari orang yang berhajat (yang melakukan saweran).
Barang-barang yang disiapkan dalam tempat, yang sering disebut bokor. Isinya terdiri dari uang recehan, beras, irisan kunyit, permen dan lipatan daun sirih. Masing-masing mempunyai makna tersendiri, uang sebagai simbol kemakmuran, beras sebagai simbol kesejahteraan.
Permen menandakan sepahit apapun kehidupan harus diselesaikan dengan manis. Irisan kunyit dianalogikan bahwa kunyit itu bermanfaat sebagai obat dan makanan. Itu berarti seorang istri harus bisa berperan seperti kunyit. Bisa memasak dan juga bisa menjadi obat bagi suami dan keluarganya kelak. Lipatan daun sirih diharapkan menjadi simbol agar dalam membina rumah tangga tetaplah harum dan bermanfaat.
Itu sekilas tentang budaya saweran yang sudah berlangsung turun menurun di adat sunda, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang diekspresikan dengan berbagi kebahagian kepada sesama masyarakat, kata Babe panggilan akrab Ridwan Saidi.
"Saweran bisa seperti gengsi atau memperlihatkan bahwa si penyawer itu mampu. Semakin banyak saweran yang dikeluarkan, semakin mendapat nama dia di masyarakat," kata Babe, saat dihubungi Ngopibareng.id, Minggu 3 Januari 2021.
Babe melihat ada sebagian masyarakat prasejahtera yang memaksakan diri gelar saweran, tanpa pedulikan keadaan ekonominya yang pas-pasan. Tapi semua itu berpulang pada niatnya. Tidak perlu diperdebatkan. Faktanya masyarakat ikut senang dengan tradisi saweran itu, kata Babe.