Perjuangan para orangtua wali murid untuk memperjuangkan hak anaknya bersekolah di SMA/SMK Negeri di Surabaya patut diacungi jempol. Dalam aksi menuntut penghapusan sistem zonasi dalam PPDB SMA/SMK di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Rabu 19 Juni 2019, para wali murid masing-masing menyuarakan keinginannya agar didengar oleh para pejabat Pemprov Jatim. Di bawah terik matahari yang panas, para wali murid yang didominasi emak-emak berjuang untuk kepastian anak-anaknya agar bisa bersekolah di SMA/SMK Negeri yang layak. Salah satu emak-emak bernama Sri Sumiati mengatakan bahwa dirinya rela berpanas-panasan sejak pukul 11.00 Wib demi aspirasinya didengar oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. “Saya ingin bertemu sama Bu Khofifah, saya ingin menyampaikan mas kalau sistem sekarang itu tidak adil untuk warga menengah kebawah seperti saya ini,” ujarnya. Hal itu dia utarakan karena saat ini anaknya yang berasal dari SMPN 3 Surabaya justru tidak diterima di dua tujuan sekolah yang dipilih. Padahal menurutnya, nilai ujian anaknya terbilang cukup baik dengan meraih nilai 350,00. Sri yang berdemo menggunakan masker sesekali mengusap keringatnya dengan kerudung yang dia gunakan. Sembari berteriak, wanita berusia 45 tahun tersebut tampak terlihat memegang ponsel dan menelepon seseorang. ”Iya mas telfon anak, karena dia khawatir gak sekolah. Saya emaknya akan saya perjuangkan disini,” tegasnya. Sri sendiri saat ini tinggal di daerah Karangan, Kecamatan Dukuh Pakis. Sri menjelaskan bahwa alamat tempat tinggalnya masuk dalam irisan zona irisan. “Rumah saya ini di antara zona 1 dan zona 2. Harusnya masuk zona 1 kalau sesuai kecamatan. Tapi katanya pakai zona irisan. Nah masalahnya jaraknya sama-sama jauh. Ke pusat ya uda kilometer-an ke selatan ya kilometer-an. Kalah sama yang jarak rumahnya cuma meteran mas,” bebernya. Sri menjelaskan bahwa sekolah terdekat dari rumahnya ialah SMAN 16 dan SMAN 18. Namun anaknya memiliki cita-cita bersekolah di SMAN 5 atau SMAN 6. Dia berharap agar Pemprov Jatim bisa mendengar aspirasinya. Menurutnya sebagai warga yang ekonominya berada di kelas menengah, harga sekolah di swasta begitu mahal, apalagi swasta yang memiliki standar pendidikan yang baik. “Kalau swasta ya mahal mas, kita dari keluarga menengah kebawah. Kalau kita banyak uang ya gak panas-panasan disini mas. Anak saya pribadi ingin ke SMA 5/6 mas. Masak anak saya sekolah sama dengan anak yang di kampung. Nanti akhirnya temannya itu itu aja,” keluhnya. Sri sempat kecewa karena tidak bisa ikut audience dengan Plt Dinas Pendidikan, Hudiono di dalam Grahadi. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya untuk berjuang demi masa depan anaknya. Diakhir dia mewakili sesama emak-emak berharap agar keajaiban bisa datang dan anaknya bisa melanjutkan sekolah di tempat yang layak. “Ini masa depan mereka (anak-anak). Jangan sampai karena zonasi mimpi mereka dibatasi. Mereka juga punya keinginan dan cita-cita bersekolah di tempat yang baik. Semoga keajaiban terjadi lah,” pungkasnya. (faq)