Terharu, Guru SLB di Garut ini Raih Penghargaan Guru Terbaik
Diana Santi, guru Sekolah Luar Biasa (SLB) Putra Hanjuang Kabupaten Garut Jawa Barat ini tak pernah bermimpi akan terpilih sebagai guru dedikatif, inovatif dan inspiratif terbaik tingkat nasional 2020.
Pengabdiannya sebagai guru anak berkebutuhan khusus (ABK) tak lebih dari sebagai penghormatan pada sang ibu, Siti Mariam yang memilihkan jalan hidupnya sebagau guru SLB.
Itu yang membuat Diana Santi tak dapat menahan tangis ketika namanya ditetapkan sebagai guru SLB terbaik. Penghargaan itu dianggap sebagai kado pada peringatan Hari Guru Nasional (HGN) yang dirayakan setiap tanggal 25 November.
Penghargaan bagi para guru dan kepala sekolah terbaik itu diserahkan oleh Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Iwan Syahril pada rangkain acara peringatan HGN di Millenium Hotel Jakarta, Senin 23 November 2020.
Dan ibunya merupakan orang pertama yang dihubungi oleh Diana untuk menyampaikan kabar gembara tersebut "Terima kasih Mama, penghargaan ini saya persembahkan buat Mama," kata Diana sesenggukan, sambil memperlihatkan piagam dalam pigora yang baru diterima melalui video call.
Diana terlihat semakin larut dalam tangis ketika himne guru dinyanyikan oleh para undangan di penghujung acara.
"..Terpujilah wahai engkau bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa...."
Anak kedua dari lima bersaudara hasil pernikahan Dayat dengan Siti Mariam ini bercerita, kalau dulu bercita-cita ingin menjadi PNS di kantor bukan menjadi guru. Apalagi guru SLB yang harus mengurusi anak berkebutuhan khusus, seperti penyandang tunarungu, tunadaksa, tunagrahita dan tuna netra.
Karena itu, ketika tamat SMA dan akan meneruskan ke perguruan tinggi, perempuan kelahiran Garut 3 Maret 1997 ini menghadapi tantangan cukup berat dan dilematis. Harus menentukan pilihan nengikuti saran ibunya untuk mengambil prodi Guru Tunagrahita atau bertahan pada keinginannya.
"Saya merasa tidak mampu menjadi guru SLB yang harus anak berkebutuhan khusus, tapi ibu tetap mengarahkan saya untuk menjadi guru di SLB," kata Diana saat akan mengikuti upacara hari guru di Kantor Kemdikbud malalui daring, Rabu 25 November 2020.
Menghadapi pergumulan dalam hatinya itu Diana setiap malam bermunajat pada Tuhan melalui salat tahajud dan istikharoh, agar Tuhan memberi petunjuk jalan yang terbaik bagi dirinya.
Kata-kata ibunya yang membuat Diana menyerah ketika menyebutkan bahwa sebaik-baik manusia itu adalah yang hidupnya bermanfaat bagi orang lain. Kalau semua menjauh dari SLB, lalu siapa yang mengurusi pendidikan anak berkebutuhan khusus supaya bisa membaca dan menulis. Padahal mereka mempunyai hak memperoleh pendidikan.
"Saya anggap ini jawaban Allah atas doa saya. Seketika itu saya menyerah, mengikuti keinginan Mama mengambil jurusan Tunagrahita di Universitas Nusantara Bandung," kata Diana.
Ia menyelesaikan kuliahnya tahun 2018 dan langsung bergabung di SLB Putra Hanjuang sebagai instruktur dan operator IT. Diana sebenarnya sudah menjadi guru bantu di SLB yang dirintis ibunya itu sejak ia masih duduk di SMA.
Dari rumahnya, di kota Garut menuju tempatnya mengajar SLB Putra Hanjuang di desa Bungbulang cukup jauh, membutuhkan waktu sekitar 4 jam dengan kendaraan umum.
"Saya setiap hari berangkat setelah salat subuh, pulang sore. Bahkan sampai malam hari kalau kendaraan sulit," ujarnya.
Selama pandemi covid-19, tugas dan beban Diana sebagai guru SLB semakin berat. Secara berkala harus melakukan kunjungan ke rumah anak didiknya yang berjauhan. Secara geografis berada di lerang gunung. Kunjungan ke rumah siswa harus dilakukan oleh tujuh guru SLB Putra Hanjuang secara bergantian.
"Kalau anak didik normal bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) menggunakan internet. Tapi metode PJJ tidak bisa diterapkan di SLB Putra Hanjuang. Selain kondisi fisik siswa, secara ekonomi ada keterbatasan juga. Meskipun ada bantuan kuota pulsa internet dari Kemendikbud, tapi orang tuanya tidak punya hp," ujarnya
Untuk mengembangkan SLB Putra Hanjuang ini, katanya, ini menjadi tantangan cukup berat. Sarana dan prasarananya serba terbatas. Sekitar 57 anak didiknya sekolah gratis.
Ibunya, sebagai perintis dan Kepala SLB Putra Hanjuang selalu memotivasi para guru dan tenaga kependidikan SLB Putra Hanjuang agar mengabdi dengan tulus dan sabar.
"Ibu selalu menganjurkan supaya lembaga pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dirintisnya, dijadikan ladang amal ibadah, bukan semata-mata tempat untuk mencari uang," pesan ibunya, yang membuat Diana, istikomah menjadi guru SLB.
Advertisement