Demi RSMU, Mundur dari Dosen di Usia Muda
Dokter Basoeki yang membinanya, Dokter Mohammad Badri yang mewujudkannya. Ini yang bisa digambarkan dalam proses suksesi kepemimpinan di RS Mata Undaan.
Badri memimpin rumah sakit warisan para dokter Belanda itu meneruskan estafet kepemimpinan Basoeki. Ia dokter spesialis mata lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair).
Badri bukan orang pertama lulusan universitas kebanggaan warga Surabaya yang menjadi dokter di RS Mata Undaan. Namun ialah alumni Unair pertama yang memimpin RS tersebut.
Putra juragan batik kelahiran Solo ini tergolong dokter unik. Ia menjadi dokter di RS Mata Undaan karena penugasan. Saat itu, ia sudah menjadi dosen dengan status pegawai negeri.
Tapi ia tidak kerasan menjadi dosen. "Ya waktu itu saya merasa tidak cocok menjadi dosen. Karena itu, setelah beberapa saat mendampingi Pak Basoeki di sini, saya mengundurkan dari pegawai negeri," kata Badri.
Padahal, jika mau dia bisa merangkap jabatan tersebut. Menjabat Direktur RS Mata Undaan sekaligus menjadi dosen di universitas tertua di Jawa Timur ini. Namun, ia tak mau konsentrasinya terpecah dengan amanat baru yang diterimanya.
Dokter yang sampai usia 78 tahun masih berpraktik itu mendedikasikan hidupnya untuk RS Mata Undaan. Ia yakin bisa hidup dengan mengabdi ke rumah sakit yang didirikan untuk membantu orang miskin ini.
"Saat masih membantu Pak Basoeki di sini, rumah sakit ini masih serba kekurangan. Peralatan dan dokternya terbatas. Tapi saya yakin akan bisa maju kalau dikelola dengan penuh totalitas," katanya.
Tidak ada rasa khawatir ketika ia harus memutuskan mundur sebagai pegawai negeri. "Sebetulnya banyak yang menyayangkan ketika saya mundur di usia muda. Tapi saya tetap pada keyakinan atas keputusan yang telah saya ambil," tambah Badri.
Ternyata Badri tak salah. Begitu menerima estafet kepemimpinan dari Basoeki, ia langsung berpikir keras bagaimana memajukan RS Mata Undaan. Ia pun merangkul sejumlah dokter mata ternama untuk praktik di RS yang dipimpinnya.
Naluri bisnisnya sangat membantu pengembangan rumah sakit ini. Ia percaya bahwa RS Mata Undaan akan maju jika dokter-dokternya ternama dan peralatan yang canggih. Tidak hanya mengandalkan alat medis warisan sebelumnya.
Ia pun menggandeng para dokter untuk ikut investasi alat. ''Dokter Badri menggandeng kawan-kawan dokter lainnya untuk berinvestasi. Waktu itu dikenal kelompok Pendawa Lima,'' cerita dr Sujarno SPm.
Melalui para dokter yang tergabung dalam Pendawa Lima itulah RS Mata Undaan berkembang. Alat-alat medis termutakhir bisa disediakan. Para dokter itu juga menarik pasiennya masing-masing untuk ke RS Mata Undaan.
Dokter Badri tergolong dokter yang visioner. Anak pengusaha batik di Solo ini menyediakan alat-alat medis yang belum ada di Surabaya. Inilah yang menjadikan RS Mata Undaan menjadi pionir dalam perawatan mata di kota ini.
Dengan visinya itu, RS Mata Undaan menjadi rumah sakit yang memiliki mesin Lasic pertama. Alat medis yang menggunakan teknologi laser untuk mengatasi mata minus menjadi normal kembali.
Dari mana duitnya untuk membeli alat yang sangat mahal pada jamannya tersebut? Dari investasi bersama para dokter yang digandengnya. Dari dokter Pendawa Lima yang ia gandengnya.
Tidak hanya peralatan medis yang menjadi perhatian Dokter Badri. Ia juga mengembangkan sarana dan prasarana fisiknya. Selama kepemimpinannya, ia berhasil menyisakan hasil usaha rumah sakit yang lumayan.
Dari dana itu, ia membangun gedung baru. Perluasan dari gedung lama yang sudah ada. Kebetulan ia punya partner seorang sarjana lulusan ITS yang menjadi Ketua P4M (Perhimpunan Perawatan Penderita Penyakit Mata), pemilik RS Mata Undaan.
Orang itu namanya Ir Doelatip. (Arif Afandi)