Delapan Tanda Wali Abdal, Jalan Sufi Syaikh Abdul Sattar Edhi
Kiai Saleh Darat dalam Kitab "Minhajul Atqiya' Fi Syarhi Ma'rifat Al-Adzkiya" memberikan definisi dan tanda-tanda seseorang disebut sebagai Wali Abdal.
(1) Sikap wirai (berhati-hati), niat yang baik, dan hati yang selamat;
(2) Kasih sayang terhadap umat Islam, tidak menghujat, dan tidak pernah membenci;
(3) Tidak pernah membuat sedih atau menyakiti sesama manusia;
(4) Tidak menyusahkan orang yang di bawahnya;
(5) Tidak iri terhadap orang yang di atasnya;
(6) Baik kepada sesama manusia;
(7) Dermawan kepada semua manusia;
(8) Rendah hati terhadap semua manusia.
Demikian kata Mbah Kiai Saleh Darat, dikenal sebagai guru Kiai Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Wallahu A'lam Bishshawab.
Terkait hal ini, Ihsan Ali Fauzi menulis "Belajar Pada Abdul Sattar Edhi". Agaknya, Wali Abdal bisa diarahkan pada sang sufi itu. Berikut penutusan Ihsan Ali Fauzi:
Di penghujung tahun ini, saya ingin mengajak Anda untuk bersama-sama belajar lebih banyak dari Abdul Sattar Edhi, pekerja sosial asal Pakistan, yang wafat 8 Juli 2016 lalu. Bagi saya, dia guru kemanusiaan terbesar tahun ini dan kita belum cukup memberi penghargaan kepadanya.
Ketika Edhi akan dimakamkan lewat suatu upacara di Stadion Nasional Karachi, sebelum dikebumikan di makam yang digalinya sendiri, massa berduyun-duyun ikut mengusung peti jenazahnya, yang dibalut bendera hijau-putih (Pakistan).
Kematian Edhi, yang seperti malaikat penolong bagi banyak orang miskin di negeri itu, yang dikenal lewat pasukan ambulansnya yang selalu siaga menolong siapa saja, membawa duka mendalam.
Tapi Nawaz Sharif, Perdana Menteri Pakistan, juga menyatakan berduka. “Edhi permata sejati dan aset Pakistan. Kami kehilangan pelayan kemanusiaan yang luar biasa. Dia manifestasi cinta kepada orang-orang yang rentan, miskin, tertindas, dan sulit mendapat pertolongan,” katanya.
Kegagalan Negara
Kita tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya bergejolak di benak sang Perdana Menteri saat itu—dan apa makna dukanya. Sebab, yang pertama-tama ditunjukkan Edhi sepanjang hayatnya adalah bahwa negara telah gagal mengurusi warganya—dan bahwa tiap warga harus siap mengurus diri sendiri. Yang ironis, negara itu adalah negara yang menyebut diri “Negara Islam” dan yang didirikan persis karena alasan keagamaan itu, hampir 70 tahun sebelumnya.
Inilah yang menjadi awal kerja-kerja sosial Edhi. Lahir di Gujarat (kini di India), pada 1928, Edhi dan keluarganya yang Muslim harus pindah ke Karachi (kini di Pakistan) pada 1947: mereka jadi korban konflik sektarian yang membelah anak-benua Indo-Pakistan (disebut Partition).
Di tanah baru ini, ibunya, yang sudah lama sakit-sakitan, wafat ketika Edhi 19 tahun. Dalam satu peristiwa mengenaskan, Edhi harus membawa ibunya ke rumah sakit dan diberitahu bahwa di kota itu hanya ada satu ambulan dan itu milik Palang Merah Internasional.
Trauma di atas mendorong Edhi memulai kerja-kerjanya. Dia juga amat kecewa melihat lingkungan sekitarnya, “di mana ketidakadilan, sogok-menyogok dan perampokan sangat umum terjadi.” Dia mulai dengan membuka toko obat kecil di samping rumahnya, yang menawarkan obat-obatan sederhana, berapa pun bayarannya.
Tempat itu kini masih menjadi rumahnya yang sederhana, yang ditinggali juga oleh istri dan empat anaknya. “Saya kira itu kewajiban saya sebagai manusia,” kata Edhi mengenang langkah-langkah awalnya dulu. “Saya dapat pastikan bahwa pemerintahan kami tidak akan mengurusi layanan-layanan sosial seperti itu.”
Pada 1957, dia mendirikan Yayasan Edhi untuk menerima donasi dalam rangka membangun tenda-tenda rumah sakit bagi korban flu Hong Kong yang mengancam kala itu. Dari seorang pengusaha, dia memperoleh dana untuk membeli mobil ambulan yang dibawanya sendiri untuk menjemput orang-orang sakit. “Itulah pertama kalinya saya memperoleh kepercayaan yang besar,” katanya.
Pada 1965, Edhi menikahi Bilquis Bano, seorang perawat di satu klinik miliknya. Dinakhodai Bilquis, Yayasan Edhi lalu membangun rumah bersalin gratis dan membantu proses adopsi anak-anak yatim atau bayi-bayi “terbengkalai”. Mereka menyiapkan keranjang bayi di banyak tempat untuk siapa saja yang tak menghendaki bayinya. Mereka juga mengumumkan nomor telepon yang bisa dihubungi untuk tujuan yang sama, tanpa minta keterangan siapa sang ibu atau lainnya. Di samping kantornya ada ayunan bayi dan tulisan “Jangan Bunuh Anakmu.”
Salah satu periode paling mengerikan bagi Edhi dan Balquis adalah perang 1965 antara India dan Pakistan, ketika Karachi dibom. Selain merawat mereka yang terluka dan sekarat, keduanya harus memandikan 45 mayat (Edhi yang laki-laki, Bilquis perempuan) dan menyiapkan pemakaman mereka. Dalam memoarnya, A Mirror to the Blind (1996), Edhi terang-terangan mengecam mereka yang merasa jijik dan terlalu suci untuk menyentuh tubuh orang-orang mati.
Sejak itu hingga sekarang, Yayasan Edhi menjadi organisasi besar yang memberikan layanan ambulan, klinik, rumah yatim, bank darah, dan banyak lagi yang lainnya—semuanya gratis atau dengan bayar seadanya. Yayasan itu paling dikenal berkat 1.800 mobil ambulannya, yang selalu tiba pertama, lebih dulu dibanding yang lain, di tempat kejadian.
Advertisement