Deja Vu: Â PDI Tahun 1996 dan Partai Demokrat Hari Ini
Deja Vu; Partai Demokrat dan PDI Tahun 1996
Tahun 1996, pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto melakukan tindakan politik yang masuk catatan hitam sejarah demokrasi di Indonesia. Yaitu malkukan kodeta atau mengambil alih kepemimpinan Ketua Umum PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dari tangan Megawati Soekarno Putri. Pengambilalihan paksa kursi ketua umum dilakukan dalam KLB (Kongres Luar Biasa) yang dipaksakan, di Medan, Sumatera Utara, 20 s/d 23 Juni 1996.
Sebelumnya, Megawati telah terpilih untuk memimpin partai berlambang kepala banteng itu dalam KLB (Kongres Luar Biasa) yang berlangsung dramatis di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Desember 1993. Penjegalan habis-habisan yang dilakukan pemerintah melalui kaki tangannya di PDI antara lain Marsoesi, Yusuf Merukh, Ismunandar, Budi Hardjono dan Latief Pudjosakti tidak menyurutnya mayoritas peserta kongres pendukung Mega yang ketika itu menyebut dirinya arus bawah.
Pada menit-menit terakhir sebelum polisi menutup pintu gerbang dan memerintahkan semua peserta untuk segera meninggalkan Asrama Haji, tanggal 6 Desember 1993 pukul 23.55, di pelataran, dengan dikelilingi para peserta kongres yang mendukungnya, secara de facto Megawati menyatakan dirinya sebagai Ketua PDI yang sah.
Tanggal 22 Desember atau sekitar dua pekan usai KLB Surabaya, Megawati menggelar Munas (Musyawarah Nasional) di Jakarta, yang dihadiri para ketua DPC PDI pendukungnya dari seluruh Indonesia. Dalam Munas ini Megawati dikukuhkan menjadi Ketua Ketua Umum PDI periode 1993-1998.
Tapi pemerintah tak pernah mengakui kepemimpinan Mega. Berbagai upaya dan usaha dilakukan untuk melengserkannya, baik melalui internal maupun eksternal partai. Gerakan pendukung Megawati makin membesar dan meluas, bukan saja berasal dari jajaran struktur partai dari tingkat yang paling bawah, tetapi juga dari para aktivis pro demokrasi.
Pemerintah yang makin kewalahan membendung gerakan pro demokrasi itu kemudian merekayasa digelarnya KLB lagi, yang dimaksudkan tidak saja untuk melengserkan Megawati, tapi sekaligus juga untuk memotong gerakan rakyat yang menghendaki perubahan. Maka melalui operasi militer yang dilakukan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) hingga tingkat yang paling bawah yaitu Koramil bahkan Babinsa, para pengurus DPC PDI dari seluruh Indonesia diculik dan dan kemudian diterbangkan secara paksa ke Medan, Sumatera Utara, untuk mengikuti KLB kedua kalinya ini.
Sebagian besar dari elit partai dari daerah yang diculik dan diterbangkan ke Medan untuk mengukuti KLB itu, adalah mereka yang sebenarnya pendukung setia Megawati. Makyo Sumaryo Soeryomidjoyo misalnya, tokoh asal Solo yang dikenal paling setia kepada Megawati. Makyo termasuk mereka yang dipaksa terbang ke Medan mengikuti KLB. Sepulang dari Medan hingga wafat 26 Januari 2010, Makyo tak lagi berpolitik. Bahkan dia tak mau lagi bicara soal politik. Dia trauma.
Dari Surabaya juga ada seorang tokoh lokal yang sebenarnya jadi pendukung Megawati, tetapi setelah mengikuti KLB Medan tahun 1996, sama sekali tidak mau lagi berbicara perihal politik juga karena trauma. Dia adalah Sabrot D. Malioboro, yang meninggal dunia 20 Juli 2020. Tanggal 19 Juni 1996, dia dijemput paksa dari rumahnya di kawasan Banyu Urip Surabaya, dengan kawalan ketat, kemudian diterbangkan ke Medan, setelah sebelumnya dikumpulkan di suatu tempat bersama-sama dengan beberapa teman separtai nya.
Ketika itu Panglima ABRI adalah Jenderal Faisal Tanjung, sedang Menko Polhukam Soesilo Sudarman dan Menteri Dalam Negeri yang bertanggungjawab mengurusi partai politik adalah Yogi S. Memet. Tentu, untuk menggelar KLB ini pemerintah juga memanfaatkan beberapa alit partai yang berseberangan dengan Megawati, diantaranya adalah Fatimah Akhmad, Yusuf Meruch dan Latief Pudjosakti.
Pada KLB Medan tahun 1996 itu, yang dijaga ketat polisi dan pasukan ABRI, akhirnya para peserta, sebagian besar karena dipaksa, memilih kembali Soerjadi menjadi Ketua Umum PDI. Suharto terpaksa menelan ludahnya sendiri, ketika dia menghadapi dilema politik. Dalam konteks PDI, dia menghukum dan menendang Soerjadi melalui kongres IV PDI di Medan bulan Juli 1993, tetapi justru mendapatkan Megawati pada KLB PDI di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Desember 1994. Maka kursi itu diserahkan kembali kepada Soerjadi melalui KLB PDI di Medan tahun 1996.
Soerjadi ditendang melalui Kongres IV karena oleh Soeharto dianggap mempunyai dosa besar. Yaitu pada pemilu tahun 1992, PDI memperoleh suara melebihi kuota yang diberikan. Kuota yang sama juga diberikan kepada PPP (Partai Perstuan Pembangunan), yaitu kedua partai ini pada setiap pemilu tidak boleh memperoleh suara lebih dari 7 persen, atau setara 25 kursi di DPR-RI. Tetapi pada pemilu 1992, yang mengikutkan Megawati Soekarnoputri ketika berkampanye, PDI medapatkan suara dua kali lipat dari kuotanya, yaitu 14 persen suara dengan 59 kursi. Peningkatan suara inilah yang oleh Soeharto dianggap sebagai dosa Soerjadi sehingga harus ditendang.
Hasil KLB Medan 1996 mejadikan PDI terpecah jadi dua, yaitu Kubu Megawati dan Kubu Soerjadi/Fatimah Achmad. Tentu saja kubu Soerjadi/Fatimah Achmad yang direstui pemerintah. Karena itu pemerintah memberi dukungan penuh secara tertutup dan terbuka ketika kubu Soerjadi/Fatimah Achmad berusaha merebut kantor di Jl. Deponegoro No. 58, Jakarta Pusat, hari Sabtu tanggal 27 Juli 1997.
Kubu Megawati yang sudah lebih dari tiga tahun menempati kantor itu, dan sekitar setahun terakhir menjadikan halamannya sebagai mimbar demokrasi, melakukan perlawanan. Akibatnya terjadilah kerusuhan hebat, karena pihak penyerang melibatkan massa ormas dan aparat secara tertutup, yang akhirnya dikenang dengan sebutan Kudatuli ( kerusuhan dua puluh tujuh Juli). Dalam peristiwa ini, menurut cacatan Komnas HAM, tercatat 5 orang meninggal, 150 luka-luka dan 23 orang lainnya hilang, sampai sekarang. Peristiwa Kudatuli adalah induk dari segala kerusuhan yang terjadi sesudahnya, yang berakhir dengan lengsernya Presiden Soeharo setahun kemudian, tepatnya hari Kamis 21 Mei 1998.
Peristiwa yang menjadi catatan hitam dalam sejarah politik di Indonesia di atas, muncul kembali dalam ingatan ketika saat ini melihat kemelut yang dihadapi Partai Demokrat. Terjadi juga upaya paksa untuk digelarnya KLB Partai Demokrat, dengan locus yang sama dengan KLB PDI tahun 1996, yaitu Sumatera Utara.
Politik adalah bagian dari kebudayaan. Kalau politik sudah dilepaskan dari kebudayaan, maka politik akan kembali pada asal katanya yaitu siasiyah atau siasah (siasat), diadopsi dari bahasa Arab yang artinya politik. Siasat biasanya dilakukan dengan segala cara untuk mewujudkan keinginan. Termasuk juga keinginan dalam menuliskan sejarah, meskipun kembali menggunakan tinta hitam. (m.anis)
Advertisement