Dedikasi dan Inspirasi Penerima Penghargaan Duke of Edinburgh
Puluhan siswa binaan Yayasan Urunan Kebaikan Surabaya, berhasil menyelesaikan tantangan yang diberikan oleh Kerajaan Inggris. Mereka ditantang untuk berinisiatif dan berkegiatan, yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.
Setelah mereka menyelesaikan tantangan selama kurang lebih selama enam bulan lamanya, mereka yang sudah menjalani tantangan tersebut dan memenuhi kriteria penilaian, mendapatkan Duke of Edinburgh’s International Award, tingkat Bronze.
Pemimpin Yayasan Urunan Kebaikan Surabaya Gusti Hamdan Firmanta mengatakan, puluhan anak binaan tersebut memiliki latar belakang yang berbeda satu dengan lainnya. Mereka merupakan anak jalanan, anak yatim dan dhuafa, tunanetra, dan relawan sosial pendamping.
"Penghargaan dari Kerajaan Inggris diberikan kepada anak muda usia 14-20 tahun. Mereka menerima tantangan menjalankan empat hal, kegiatan sosial, keterampilan, aktivitas fisik dan menjalani penjelajahan alam," ucapnya, sesaat setelah acara Upacara Penyematan Penghargaan Duke of Edinburgh’s International Award di Marvell City Mall Surabaya, Sabtu 17 Februari 2024.
Kerajaan Inggris yang melahirkan program dan penghargaan ini, memberikan dampak signifikan bagi para anak muda. Mereka dapat membangun kepercayaan diri serta memiliki kerangka pemikiran yang global. Ditantang menjadi manusia yang berdampak bagi sekitarnya.
"Sertifikat Bronze Award yang sudah mereka dapatkan ini dapat menjadi surat sakti untuk jenjang lebih global. Penghargaan ini sudah diakui lebih daei 190 negara dan harapannya anak-anak ini bisa memiliki akses menuju ranah global," terangnya.
Perlu diketahui bersama, pelatihan dan penghargaan ini diselenggarakan di seluruh dunia melalui sekolah, perguruan tinggi, universitas, pemberi kerja, dan kelompok sosial masyarakat.
Duke of Edinburgh, Pangeran Edward, adalah pelindung dari Program Penghargaan Internasional Duke of Edinburgh di seluruh dunia. Sedangkan di Indonesia, penghargaan ini sudah ada sejak 1993 dengan nama yang berbeda-beda.
Gusti sebagai pimpinan Yayasan Urunan Kebaikan menangkap peluang program bagi anak binaannya yang berasal dari keluarga pra-sejahtera, remaja yatim dan tuna netra. Langkah tersebut perlu diberikan penghargaan, mengingat program tersebut hanya diberikan kepada kalangan tertentu saja yang mengenyam pendidikan di sekolah tertentu saja.
Ngopibareng.id mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan dua awardee Duke of Edinburgh’s International Award. Mereka adalah Muhammad Zuhair Rozani dan Febriand Valentino.
Muhammad Zuhair Rozani, yang kerap dipanggil Zuhair adalah seorang dhuafa, siswa SMA Inklusi Kertajaya. Sekarang dirinya sudah menginjak kelas 3 SMA. Dirinya memiliki keinginan untuk berkuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di Surabaya.
"Saya berencana untuk kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), mas. Jurusannya Teknik Material Metalurgi," ujarnya, sembari tersenyum lebar.
Zuhair merasa kemampuan dirinya meningkat pesat selama menjalani tantangan untuk mendapatkan penghargaan Duke of Edinburgh.
"Awalnya pasti berpikir akan berat karena harus menjalani kegiatan fisik, sosial, dan keterampilan, selama seminggu sekali dalam 6 bulan. Kita sangat dilatih untuk konsisten dan membagi waktu," ungkapnya.
Dirinya juga menceritakan selama kurun waktu 6 bulan, seluruh kemampuan yang terpendam dan tidak pernah terasah sebelumnya, berusaha untuk dicurahkan seluruhnya saat mengikuti tantangan untuk meraih penghargaan DoE.
"Sebelum DoE, saya jarang ikut kegiatan fisik. Tapi setelah itu, lebih sering futsal dan lari. Untuk kegiatan sosial, saya jadi pendamping teman-teman tunanetra agar rasa empati saya semakin kuat. Saya juga mengasah keterampilan fotografi menggunakan kamera analog," tutur remaja berusia 19 tahun ini.
Selanjutnya, seorang awardee DoE lainnya, Febriand Valentino, seorang remaja berusia 18 tahun. Walaupun, Febriand adalah seorang tunanetra, dirinya merasa mempunyai kemampuan yang melebihi kawan-kawan seusianya.
Menurutnya, musuh terbesar adalah berasal dari diri sendiri. "Saya banyak ikut kompetisi dan baru kali ini tahu lewat kompetisi (penghargaan DoE) bahwa yang kita lawan adalah diri. Musuhnya ternyata diri sendiri," ucapnya, dengan penuh keyakinan.
Selama kurun waktu setengah tahun, Febriand mendalami dengan baik berbagai kegiatan fisik, keterampilan, dan sosial yang diinginkannya.
"Selama 6 bulan, aku ikut pencak silat, keterampilan dalam penulisan naskah film, dan ketiga untuk kegiatan sosial, saya mengajar gitar di SMA Kertajaya, sekolah saya sendiri
Dirinya menceritakan terdapat tantangan yang harus dihadapinya saat menjalani kegiatan-kegiatan tersebut, utamanya saat mengajar gitar.
"Kita harus sekolah juga dan mengajarnya sehabis sekolah. Kadang capek dan emosi karena kita mengajar teman seusianya, apalagi aku tunanetra dan beberapa ada yang tidak respect. Tapi aku tetap menunjukkan kemampuanku bahwa aku bisa mengajar," ucapnya, sembari tersenyum.
Zuhairi dan Febriant ternyata juga membentuk rumah produksi film sendiri di sekolahnya. Rumah produksi itu dinamakan "Komunitas Black Screen". Mereka telah menghasilkan satu buah karya berjudul "Hitam dan Hening".
"Jadi film ini menceritakan seorang siswa tunanetra yang mencoba berkomunikasi dengan gadis tunarungu. Saya yang jadi aktornya dan orang nomor satunya (sutradara) dia (Zuhairi)," ujar Febriant sambil memegang Zuhairi sambil tertawa lebar.
Film "Hitam dan Hening" bahkan memenangi penghargaan dalam Festival Film Pendek yang diselenggarakan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan menjadi lima besar dalam kompetisi Pemuda Pelopor.
"Kebetulan yang menang penghargaan di Widya Mandala saya sendiri sebagai best actor dan filmnya akan dipresentasikan di Jakarta besok setelah menang lima besar Pemuda Pelopor," ucap Febriant, sambil tersenyum bangga.
Advertisement