Debat UU Pemilu Berkepanjangan, Novanto Ingin Musyawarah
Jakarta: Ketua DPR Setya Novanto mengharapkan pembahasan RUU pemilu dapat diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai kata mufakat. Setya Novanto dalam kicauan diakun twitternya di Jakarta, Rabu (5/7/2017) mengatakan perbedaan pendapat dalam pembahasan RUU pemilu menunjukkan demokrasi hidup.
"Pada akhirnya semua bisa diselesaikan melalui musyawarah," katanya. Ia menyampaikan harapannya agar RUU pemilu segera dapat selesai dan mengharapkan partai politik bisa bersama dengan pemerintah mencapai kata sepakat dalam pembahasan tersebut.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto meyakini jalan buntu atau "deadlock" pembahasan RUU Pemilu di DPR akan teratasi. Ini mengingat masih ada tenggang waktu untuk melakukan pendekatan dengan pihak terkait.
Ia mengatakan, keinginan partai politik untuk bertemu Presiden Joko Widodo juga sebaiknya didahului dengan pertemuan dengan para menterinya terlebih dahulu. Setelah itu, baru kemudian dikomunikasikan dengan Presiden.
"Sebab enggak ada yang sebenarnya dipermasalahkan. Ada lima hal krusial itu bisa dibincangkan kok. Masalah presidential threshold, parliamentary threshold, dapil, terbuka tertutup, pembagian kursi- suara di dapil. Itu kan semua sudah bisa dibincangkan," katanya.
Apa saja sebetulnya isu kruisal yang menyebabkan perdebatan tentang UU Pemilu berlarut-larut?
Ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
Pemerintah dan sejumlah partai seperti PDI-P dan Golkar menginginkan ada kenaikan dari 3,5 persen. Sementara, partai lainnya seperti Gerindra, PKB, Hanura, Demokrat, PPP dan PAN berharap ambang batas tetap sebesar 3,5 persen. Bahkan, partai baru ada yang meminta nol persen agar mereka bisa melenggang masuk parlemen dan menentukan perolehan kursi anggota DPR. Untuk itu, Pansus menawarkan tiga opsi, yakni 3,5 persen, 4 persen, dan 7 persen.
Ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Pemerintah yang didukung PDI-P, Golkar dan Nasdem berkeras agar ambang batas berdasarkan aturan lama, yakni parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Jika tak dipenuhi, Mendagri Tjahjo Kumolo mengancam akan menarik diri dari pembahasan.
Sedangkan Gerindra dan Demokrat berkeras agar presidential threshold ditiadakan atau nol persen. Alasannya, pelaksanaan Pileg dan Pilpres digelar serentak sehingga presidential threshold tidak berpengaruh. Di kubu lain, ada PPP dan Hanura yang menyarankan jalan tengah pada angka 10-15 persen.
Sistem pemilu.
Pemerintah menginginkan sistem pemilu terbuka terbatas. Dengan sistem ini, calon nomor urut teratas akan terpilih jika suara partai lebih banyak dari calon bersangkutan.
Sedangkan fraksi PKS, Gerindra, PAN, Nasdem, Hanura, PKB, PPP, dan Demokrat menghendaki sistem terbuka. Sistem ini sama seperti pada Pemilu 2010 dan 2014 lalu, dimana merupakan sistem dengan calon suara terbanyak.
Di kubu lain ada Fraksi Golkar dan PDIP yang menghendaki sistem tertutup, yakni sistem memilih gambar partai dan calon akan ditentukan partai.
Alokasi kursi per dapil.
PDI-Perjuangan mengusulkan penambahan kursi tiap dapil. Jika dulu (district magnitude) 3-10 kursi setiap dapil, kini diusulkan menjadi 3-8 kursi. Dengan begitu, maka kemungkinan akan ada penambahan 98 dapil dari 77 dapil yang sudah ada sebelumnya. Untuk kursi di parlemen pusat, Pansus bersama pemerintah sudah memutuskan jumlah yang diperebutkan menjadi 575 dari sebelumnya 560 kursi.
Namun, soal penambahan 15 kursi di parlemen pusat, pemerintah meminta 5 kursi dialokasikan ke tiga daerah; Kalimantan Utara (3 kursi), Kepulauan Riau (1 kursi), dan Riau (1 kursi). Sedangkan untuk alokasi 10 kursi sisanya, Ketua Pansus RUU Pemilu, Lukman Edy mengaku akan menyerahkan formulanya kepada pemerintah.
Metode konversi suara.
Pemerintah menginginkan metode konversi suara sistem Quota Hare harus diubah dengan metode Sainta Lague Murni. Alasannya, metode konversi ini tidak memberikan jaminan keadilan dan kesetaraan perolehan suara-kursi bagi setiap partai politik (parpol). Namun, sikap pemerintah itu ditentang DPR yang menginginkan metode lama.
Dalam metode Quota Hare yang selama ini digunakan di Indonesia, terdapat dua tahapan yang perlu dilalui untuk mengkonversi suara menjadi kursi. Pertama, menentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan dengan menggunakan rumus V (vote) : S (seat). Kedua, menghitung jumlah perolehan kursi masing-masing partai politik dalam satu daerah pemilihan dengan cara jumlah perolehan suara partai di satu dapil di bagi dengan hasil hitung harga satu kursi. Sedangkan Sainte Laguë (Murni) Dengan metode ini, suara yang diraih setiap partai dibagi berdasarkan angka serial: 1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya. (Ant/azh)
Advertisement