Debat Publik Cabup Blitar Dikritik Tak Sentuh Petani Tembakau
Debat publik Calon Bupati Blitar memang sudah berlalu. Namun dalam debat publik tersebut tak ada yang istimewa bagi petani tembakau di Blitar. Selama debat publik, tak disinggung sama sekali nasib Muhamad Riyadi dan petani-petani tembakau lain di Kabupaten Blitar.
Muhamad Riyadi sudah menjadi petani tembakau di Blitar sejak puluhan tahun yang lalu. Dia mempunyai ladang tembakau di Desa Darungan, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar. Selama puluhan tahun menjadi petani tembakau, dia mengamati tak ada perubahan yang berarti atas petani tembakau, meski bupatinya sudah berganti-ganti.
Begitu pula tahun ini. Dalam debat publik calon bupati yang beberapa waktu lalu, tak satu pun calon bupati yang membicarakan nasib petani tembakau.
"Pemilihan kepala daerah tidak membawa perubahan dan mempunyai dampak yang menguntungkan kami sebagai petani tembakau. Dari dulu sampai sekarang programnya hanya itu itu saja " keluhnya kepada Ngopibareng, Rabu, 28 Oktober 2020.
Riyadi mencontohkan soal selisih nilai harga jual tembakau yang masih rendah dibanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk produksi tanam. Dia lalu memberi gambaran kondisi petani dengan salah satu perusahaan yang menjadi mitra.
Kata dia, perhitungan selisih nilai, ada di biaya tenaga kerja. Bukan kualitas dan harga keuntungan petani. Kalau volume pekerjaan bertambah, mempengaruhi nilai harga panennya yang naik. Namun pada saat yang dikerjakan kurang, maka nilai harganya juga turun.
"Kami ambil contoh harga tembakau dari tahu 2012 sampai sekarang. Harga belum banyak berubah. Dulu harga tembakau per kilonya Rp19 ribu dan sekarang mengalami kenaikan harga hanya Rp. 20.000 atau hanya mengalami kenaikan Rp 1000, per kilonya. Selama delapan tahun, hanya naik seribu Rupiah," ujar Riyadi.
Riyadi lalu membandingkan dengan kenaikan harga kebutuhan sehari-hari. Termasuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang mengalami kenaikan secara drastis.
“Sampai saat ini pemerintah belum mempunyai kebijakan tentang standar harga tembakau untuk pasca panen. Hal-hal tersebut menurut kami membuat kondisi petani tetap saja terjepit " keluh Riyadi.
Apabila kondisi tetap berlanjut, bisa dipastikan nasib petani tembakau di Kabupaten Blitar, tidak ada perubahan. Terutama yang menyangkut kesejahteraan.
Nasib terpuruk petani yang dialami petani tembakau di Blitar ini juga diamini pengamat sosial dari BIC Instititute, Mujianto. Kata Mujianto, petani tembakau di Blitar ini padahal salah satu penyumbang pendapatan daerah untuk Kabupaten Blitar. Seperti diketahui, Pemerintah Kabupaten Blitar selama ini menerima Dana Bagi Hasil Cukai dan Tembakau (DBHCT). Nilainya tergolong lumayan besar untuk level kabupaten.
“Harusnya pemerintah daerah menyampaikan secara terbuka dan jujur kepada petani tembakau, bahwasanya nilai DBHCT dalam per tahuannya nilainya antara Rp 20-30 Miliar,” kata Mujianto
Sayangnya, kata Mujianto, Pemerintah Kabupaten Blitar sampai dengan saat ini belum mau transparan soal penerimaan dari Dana Bagi Hasil Cukai dan Tembakau. Apalagi memberikan porsi dari Dana Bagi Hasil Cukai dan Tembakau untuk kepentingan petani tembakau secara langsung.
Kondisi seperti ini, kata dia perlu diubah kebijakannya soal penggunaannya. Alokasi penggunaan dari Dana Bagi Hasil Cukai dan Tembakau sebaiknya digunakan juga untuk meningkatkan sistem usaha tani tembakau.
“Proporsi pembagian dana DBHCT tersebut di masing-masing satuan perangkat daerah perlu dilakukan agar kesejahteraan petani tembakau menjadi semakin meningkat " ujar Mujianto.